Eps 8

1023 Words
"Na... !" pekik Emil tak senang. Ia memang mengancam Una, tapi niatnya hanya sebatas ancaman saja. "Pergi, Mas. Tinggalin aku sendiri disini" usir Una. Emil langsung meninggalkan Una, ia juga membanting pintu rumah sakit itu begitu keras. Una semakin sesenggukkan, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, sedang tubuhnya bergetar hebat. Tangannya menggapai ponselnya, mulai mencari kontak Om Rominya, dengan masih terisak. Una menelpon Romi. "Assalamualikum, Om Rom- hikss... hikss...!" "Una? ini Una. Kamu kenapa, Sayang?!" tanya Romi sangat panik. Alis matanya menyatu begitu serius mendengarkan cerita Una. "Sayang, kamu dimana? kamu kenapa nangis?!" sambungnya begitu tak sabaran. Karena Una tak kunjung menjawab pertanyaan Romi. "Ak... Aku di rumah sakit, Om!" desisnya begitu pelan bercampur isak tangisnya. Dalam hati Una berharap, Romi bisa cepat membawanya pergi dari Emil dan keluarganya. "Astagfirullah, rumah sakit! Om bakalan cepet kesana!" seru Romi yang langsung meninggalkan kampusnya. "Eeh... Mau kemana lo?!" tanya Malik. Ia adalah teman sebangku Romi. "Sorry, gue buru-buru, nanti gue pasti cerita sama lo!" jawab Romi cepat. --- Dengan tergesa, Romi mendatangi kamar UGD. dan ternyata disana masih ada Emil serta Siska yang terlihat memegangi bahu Emil manja. Romi menatap sinis ke suami ponakannya itu, tak perlu dijelaskan kenapa Una sampai menangis, jika saja saat ini prioritasnya bukanlah Una, mungkin ia sudah menghajar Emil habis-habisan. Emil yang ditatap nyalang oleh Romi jadi kikuk sendiri. Ia mendorong tubuh Siska agar menjauh darinya. "Minggir!" ucapnya yang seakan langsung terganggu. "Lihat ajah! sampai Una kenapa-napa, lo berurusan sama gue!" ucap Romi pelan tapi nusuk, sebelum ia membuka kamar rawat Una, matanya melirik sinis kearah Siska. 'Cih... si Emil ngduain adek gue buat cewek sepuluh ribu tiga kayak gitu!' bathinnya mengamati. Mata Romi beralih mengamati sekitar, mana Desi besannya itu? Kok adeknya sakit malah gak ada? Desi memang sudah pulang, ia malas diminta menunggu Una di sini. Tak mau ambil pusing, Romi melanjutkan niatnya masuk. Membuka pintu kamar itu "Na...!" sapa Romi pelan, ia berdiri disamping ranjang Una, membelai rambut wanita itu sangat pelan. "Om Romi" pekik Una yang langsung bangun, dan memilih memeluk Romi erat. Menangis didalam dekapan Omnya itu. "Kamu sebenernya kenapa?!" desaknya Romi langsung menangkup wajah Una, diusapnya sisa air mata diwajah ponakannya itu. "Aku... Aku mau pulang, Om. Aku gak kuat lagi!" sahutnya dengan suara yang begitu serak. "Iyah, Om tahu. Om juga bakalan minta kamu sementara ini pulang dulu kerumah Ibu kamu, tapi aku juga butuh alasan yang pas untuk dukung sikap kamu. Maaf Una, tapi kamu tahukan. Seorang wanita yang sudah bersuami, pantang untuknya tinggal ditempat lain tanpa seijin suaminya!" sahut Romi bijak. Perlahan Una menatap mata Romi, tatapan putus asa terlukis di mata wanita itu. "Aku udah minta cerai sama Mas Emil, Om!" jujurnya meski rasanya begitu sakit. "Apa Una?!" Romi tahu jika Una terluka, tapi ia tak menyangka Una berani mengatakan hal itu. Pernikahan yang menelan biaya ratusan juta berakhir dalam hitungan bulan. Una mengangguk samar, ia tak sanggup mengatakan kata itu sekali lagi. Romi menatap kedepan, 'Apa karna wanita itu? tapi kenapa juga Una masuk rumah sakit?!' "Tolong ceritakan sama aku apa yang sebenarnya terjadi!" Amarah