“Mbak, Pak Galang bilang Mbak Bening harus pulang hari ini,” kata Reni sambil duduk menemani Bening makan siang di cafe seberang kantor.
Bening langsung mendengkus kesal. “Gak mau!” tegasnya.
“Tapi Mbak Bening sudah terlalu lama kaburnya,” ujar Reni lagi, mencoba mengingatkan bosnya agar sadar situasi.
“Baru juga dua minggu,” balas Bening enteng sambil mengunyah.
Reni memijat pelipisnya. Kepalanya sudah pusing—tiap hari ditelpon Galang agar membawa pulang istrinya, tapi yang diajak pulang justru kekeuh menolak.
Dia juga kesal pada Galang. Sudah tahu istrinya ngambek, bukannya dirayu malah ikutan ngambek hanya karena sarapan yang dia bawa ditolak dengan alasan puasa.
“Dua minggu itu lama loh, Mbak. Kalau sampai Pak Umar tahu gimana?”
“Eh, ya jangan sampai tahu, Mbak!” Bening mengibaskan tangan. “Kalau Papa tanya tentang rumah tangga kami, bilang saja baik-baik saja dan penuh cinta. Kalau perlu tambahin, tiap pagi kami berpelukan di dapur.”
“Ngapain, Mbak?”
“Ya biar kayak drama China itu. Aku masak sarapan, terus Mas Galang gelendotan di belakang.”
Reni menghela napas, menatap Bening dengan pasrah. “Kalau menghayal memang membahagiakan ya, Mbak.”
“Hah, setidaknya aku bisa bahagia lewat khayalan itu,” jawab Bening sambil menyeruput minumannya.
Bening tidak hanya sedang istirahat makan siang. Hari ini dia memang sudah janjian dengan ketiga sahabatnya—yang Galang sebut sebagai Trio Singa.
Begitu piringnya kosong, Ayla, Nina, dan Tara datang dengan gaya heboh seperti biasa.
“Hai, Sayang, makin cantik aja kamu,” sapa Ayla sambil memeluk Bening.
Nina langsung menimpali, mencubit pipi Bening. “Ngekos bukannya kurus, malah makin chubby ini pipinya.”
“Kayaknya lebih bahagia ngekos kamu, Dek,” ujar Tara sambil terkekeh.
Bening terbahak mendengar komentar ketiga sahabatnya, lalu mempersilahkan mereka duduk.
Sementara itu, Reni pindah ke meja sebelah, bergabung dengan para asisten trio singa itu.
“Masih ada kerjaan atau enggak, Dek?” tanya Nina sambil membuka menu.
Bening menggeleng santai. “Aman, Mbak. Udah aku selesaikan semua. Jadi nggak perlu balik kantor lagi.”
Ayla lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layar berisi e-ticket pesawat. Setelah di-swipe, muncul reservasi hotel.
“Liburan ke Lombok akhir pekan ini?” tanya Bening mengerjap.
Ketiga sahabatnya mengangguk bersamaan, kompak seperti girlband.
Senyum Bening langsung merekah. “Ide bagus. Stres banget aku setelah balik Jakarta.”
“Ya karena kamu salah pilih suami, Dek,” celetuk Nina tanpa ampun.
“Sebenarnya nggak salah sih,” sanggah Tara. “Cuma Mas Galang-nya yang belum bisa buka hati aja.”
“Ckck, dasarnya aja Galang yang bodoh,” gerutu Ayla. “Punya istri cantik, pintar, baik, eh malah disia-siakan.”
“Padahal mantan pacarnya dulu selingkuh gara-gara Galang cuma jadi sekretaris, nggak punya perusahaan sendiri,” jelas Nina sambil menyeruput minumannya.
Ya, dulu Galang memang sekretaris Mahen—suami Ayla. Tapi bukan sembarang sekretaris. Dia bekerja di perusahaan bonafit dengan gaji tinggi dan bonus besar.
“Sekarang kan udah jadi bos,” tambah Tara. “Punya restoran mewah di beberapa kota besar. Level-nya udah beda jauh.”
Bening hanya menghela napas. Di satu sisi bangga, di sisi lain… pusing sendiri. Suami kontraknya itu benar-benar rumit—dan sayangnya, lumayan tampan juga.
“Seperti apa sih mantan pacarnya Mas Galang?” tanya Tara dengan rasa ingin tahu setinggi langit.
“Kayak opet,” jawab Nina cepat tanpa mikir.
Bening langsung terbahak. Sama sekali tidak merasa cemburu—yang ada justru membayangkan wajah ‘opet’ versi Nina dan makin ngakak.
Ayla kemudian mengambil sebuah paper bag dari bawah meja. Dia menyerahkannya pada Bening.
“Apa ini, Mbak?” tanya Bening sambil menerima tas tersebut.
“Barang penting yang harus dipakai kalau kamu liburan ke Lombok,” jawab Ayla santai. “Nanti buka aja kalau udah sampai kos.”
Ternyata bukan hanya Ayla, Nina dan Tara juga membawa hadiah. Mereka menyerahkannya pada Bening satu per satu, dengan ekspresi super misterius.
“Padahal cuma liburan sebentar loh. Kenapa harus dikasih hadiah sebanyak ini sih?” keluh Bening.
“Eh, meskipun sebentar tetap harus berkesan, Dek,” ujar Nina dengan senyum jahil.
“Pokoknya kamu harus buat suami bodohmu itu kelabakan sendiri,” kata Ayla penuh semangat.
