Bening menutup laptopnya dengan pelan, lalu meregangkan tubuh yang pegal setelah seharian mengerjakan desain. Matanya melirik ke arah dapur—Galang sedang sibuk memasak sesuatu. Aroma menguar hingga ke ruang keluarga.
“Aneh,” batinnya. “Biasanya Mas Galang masak sesuai jadwal. Ini hari Rabu, seharusnya pulang malam.”
"Bening!" suara Galang memanggil dari dapur. "Makan malam sudah siap!"
Bening bangkit dari kursi dan melangkah ke ruang makan. Di atas meja sudah tersaji tumis kangkung, ayam goreng mentega, sup jagung, dan nasi putih hangat.
"Kok tiba-tiba masak banyak?" tanya Bening sambil duduk.
Galang menarik kursi di seberangnya, kemudian duduk, tanpa melepas apron lebih dulu. "Kebetulan lagi pengen masak."
Tapi ada yang berbeda dari cara Galang menatapnya.
Matanya tidak berkedip. Terlalu intens. Menatap Bening seolah sedang mengamati lukisan langka di museum. Bahkan ketika Bening mengambil sendok, mata itu tetap terpaku padanya.
Bening merasa tengkuknya merinding.
"Kenapa?" tanyanya sambil menyendok nasi dengan gerakan canggung. "Ada yang salah?"
"Enggak," jawab Galang cepat. Terlalu cepat. "Kamu kelihatan cantik hari ini."
Sendok Bening hampir jatuh.
‘Apa-apaan ini?!’ Serunya dalam hati.
“Aku pakai kaos bolong dan celana kolor, rambut acak-acakan, bahkan belum mandi,” ujar Bening datar. “Di mana letak cantiknya?”
"Tetep cantik."
Galang menjawab tanpa ragu, masih dengan tatapan yang sama. Matanya berbinar. Seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru.
Bening merasakan merinding menjalar dari tengkuk hingga ke punggungnya. Dia sibuk mengunyah ayam sambil sesekali melirik suaminya dari balik poni.
Tatapan itu... mecum. Sangat mecum.
Seperti orang lapar yang menatap makanan. Atau lebih tepatnya, seperti serigala yang menatap mangsa.
"Mas Galang, kamu sakit?" tanya Bening.
"Enggak. Kenapa?"
"Kamu natap aku terus. Creepy."
Galang berdehem, akhirnya mengalihkan pandangan ke piringnya sendiri. Tapi tidak sampai lima detik, matanya kembali melirik Bening. Kali ini lebih subtle, tapi tetap saja... intens.
Bening menghela napas panjang dan memutuskan fokus pada makannya saja.
Setelah makan malam selesai, Bening berdiri lebih dulu. Dia merapikan serbet di pangkuannya, lalu meraih beberapa piring kosong di meja.
“Biar aku yang beresin, Mas,” ujarnya sambil mengumpulkan piring.
Baru saja jemarinya menyentuh tepi piring, tangan Galang lebih dulu menahannya.
“Nggak usah,” ucap Galang cepat. “Biar aku aja.”
Bening menoleh, sedikit terkejut. “Mas, aku sungkan loh. Masak cuman makan aja. Lagian cuma cuci piring. Gak bakal bikin berantakan dapur—”
“Bening,” potong Galang pelan, menatapnya singkat. “Kamu ke ruang keluarga aja. Tunggu aku sambil baca majalah.”
Bukan perintah keras, tapi ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat Bening kehilangan alasan untuk membantah.
Dia menatap Galang beberapa detik, lalu menghela napas kecil. “Ya sudah.”
Bening berjalan ke ruang keluarga dan duduk di sofa, menyandarkan punggungnya. Dari sana, dia masih bisa mendengar suara piring dan air mengalir dari dapur. Entah kenapa, perasaannya terasa canggung. Seperti tamu, bukan istri.
Tak lama kemudian, langkah kaki mendekat.
Galang muncul dari arah dapur membawa sebuah nampan. Di atasnya ada potongan buah yang tertata rapi dan segelas jus dingin.
“Ini,” ujarnya singkat sambil meletakkan nampan di meja depan sofa.
Bening menatapnya, sedikit terkejut. "Ya ampun, Mas. Kok repot-repot sih.”
