Galang memarkir mobilnya di area parkir basement gedung kantor Bening. Di tangan kanannya, ada sebuah paper bag berisi bekal makan siang—nasi goreng seafood buatan sendiri, lengkap dengan fruit salad dan jus jeruk segar. Di tangan kirinya, sebuah buket bunga lily putih—bunga kesukaan Bening.
Ini adalah hari kedelapan dia mencoba memperbaiki hubungannya dengan Bening. Dan meski istrinya masih belum banyak bicara dengannya, Galang tidak menyerah.
Seperti saran Dirga: konsisten. Tunjukkan effort setiap hari.
Dia melangkah keluar dari lift basement menuju lobby dengan langkah yang cukup percaya diri. Hari ini, dia bertekad untuk bisa makan siang bersama Bening—meski hanya sebentar.
Tapi begitu pintu lift terbuka—
Galang membeku.
Di lobby, tepat di depan resepsionis, berdiri sosok yang sangat dia kenal. Setelan jas abu-abu gelap, rambut klimis tersisir rapi, dan senyum tipis yang menyebalkan.
Genta.
Pria itu sedang berbicara dengan resepsionis sambil sesekali tertawa—terlihat sangat santai dan nyaman, seolah dia adalah tamu VIP yang sering datang ke kantor ini.
Galang langsung menegang. Tangannya mencengkeram paper bag dan bouquet dengan lebih erat. Rahangnya mengeras.
“Kenapa dia ada di sini?”
Sebelum Galang sempat berbalik dan memilih menggunakan tangga darurat untuk menghindari perdebatan, Genta sudah menoleh dan mata mereka bertemu.
Senyum Genta melebar.
“Galang,” sapa Genta sambil berjalan mendekat. “Aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini.”
Galang tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam, menatap Genta dengan sorot waspada, namun tetap tenang.
Genta berhenti tepat di hadapan Galang dengan jarak sekitar satu meter—cukup dekat untuk terdengar, tapi tidak terlalu dekat untuk memicu pertengkaran fisik.
"Kamu mau ketemu Bening?" tanya Genta sambil menatap paper bag dan bouquet di tangan Galang. "Wah, sweet sekali. Bawa bekal dan bunga segala."
Galang masih diam. Tangannya bergetar sedikit—menahan diri untuk tidak langsung memukul wajah Genta yang terlihat sangat menjengkelkan.
Tapi dia ingat.
Dia teringat Bening yang marah. Bening yang menangis. Bening yang berkata bahwa dia kecewa padanya karena Galang bertindak tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu.
Dia tidak bisa mengulang kesalahan yang sama.
Galang menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan melewati Genta tanpa mengatakan sesuatu.
Tapi Genta tidak membiarkannya pergi begitu saja.
"Eh, Galang," panggil Genta dengan nada santai yang terdengar provokatif. "Aku harus bilang... istrimu itu cantik sekali."
Galang berhenti melangkah.
Tubuhnya menegang. Tangannya mencengkeram paper bag hingga sedikit kusut.
Genta melanjutkan. "Tadi aku meeting sama dia. Dia profesional banget, pinter, dan sangat menarik. Aku jadi paham kenapa kamu sampai segitu protektifnya sama dia."
Galang menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam. Setiap sel di tubuhnya berteriak untuk berbalik dan menghajar Genta di tempat. Tapi dia tidak melakukannya.
“Jangan, Galang. Jangan ulangi kesalahan yang sama!” serunya dalam hati.
Galang membuka matanya, lalu melanjutkan langkahnya menuju lift tanpa menoleh.
Tapi Genta masih belum berhenti.
“Oh iya, ngomong-ngomong—” ujar Genta sambil melangkah beberapa langkah mengikuti Galang. “Bening menerima proyek dariku. Nilainya puluhan miliar, durasinya enam bulan. Kami akan sering bertemu untuk diskusi desain. Mungkin juga survei bersama ke beberapa showroom furniture. Kamu tidak keberatan, kan?”
Galang berhenti lagi tepat di depan tombol lift. Tangannya yang bebas mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Napasnya mulai memburu. Amarahnya mulai naik ke permukaan.
“Dia sengaja membuatmu marah. Jangan terpancing. Jangan,” batin Galang.
Galang menekan tombol lift dengan keras—mungkin terlalu keras sampai bunyinya sedikit nyaring.
Genta berdiri di belakang Galang sambil memasukkan tangan ke saku celananya, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Kamu tau, Galang... kadang aku suka mikir, gimana ya rasanya punya istri secantik Bening? Pasti setiap hari kamu deg-degan takut dia direbut orang lain—"
"Genta."
Suara Galang akhirnya keluar—rendah, dingin, penuh peringatan.
Dia menoleh sedikit, menatap Genta dengan sorot yang sangat tajam. “Kamu boleh memprovokasiku sebanyak yang kamu mau. Tapi kalau kamu berani menyentuh istriku, aku tidak akan sekadar menghajarmu seperti waktu itu. Aku akan memastikan kamu menyesal seumur hidup.”
Genta terdiam. Senyumnya sedikit memudar—digantikan dengan tatapan serius.
Tapi kemudian, dia terkekeh pelan. "Santai, Galang. Aku cuma bercanda.”
Ting…
Pintu lift terbuka.
