"Bening—" Galang melambaikan tangannya pada sang istri yang baru saja keluar dari lobby kantor. Dia bersandar pada mobilnya dan di tangannya ada bucket bunga lily yang cukup besar. Tak lupa, dia tersenyum sangat lebar—senyum yang sudah lama tidak muncul di wajahnya.
Bening berhenti melangkah begitu melihat Galang. Ekspresinya berubah dari datar menjadi sedikit bingung.
"Mas, kenapa jemput? Kan aku udah bilang kalau bawa motor," ujar Bening.
Galang berjalan menghampiri sang istri, lalu menyodorkan bucket bunga lily kepada Bening dengan senyum yang sama sekali tak memudar.
“Aku tahu. Tapi aku tetap mau jemput,” ujarnya lembut. “Lagipula, motormu bisa ditinggal di kantor. Besok pagi aku antar kamu.”
Bening menatap bucket bunga di tangannya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Mas Galang kenapa kasih bunga lagi?"
"Karena kamu memang pantas menerimanya," ujar Galang. "Lagian, ini kan sebagai ucapan terima kasih karena kamu udah mau ngobrol lagi sama aku."
Bening mengangguk. Memang benar—setelah makan siang bersama, hubungan mereka perlahan membaik. Meski masih terasa canggung, setidaknya kini Bening sudah bersedia diajak bicara.
“Oh iya,” ujar Galang sambil membukakan pintu mobil untuk Bening. “Malam ini kita makan malam di rumah Bunda Amy.”
Bening yang baru mau masuk mobil langsung berhenti. "Hah? Kenapa nggak bilang dari tadi?"
"Aku baru dapat telepon dari Bunda sore tadi. Dia maksa banget minta kita datang. Katanya udah lama nggak ketemu kita berdua," jawab Galang sambil tersenyum. "Kamu nggak keberatan kan?"
Bening menghela napas pelan. “Ya sudah. Tapi kita mampir sebentar ke apartemen, aku harus ganti baju dulu.”
"Nggak usah. Kamu udah cantik kok," potong Galang cepat. "Lagian nanti kemalaman. Bunda udah bawel."
Bening menatap Galang. "Mas, aku masih pakai baju kerja—"
"Kamu tetep cantik," ujar Galang sambil tersenyum lebar. "Yuk, naik."
Bening akhirnya pasrah dan masuk ke dalam mobil sambil memeluk bucket bunga lily di pangkuannya. Galang menutup pintu dengan lembut, lalu berlari kecil ke sisi pengemudi dan masuk.
Selama perjalanan, mereka mengobrol ringan—tentang pekerjaan, tentang project Bening yang baru, tentang rencana akhir pekan. Tidak terlalu intens, tapi setidaknya... ada percakapan. Dan itu sudah sangat berarti bagi Galang.
Akhirnya, mereka tiba di rumah Bunda Amy yang terletak di kawasan perumahan elite Pondok Indah. Rumah bergaya minimalis modern itu berdiri kokoh, dikelilingi taman luas yang tertata rapi dan terawat.
Begitu mobil mereka berhenti di depan rumah, Bunda Amy sudah berdiri di teras dengan senyum lebar.
"Galang! Bening! Akhirnya kalian datang!" seru Bunda Amy sambil membuka tangan lebar.
Galang dan Bening turun dari mobil, lalu Bunda Amy langsung memeluk mereka berdua dengan erat—sangat erat sampai Bening hampir kehabisan napas.
"Bunda kangen banget sama kalian! Udah lama nggak ketemu!" ujar Bunda Amy sambil melepaskan pelukan dan menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. “Mantu Bunda makin cantik aja.”
Bening tersenyum kikuk. "Makasih, Bunda."
"Yuk, masuk! Bunda udah masakin banyak makanan kesukaan kalian!" ajak Bunda Amy sambil menarik tangan mereka masuk ke dalam rumah.
Begitu masuk ke ruang makan, Galang dan Bening langsung terpana.
Meja makan yang besar penuh dengan berbagai macam masakan—sop buntut, ayam bakar, ikan gurame asam manis, tumis kangkung, sambal terasi, dan... beberapa masakan yang terlihat spesial.
"Bunda, ini banyak banget," ujar Bening sambil menatap meja makan dengan mata terbelalak.
"Iya dong! Bunda seneng kalian bisa datang. Makanya Bunda masak banyak," ujar Bunda Amy sambil menuntun mereka duduk. "Ini loh, ada sop buntut—bagus buat stamina Galang. Terus ini ada sayur daun katuk sama jus alpukat campur madu—bagus buat kesuburan Bening."
Galang dan Bening langsung membeku.
Mata mereka saling bertemu dengan tatapan yang sama-sama panik.
"B-Bunda—" Bening mencoba bicara dengan suara pelan. "Kenapa banyak makanan kayak gini?"
Bunda Amy duduk di samping mereka sambil tersenyum lebar—senyum yang terlihat sangat penuh harap. "Kalian kan udah nikah hampir dua bulan! Masa Bunda belum dikasih cucu? Makanya Bunda masakin makanan yang bagus buat program hamil!"
Galang tersedak ludahnya sendiri. "Uhuk! Uhuk!"
Bening refleks menepuk punggung Galang dengan panik, wajahnya langsung memerah. “Mas, kamu nggak apa-apa?!”
"Iya... iya... aku... baik..." ujar Galang sambil batuk-batuk.
Bunda Amy menatap mereka berdua dengan tatapan khawatir. "Loh, kenapa? Kalian nggak mau punya anak?"
"Bukan gitu, Bunda." Bening berusaha menjelaskan sambil menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Bunda Amy. “Kami kan menikah karena perjodohan, jadi masih dalam masa penyesuaian. Masih menikmati masa-masa pacaran setelah menikah.”
Bunda Amy mengangguk pelan, raut wajahnya berubah seolah memahami maksud sang menantu.
“Ohh… iya, iya. Bunda paham,” ujarnya sambil tersenyum bijak.
Bening dan Galang sama-sama menghela napas lega.
Namun kelegaan itu hanya bertahan dua detik.
Bunda Amy tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mereka bergantian dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu, lalu nyeletuk, “Tapi kalian tetap melakukan prosesnya, kan?”
Galang tersedak lagi. “Uhuk—Bun!”
Wajah Bening langsung merah padam sampai ke telinga. Tangannya refleks mencengkram ujung taplak blazer-nya. “B-Bunda… maksudnya—”
“Ih, Bening ini,” potong Bunda Amy sambil terkekeh pelan. “Bunda kan cuma tanya. Pacaran setelah menikah ya harus ada usahanya dong. Masa cuma pegangan tangan doang?”
“Bun,” Galang mengusap wajahnya frustasi, “tolong jangan bahas ini di meja makan.”
“Loh kenapa?” Bunda Amy tampak polos. “Ini kan obrolan keluarga.”
Bening menunduk makin dalam. Suaranya lirih tapi tetap terdengar. “Bunda doain aja ya. Kami nggak mau buru-buru.”
Bunda Amy menatap wajah menantunya sejenak, lalu tersenyum lembut.
“Iya, iya. Bunda nggak maksa kok,” katanya sambil menepuk tangan Bening dengan penuh kasih. “Yang penting kalian bahagia dan saling jaga.”
Galang menatap Bening sekilas—ada rasa bersalah, tapi juga kehangatan yang tak bisa dia sangkal.
“Cuma satu pesan Bunda,” lanjut Bunda Amy. “Jangan kebanyakan gengsi. Suami-istri itu kalau lagi berantem, yang kalah bukan yang ngalah—tapi yang diam.”
Ucapan itu membuat Bening terdiam. Galang pun ikut terdiam.
Tak lama kemudian, suasana meja makan berubah canggung. Galang mengambilkan lauk untuk sang istri—sepotong ayam bakar dan sedikit sayur—lalu meletakkannya ke piring Bening.
“Makan yang banyak,” ujarnya pelan, nyaris berbisik. “Seharian kerja pasti capek.”
Bening menoleh sekilas, terkejut, lalu mengangguk. “Iya,” balasnya singkat.
Bunda Amy memperhatikan interaksi itu sambil tersenyum tipis. “Iya, Bening memang kelihatan kurusan,” katanya sambil menyendokkan sop ke mangkuk menantunya. “Kerja boleh, tapi kesehatan jangan dilupain. Istri itu harus dijaga, Lang.”
Galang mengangguk. “Iya, Bun.”
Bening menatap mangkuk sop di depannya, dadanya terasa hangat—entah karena kuah yang mengepul atau perhatian kecil yang diam-diam diberikan Galang. Meski masih ada canggung yang menggantung, setidaknya malam in mereka duduk di meja yang sama, makan bersama, dan perlahan belajar saling mendekat lagi.
Setelah makan malam selesai, Galang pamit sebentar untuk menerima telepon di teras belakang. Sementara itu, Bening membantu Bunda Amy membereskan meja makan—mengangkat piring kotor ke dapur dan merapikan sisa hidangan.
Saat mereka berada di dapur, Bunda Amy tiba-tiba membuka laci, lalu mengeluarkan sebuah botol mungil berwarna coklat. Dia menyelipkannya ke tangan Bening.
“Ini apa, Bun?” tanya Bening, kebingungan.
Bunda Amy tersenyum penuh arti. “Biar kamu sama suamimu badannya makin fit.”
Wajah Bening langsung memanas. “Bunda, Mas Galang kan nggak sakit.”
“Iya, Bunda tahu,” sahut Bunda Amy sambil menepuk punggung tangan Bening. “Ini bukan buat obat sakit, Nak. Ini biar tahan lama di atas ranjang.”
Bening nyaris menjatuhkan botol itu. Matanya terbelalak, nafasnya tercekat. “B-Bunda!”
Bunda Amy terkekeh pelan, tampak puas melihat reaksi menantunya. “Sudah, simpan aja. Nanti juga kepake.”
Bening menelan ludah, lalu buru-buru menyelipkan botol kecil itu ke dalam saku blazer-nya, berharap Galang tidak melihat apa pun. Dari luar dapur, suara langkah kaki terdengar—Galang sepertinya sudah selesai menelepon.
Bening menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan wajahnya yang masih panas.
‘Ternyata menghadapi mertua—jauh lebih berbahaya daripada menghadapi suami sendiri.’ batin Bening dalam hati.