“Buat camilan,” balas Galang. “Kata Bunda kamu kurusan.”
Bening meraih garpu, tapi gerakannya melambat ketika dia menyadari satu hal.
Tatapan itu.
Galang berdiri di depannya, menatap tanpa senyum—tatapan yang sama seperti beberapa hari terakhir. Bukan dingin. Bukan marah. Tapi terlalu dalam. Membuat tengkuk Bening meremang tanpa alasan yang jelas.
“Ada apa?” tanya Bening akhirnya, suaranya pelan.
Galang tersentak seolah baru sadar sedang menatap terlalu lama. Dia mengalihkan pandangan, berdehem kecil. “Nggak ada. Makan aja.”
Lalu Bening kembali membaca majalah interior. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Galang yang sudah duduk di sofa seberang, pura-pura menonton TV. Tapi layar TV bahkan tidak menyala.
Yang menyala adalah tatapannya. Lagi-lagi menatap Bening.
Bening merasakan bulu kuduknya berdiri. "Mas Galang."
"Hm?"
"Kenapa kamu natap aku lagi?"
"Enggak kok."
"Bohong. Dari tadi lihatin aku terus."
Galang menggaruk kepala yang tidak gatal. "Habisnya kamu kalau lagi serius gitu—kelihatan lucu."
"Lucu apanya?!" Bening melempar bantal ke arah suaminya. "Mas tuh bikin aku bergidik ngeri sendiri! Kayak ada hantu yang ngintip!"
Galang menangkap bantal itu dengan satu tangan, lalu tersenyum—senyum aneh yang membuat Bening semakin merinding.
"Maaf," ujarnya, tapi nada suaranya sama sekali tidak terdengar menyesal.
Bening menggumam kesal dan kembali fokus pada majalahnya. Tapi konsentrasinya buyar. Dia bisa merasakan tatapan itu lagi. Menusuk. Membakar. Bikin gatal.
‘Mas Galang kenapa sih tiba-tiba jadi aneh begini?’ batinnya kesal.
***
Siang ini Bening menemani Genta ke showroom furniture mewah di kawasan Senopati. Genta memang cerewet dan menyebalkan, tapi sebagai klien, Bening harus tetap profesional.
"Ini terlalu modern," keluh Genta sambil menunjuk sofa berwarna abu-abu minimalis. "Aku maunya yang klasik tapi tetap elegan. Kamu kan desain interior, masa nggak ngerti sih?"
Bening menahan desahan frustasi. "Pak Genta, ini sudah kesekian kalinya bapak ganti konsep. Awalnya mau modern minimalis, terus industrial, sekarang klasik elegan. Tolong yang konsisten."
"Ini uangku, aku berhak ganti konsep sesuka hati," balas Genta sambil melipat tangan di d**a.
Bening menggigit bibir bawah, menahan amarah. Dia baru saja ingin membuka mulut untuk menjawab ketika suara familiar terdengar dari belakang.
"Bening?"
Tubuh Bening menegang. Dia mengenali suara itu.
Perlahan, dia berbalik. Dan benar saja—Galang berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan hitam. Penampilannya sangat rapi membuat suaminya terlihan tampan. Tapi yang membuat Bening hampir meloncat kaget adalah tatapannya.
Lagi-lagi tatapan mecum itu.
Mata Galang terpaku pada Bening dengan intensitas yang sama seperti beberapa hari terakhir. Bahkan lebih intens. Seolah Bening adalah satu-satunya orang di ruangan itu.
"Mas Galang?" Bening berusaha terdengar tenang. "Mas ngapain di sini?"
Galang melangkah mendekat dengan langkah santai, tapi matanya tidak pernah lepas dari Bening. "Mau cari furniture buat cabang restoran yang baru. Kebetulan lokasinya deket sini."
"Oh." Bening mengangguk kaku.
Genta berdehem keras, menyadari keberadaannya diabaikan. "Galang kamu tidak lupa denganku kan?"
Akhirnya Galang mengalihkan pandangan—dengan sangat enggan—dari Bening ke Genta. Ekspresinya berubah dingin. "Untuk apa mengingat orang yang tidak penting."