lelaki itu sudah sampai ubun-ubunnya. "Aku keguguran Om, aku gak tahu kalau aku hamil, tapi Emil gak percaya, Emil menyangka kalau aku gak bisa jaga anak kita, sampai aku mengalami keguguran. Demi Tuhan, Om seandainya aku tahu. Aku bakalan lebih hati-hati lagi" "Sialan Emil..!" pekik Romi. "Dia bukannya menghibur kamu, malahan nyalahin kamu, gak bisa di diemin emang itu anak!" Romi langsung keluar kamar Una. Berjalan mendekati Emil, menarik kerah baju lelaki itu dan mendaratkan pukulannya dipipi Emil. "Mulai sekarang, lupain Una. Gue sendiri yang pastikan buat lo gak pernah ketemu dia. Pergi lo dari sini, percuma juga lo disini kalau cuma nyakitin Una. Dan kalau lo mau duain Una, carilah wanita yang sepadan. Bukannya yang model kayak gitu!" cibir Romi kemudian. "Sialan...! apa-apaan dia!" kesal Emil yang tadi sempat tersungkur kebawah, Romi yang memang ahli bela diri karate membuatnya begitu mudah memukul Emil keras. Sampai pada Emil yang belum juga bisa bangun meski sudah begitu lama mendapatkan pukulan. Tak memperduliakan umpatan Emil. Romi kembali masuk kekamar Una, beruntung koridor kamar Una sedang sepi dan tak ada yang tahu kalau tadi sempat ada perkelahian. "Om, Om ngapain? Kenapa Mas Emil teriak gitu! Terus suara cewek itu siapa Om?" tanya Una panik. Kalau saja perutnya tak sakit, mungkin ia sudah keluar kamar untuk melihatnya. "Gak usah dipikirin, cowok itu udah aku usir!" "Sekarang lebih baik kamu keluar dari rumah sakit, masalah perceraian kamu, kamu gak usah khawatir, aku yang akan mengurusnya segera!" Sesuai janji Romi, tepat satu hari Una pulang, lelaki itu sudah mendaftarkan sidang perceraian untuk ponakannya itu. "Rom, tolong jangan gegabah. Mungkin saja hubungan Una dan Emil masih bisa diperbaiki!" pinta Utami lembut. Bukannya wanita tua itu bodoh. Hanya ia sangat ingin yang terbaik untuk Una. Utami yang paling paham bagaimana rasanya hidup menjadi seorang janda. Apalagi Una, wanita itu masih sangat muda. Pastinya akan lebih banyak menimbulkan pandangan miring orang lain pada dirinya. "Mbak, tapi aku yakin Mbak. Ini yang terbaik untuk Una!" sahut Romi pelan seraya menggenggam tangan kakak iparnya itu. Ia sangat menghormati setiap saran yang Utami berikan. "Hhaaah... Tapi Mbak takut kalau sampai Una terpuruk, Rom!" Kembali Utami mendesah kecewa, begitupun Romi yang jadi lemas sendiri. Beruntung Una sedang ada di dalam kamarnya, jadi ia tak perlu mendengar obrolan Ibu dan Omnya itu. Una terus menggenggam ponselnya, wanita itu sedikit luluh setelah tadi melihat foto-foto pernikahannya dengan Emil. Rasanya ia begitu merindukan lelaki yang berdiri di Pelaminan bersamanya kala itu. Tapi sekaligus kebencian serta kekecewaan meracuni hatinya. 'Mas, kok kamu gak telepon aku, apa benar kamu ingin kita berakhir sampai sini ajah, dan apa wanita itu yang akan menjadi penggantiku di hatimu. Haah... mungkin bukan pengganti aku, bisa jadi memang hanya wanita itu yang kamu idamkan. Dan justru aku yang masuk kekehidupamu. Jika iyah... Kenapa kamu malah membuka kesempatan buat aku masuk, Mas. Dan sekarang kamu menutup hatimu rapat untuk aku. Kali ini aku cuma berharap, kamu datang meminta maaf atas sikapmu, hanya itu. Mas. Apa masih gak bisa?!' pikirnya yang sedikit ragu. Detik kemudian panggilan telepon berdering, Una yang kaget langsung mengangkat panggilan dari ibu mertuanya itu. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD