Galang berdiri di depan pintu kamar Bening sambil mengetuk pelan. Dari dalam terdengar suara shower yang mengalir deras.
"Bening, aku boleh pinjam flashdisk-mu?" teriaknya sambil menempelkan telinga ke pintu.
"Apa, Mas?!" suara Bening nyaris tenggelam dalam deru air. "Tunggu sebentar!"
Galang menghela napas. Dia melirik jam tangan—rapat dimulai sejam lagi dan Dia masih harus menyiapkan file presentasi. "Bening, aku buru-buru. Ada rapat jam sembilan!"
Beberapa detik kemudian, suara Bening terdengar lebih keras. "Ambil sendiri! Di atas meja kerja! Sebelah laptop!"
Galang mengangguk meski istrinya tak bisa melihat. Dia memutar kenop pintu perlahan dan masuk. Kamar Bening tertata rapi seperti biasa—tempat tidur dengan seprai berwarna pink, rak buku di sudut ruangan, dan meja kerja di dekat jendela.
Suara air dari kamar mandi masih terdengar jelas. Galang berdehem canggung, berusaha mengabaikan bayangan tubuh Bening yang samar terlihat dari balik kaca buram pintu kamar mandi.
"Fokus, Galang," gumamnya pada diri sendiri.
Dia melangkah cepat menuju meja kerja. Matanya menyapu permukaan meja—laptop, tumpukan blueprint, beberapa majalah arsitektur, kalkulator, dan... tidak ada flashdisk.
"Bening, aku nggak nemu!" teriaknya.
"Ada kok! Coba cari di laci atas!"
Galang membuka laci dengan hati-hati. Tangannya bergerak di antara alat tulis, sticky notes berwarna-warni, klip kertas, dan beberapa brosur properti. Jari-jarinya menyentuh sesuatu—sebuah benda kecil berbentuk silinder.
Dia mengangkat benda itu. Bukan flashdisk.
Sebuah botol kecil berwarna cokelat gelap. Galang mengerutkan kening, membawa botol itu lebih dekat ke matanya. Ukurannya tidak lebih besar dari ibu jarinya.
Detik itu juga, matanya melebar. Nafasnya tertahan sejenak.
Galang mengenali bentuk dan warna botol itu. Terlalu familiar. Dia pernah melihatnya di acara pesta lajang sahabatnya dulu, bahkan sempat dijadikan bahan lelucon sepanjang malam.
"Obat kuat?!"
Kata-kata itu meluncur dari bibirnya tanpa sadar, nyaris berbisik. Tangannya sedikit gemetar memegang botol mungil itu. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
“Untuk apa Bening menyimpan ini? Buat siapa? Kenapa harus disembunyikan di laci?”
Suara air tiba-tiba berhenti. Galang tersentak, reflek menutup laci dengan agak keras—terlalu keras.
"Ketemu?!" suara Bening dari dalam kamar mandi.
"Belum!" jawab Galang tergagap. Dia memasukkan botol kecil itu kembali ke dalam laci dengan tangan yang sedikit berkeringat.
Jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa, penemuan ini membuatnya bingung. Gugup. Dan sedikit penasaran?
"Coba cek laci kedua! Mungkin ada di situ!"
Galang menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang mulai muncul. Dia membuka laci kedua dan—akhirnya—menemukan flashdisk berwarna biru dengan gantungan berbentuk rumah mungil.
"Ketemu!" teriaknya, suaranya sedikit lebih tinggi.
"Oke! Tutup pintunya ya kalau keluar!"
"Iya!"
Galang bergegas keluar dari kamar, tapi langkahnya melambat sesaat sebelum menutup pintu. Matanya melirik sekilas ke arah meja kerja—tepatnya ke laci yang tadi dibukanya.
Botol kecil itu masih terbayang jelas di benaknya.
Dengan nafas panjang, Galang menutup pintu perlahan. Dia berdiri di koridor beberapa detik, flashdisk tergenggam erat di tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengusap wajah dengan frustasi.
"Apa-apaan ini," gumamnya pelan.
Namun, sudut bibirnya—entah kenapa—terangkat sedikit. Sebuah senyum tipis yang bahkan dia sendiri tidak sadar. Pikiran-pikiran aneh dan pertanyaan-pertanyaan yang lebih aneh mulai memenuhi kepalanya.
“Apa maksud Bening menyimpan barang itu? Apa dia berharap sesuatu terjadi di antara kami?”
Galang menggeleng cepat, menepuk kedua pipinya sendiri. "Sudah sudah, jangan mikir yang aneh-aneh."
Tapi ketika dia melangkah menuju kamarnya sendiri untuk bersiap-siap, senyum itu masih belum hilang dari wajahnya. Dan pikirannya terus melayang pada botol kecil berwarna cokelat yang tersembunyi di laci meja kerja istrinya.
***
Malam harinya, di angkringan, Galang menghabiskan waktu bersama ketiga sahabatnya setelah seharian sibuk bekerja. Dia duduk gelisah sambil memainkan sendok di dalam gelas tehnya. Raut wajah yang biasanya datar kini tampak bimbang.
"Kamu kenapa sih dari tadi?" tanya Mahen, sambil menggigit gorengan. "Kayak orang lagi mikirin ujian hidup."
Galang menghela napas panjang. "Tadi pagi aku nemuin sesuatu di kamar Bening."
Ketiga sahabatnya langsung mendekat, mata berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Apa?" Mahen menyeringai. "Jangan-jangan surat cinta dari mantan?"
"Atau... boneka voodoo dengan mukamu?" tambah Dirga sambil terkekeh.
Galang memutar bola mata. "Bukan. Ini lebih aneh."
Dia menunduk, suaranya merendah. "Aku nemu botol kecil di lacinya. Botol obat kuat."
Hening.
Tiga pasang mata sahabatnya membulat sempurna. Kemudian, serentak mereka tertawa keras—terlalu keras sampai pengunjung angkringan lain menoleh.
"WHAT?!" Bima hampir tersedak. "Bening? Istrimu yang polos nyimpen obat kuat?!"
"Buat apa coba?" Dirga semakin penasaran. "Atau jangan-jangan buat kamu, Lang?"
Wajah Galang memerah. "Aku juga nggak tahu! Makanya aku bingung!"
Mahen menepuk bahunya sambil terkikik. "Mungkin dia lagi berharap sesuatu, Lang. Kamu tahu kan maksudku?"
"Atau," Dirga menyela dengan nada menggoda, "mungkin dia udah bosan sama pernikahan kontrak yang nggak ada isinya. Dia pengen yang ‘real’."
Galang menghela napas panjang, lalu menaruh satu lengannya di atas meja. “Aku nggak berani nanya langsung ke Bening,” ujarnya akhirnya. “Takut dia malah marah lagi. Kami baru saja berbaikan.”
“Nah, benar itu. Kalau kamu tanya sekarang, nanti dia mikir kamu nuduh macem-macem,” ujar Mahen.
“Iya,” sambung Bima. “Jangan ditanya. Diam adalah kunci. Meskipun bikin kamu penasaran setengah mati.”
Dirga mencondongkan tubuh ke arah Galang. “Tapi ya, Lang… justru karena kamu diam, otak kamu bakal kemana-mana.”
“Stop,” potong Galang cepat. “Itu yang aku takutkan.”
Mahen tiba-tiba menjentikkan jari. “Aku punya ide.”
Galang refleks menegakkan badan. “Kalau ide kamu aneh, jangan diomongin.”
“Tenang. Ini ilmiah,” kata Mahen dengan wajah serius. “Kamu harus mulai lebih perhatian. Lebih romantis. Lebih aktif.”
Galang mengerutkan kening. “Aktif apanya?”
“Ya aktif sebagai suami,” jawab Mahen sambil mengedipkan mata berlebihan. “Siapa tahu botol itu memang… kode.”
Galang langsung merinding. “Jangan ngomong gitu.”
Dirga ikut menimpali, nadanya penuh semangat. “Atau kamu pura-pura kecapean. Terus bilang, ‘Duh, Mas capek banget hari ini.’ Lihat reaksinya gimana.”
“Kalau dia malah ngasih minum jamu?” sambung Mahen cepat.
Galang bergidik ngeri. “Kalian ini nggak nolong, malah bikin aku stres!”
Bima yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Oke, saran normal ya. Anggap aja kamu nggak pernah nemu apa-apa. Tapi perhatiin sikap Bening. Kalau dia berubah—lebih manis, lebih lengket—berarti ada maksud lain.”
“Kalau nggak berubah?” tanya Galang pelan.
Dirga terkekeh. “Berarti itu cuma persiapan.”
“Persiapan apa?” Galang menelan ludah.
“Persiapan mental kamu,” jawab Mahen cepat, lalu tertawa terbahak-bahak.
Galang memejamkan mata, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin. “Sumpah, aku nyesel cerita ke kalian.”
“Telat,” kata Mahen. “Sekarang kamu sudah dikutuk rasa penasaran.”
Galang membuka mata, menatap gelas tehnya yang sudah dingin. Bayangan botol kecil itu kembali muncul di kepalanya—lengkap dengan semua kemungkinan absurd yang baru saja ditanamkan oleh ketiga sahabatnya.
Dia menghembuskan napas berat.
“Mulai sekarang,” gumamnya pelan, “aku harus ekstra hati-hati.”
Karena menghadapi Bening saja sudah bikin deg-degan, ditambah nasihat sahabat-sahabatnya.
Galang merasa hidupnya sekarang berada di zona berbahaya.