"Oh," Genta menyeringai. "Kebetulan Bening lagi bantuin aku pilih furniture. Dia desain interior yang handal, tapi sayangnya suka ngeyel."
Rahang Galang mengeras. Tatapannya pada Genta berubah tajam—bukan lagi mecum, tapi penuh peringatan.
"Bening profesional dan tahu apa yang dia kerjakan," ujar Galang datar. "Kalau kamu tidak punya uang mending batalkan saja renovasinya."
Bening menatap suaminya dengan mata membulat. ‘Mas, Galang, hentikan!’
Wajah Genta langsung berubah. Senyum sinisnya lenyap, digantikan raut merah padam yang sulit disembunyikan.
“Apa maksudmu?” suaranya meninggi. “Kamu merendahkanku?”
Beberapa staf showroom langsung menoleh. Suasana yang tadinya tenang mendadak tegang.
Galang berdiri tegak, bahunya lurus, ekspresinya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memancing amarah orang lain. “Aku cuma bilang fakta,” jawabnya singkat. “Jangan buang waktu orang lain hanya untuk menuruti ego kamu yang tidak jelas itu.”
“Orang?” Genta tertawa pendek, tapi tawanya kosong. “Maksudmu istrimu itu, kan?”
Bening refleks melangkah maju. “Pak Genta, tolong—”
“Diam dulu, Bening,” potong Genta tanpa menoleh. Matanya masih terpaku pada Galang. “Kamu pikir cuma karena kamu suaminya, kamu bisa seenaknya ikut campur urusan pekerjaan?”
Galang mendekat satu langkah. Jarak mereka kini terlalu dekat untuk sekadar percakapan bisnis.
“Aku ikut campur,” ucap Galang pelan, “karena kamu melewati batas.”
“Batas yang mana?” Genta mendengkus. “Aku klien. Dia dibayar. Dia harus mendengarkan.”
Tatapan Galang mengeras. Ada sesuatu di matanya yang membuat Bening menggenggam ujung tasnya.
“Dia bukan bawahanmu,” kata Galang datar. “Dan jelas bukan tempat pelampiasan egomu.”
Genta mengepalkan tangan. “Kamu pikir aku takut sama kamu?”
Galang tidak menjawab. Dia hanya menatap—tatapan mecum yang kini berubah dingin, tajam, dan penuh tekanan. Seperti predator yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bermain.
“Aku tidak peduli,” ujarnya. “Aku mau kamu tahu batasan.”
Genta tersenyum miring. “Kalau aku nggak mau?”
Galang sedikit memiringkan kepala. “Maka kerja sama ini selesai sekarang.”
“Apa?” Genta melirik Bening cepat. “Kamu berani nyuruh istrimu lepas proyek sebesar ini?”
Galang tidak menoleh pada Bening. Tapi tangannya terulur—bukan menyentuh, hanya berada di dekatnya. Protektif tanpa harus menyentuh.
“Uang bisa dicari,” katanya tenang. “Tapi harga diri tidak.”
Bening menahan napas. Dadanya naik turun cepat. Dia belum pernah melihat Galang seperti ini—tenang, tegas, dan mengintimidasi.
Genta tertawa keras, terdengar dipaksakan. “Hebat. Jadi ini caramu pamer kekuasaan?”
“Ini caraku bilang,” Galang menatap langsung ke mata Genta, “istriku bukan objek yang bisa kamu tekan sesuka hati.”
Kata istriku meluncur dengan penekanan yang membuat Bening tercekat.
Genta mendecih kesal. “Aku tidak akan membatalkan proyek ini. Aku sudah mengeluarkan banyak uang.”
Tanpa menunggu tanggapan, dia berbalik dengan wajah mengeras. Langkahnya cepat dan berat, sepatu kulitnya menghentak lantai showroom dengan bunyi tajam. Bahunya tegang, rahangnya mengatup kuat—jelas menahan amarah yang mendidih.
“Urusan ini belum selesai,” gumamnya sebelum benar-benar pergi, meninggalkan Bening dan Galang.
Bening menoleh cepat. “Mas Galang—”
Galang memotong ucapannya. “Lain kali kalau Genta memperlakukanmu sesuka hati, langsung hubungi aku. Jangan cuma nurut dan bilang iya-iya aja.”