Galang langsung masuk ke dalam lift tanpa mengatakan apapun lagi. Tangannya menekan tombol lantai 7 dengan cepat, berharap pintu lift segera tertutup sebelum Genta ikut masuk.
Tapi tepat sebelum pintu tertutup sempurna, Genta berkata satu kalimat terakhir—
“Oh iya, Galang. Kalau kamu masih cinta sama Jenna—aku tahu di mana dia tinggal sekarang.”
BRAK!
Galang menghantamkan tangannya ke dinding lift dengan keras begitu pintu tertutup. Paper bag dan bouquet hampir terjatuh, tapi dia berhasil menahannya dengan tangan kiri.
Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang. Amarahnya hampir meledak.
Tapi dia tidak berbalik. Dia tidak turun dari lift untuk menghajar Genta.
Karena dia ingat wajah Bening yang menangis. Dia ingat suara Bening yang bergetar saat bilang "Aku butuh waktu, Mas Galang."
Dia tidak bisa mengecewakan Bening lagi.
Galang menarik napas dalam berkali-kali, berusaha menenangkan diri. Tangannya yang mengepal perlahan melonggar.
"Tenang, Galang. Tenang," bisiknya pada diri sendiri sambil menutup mata. "Jangan terprovokasi. Bening lebih penting. Bening jauh lebih penting daripada egomu."
Ting…
Lift berhenti di lantai 7. Pintu terbuka.
Galang keluar dengan langkah yang sedikit goyah—bukan karena takut, tapi karena dia baru saja mengeluarkan effort luar biasa untuk menahan diri.
Dia berjalan melewati koridor menuju ruangan Bening. Beberapa karyawan yang lewat menyapanya dengan ramah—mereka sudah kenal Galang karena dia sering datang ke kantor ini.
Galang membalas sapaan mereka dengan senyum tipis, meski hatinya masih bergejolak.
Sesampainya di depan pintu ruangan Bening, Galang berhenti sejenak. Dia merapikan penampilannya—merapikan kerah kemeja, mengusap wajahnya, memastikan ekspresinya sudah kembali tenang.
Lalu dia mengetuk pintu.
Tok… Tok… Tok…
"Masuk," terdengar suara Bening dari dalam.
Galang membuka pintu perlahan.
Bening duduk di balik meja kerjanya, sedang fokus menatap layar laptop. Rambutnya diikat ketat, kacamata baca bertengger di hidungnya, dan ekspresinya sangat serius.
Begitu mendengar pintu terbuka, Bening mendongak—dan matanya sedikit membulat saat melihat Galang berdiri di ambang pintu dengan paper bag dan bouquet di tangan.
"Mas Galang?" ujar Bening. "Mas ngapain di sini?"
Galang tersenyum tipis—senyum yang terlihat lelah tapi tulus.
"Aku bawain makan siang," ujar Galang sambil mengangkat paper bag. "Dan... bunga. Lily putih. Kesukaanmu."
Bening terdiam. Matanya menatap paper bag dan bouquet itu dengan tatapan yang sulit dibaca—antara terharu, kesal, dan bingung.
"Mas Galang, aku lagi sibuk—"
“Lima menit,” potong Galang dengan lembut. “Aku cuma butuh lima menit. Makan siang bareng. Setelah itu aku pergi. Aku janji tidak akan mengganggu pekerjaanmu.”
Bening menatap Galang dengan tatapan ragu. Tapi kemudian, matanya melirik ke arah paper bag itu—dan perutnya tiba-tiba berbunyi.
Galang tersenyum mendengarnya. "Kamu belum makan kan?"
Bening menghela napas panjang, lalu melepas kacamata bacanya. “—lima menit."
"Lima menit," ujar Galang sambil mengangguk.
Dia masuk ke dalam ruangan, menutup pintu dengan perlahan, lalu duduk di sofa panjang—bukan di kursi tamu di depan meja Bening. Dia tidak mau terlihat seperti klien atau tamu formal. Dia mau terlihat seperti suami.
Galang membuka paper bag dan mengeluarkan kotak bekal. "Nasi goreng seafood. Aku masak sendiri. Dan ini fruit salad, sama jus jeruk."
Bening bangkit dari kursinya, lalu berjalan mendekat sambil menatap bekal itu dengan tatapan yang melunak sedikit.
Dia duduk di sofa di seberang Galang—menjaga jarak, tapi tidak menolak.
"Mas masak sendiri?" tanya Bening pelan.
"Iya," jawab Galang sambil tersenyum. "Aku mau pastiin makanannya pakai bahan-bahan berkualitas. Dan... aku tau kamu suka nasi gorengnya agak gosong di pinggiran. Jadi aku sengaja masaknya sedikit lama."
Bening menatap nasi goreng itu—dan benar, pinggiran nasinya sedikit gosong. Persis seperti yang dia suka.
Tiba-tiba dadanya terasa sesak.
"Makasih," bisik Bening pelan sambil mengambil sendok.
Mereka makan dalam diam—diam yang tidak nyaman, tapi juga tidak terlalu canggung. Sesekali Galang melirik Bening, memperhatikan ekspresi istrinya yang perlahan mulai melembut saat makan.
Dan untuk pertama kalinya dalam delapan hari—
Galang merasa ada secercah harapan.