Bening mengerutkan kening. Kata kelabakan itu membuatnya bingung. Yang dia tahu, liburan ini untuk me-restart otaknya agar tidak gila menghadapi sikap suaminya.
Melihat wajah Bening yang polos kebingungan, Tara akhirnya menjelaskan.
“Kita mau Galang itu nyesel udah ngajak kamu nikah kontrak dan nyia-nyiain kamu, Dek.”
“Gak bakal kelabakan, Mbak. Kayaknya dia malah seneng deh. Soalnya aku nggak bikin kotor apartemen dan nggak bikin sakit telinganya,” jelas Bening jujur.
Nina menyeringai nakal. “Karena dia belum tahu aja.”
“Betul,” sahut Ayla, tak kalah nakal senyumnya.
Bening semakin bingung. Dia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya agar membuat suaminya itu uring-uringan.
Tara memutar matanya lalu mendekat, berbisik seperti sedang membocorkan rencana rahasia negara.
“Dek, tujuan kita bukan bikin kamu ribut sama Galang.”
“Terus?” Bening memiringkan kepala.
“Kita mau kamu tampil lebih kece, lebih menggoda, dan lebih bersinar,” jelas Tara.
Nina menambahkan, “Biar dia lihat… betapa bodohnya dia yang selama ini mengabaikanmu begitu aja.”
Ayla menyikut Bening pelan. “Dan biar dia sadar, wanita kayak kamu… bisa direbut siapa aja kalau dia gak gercep.”
Bening terdiam. Tatapannya berpindah dari satu sahabat ke sahabat lain.
“Terus hadiah-hadiah ini isinya apa?” tanyanya pelan.
Mereka bertiga saling pandang—lalu senyum mereka melebar kompak.
Ayla mencondongkan badan. “Let’s just say… kamu bakal pulang dari Lombok dengan hati fresh, pikiran fresh, dan penampilan yang bisa bikin Galang mewek di pojokan apartemen.”
Bening menelan ludah. “Kenapa kayak ancaman sih, Mbak?”
Nina mengangkat alis. “Karena memang begitu niat kita.”
Trio Singa mengangguk bersamaan—tegas, kompak, dan sedikit menakutkan.
“Dah, pokoknya nurut aja. Nanti kita pantau dari Jakarta,” kata Nina sambil menepuk bahu Bening seperti seorang kapten yang sedang melepas pasukan perang.
Akhirnya Bening mengangguk. Entah kenapa, dia percaya saja kalau mengikuti saran ketiga sahabatnya itu bisa mengubah sikap suaminya padanya.
“Oh iya, jangan pulang ke apartemen dulu, ya. Kamu masih nyaman tinggal di kosan kan?” tanya Ayla.
“Nyaman banget, Mbak. Bahkan aku nggak ada niatan buat balik ke apart loh,” jawab Bening jujur.
Tara langsung terbahak. “Saking bawelnya Mas Galang, ya?”
Bening mengangguk, seperti baru menyelesaikan ujian hidup.
Ide untuk minggat, sebenarnya berasal dari Trio Singa. Mereka menahan Bening agar tidak kembali ke apartemen sebelum Galang benar-benar menyesali sikapnya.
Bahkan, Tara sekarang secara resmi menjadi pemilik kos itu—hanya demi memastikan Bening aman dan nggak bisa ditarik paksa oleh suaminya.
Benar-benar sahabat sejati.
Sayangnya mereka juga sering mengajari ilmu-ilmu sesat kepada Bening yang masih polos dan gampang dibujuk.
“Pokoknya mulai hari ini,” ujar Ayla sambil mengangkat dagu Bening, “kamu bukan Bening yang Nurut dan Lembut lagi. Kamu adalah Bening versi upgrade, yang bikin suamimu kepikiran tujuh hari tujuh malam.”
Nina mengacungkan jempol. “Betul betul betul.”
Bening menatap mereka satu per satu… dan akhirnya menghembuskan napas.
“Baiklah,” katanya lirih, “aku siap menjadi murid para suhu.”
Tara terkekeh puas. “Nah gitu dong! Suami kamu belum tahu bahaya apa yang dia ciptakan sendiri.”
Tak lama kemudian, ponsel Bening yang tergeletak di meja berdering. Nama Galang terpampang jelas di layar.
Sudah dua minggu dia tidak pernah mengangkat telepon suaminya. Bahkan pesan-pesan Galang pun dibiarkan tenggelam dan tidak dibalas.
“Gimana, Mbak?” tanya Bening pada ketiga sahabatnya.
“Angkat!” jawab mereka bertiga kompak, seperti paduan suara yang sudah latihan berbulan-bulan.
Bening mengangguk gugup. Dia menekan tombol hijau, lalu—atas perintah Ayla—menyalakan loudspeaker.
“Bening—” suara Galang terdengar. Lembut. Tidak ketus. Tidak meledak-ledak seperti biasanya. “Sampai kapan kamu ngekos?”
Bening menatap sahabat-sahabatnya, menunggu instruksi.
Nina segera menunduk dekat telinga Bening, membisikkan kalimat sesat.
“Sampai aku ketemu calon suami yang tampan, kaya raya, dan sayang istri,” ucap Bening lurus, mengikuti script Nina.
Hening sejenak.
Lalu terdengar suara Galang yang tercekat. “Astaghfirullah, Bening. Kamu bicara apa sih?”
“Kurang jelas? Mau aku ulangi?” tawar Bening.
Nina memberi acungan jempol puas.
Galang mendesah berat. “Hari ini kamu harus pulang. Bunda minta kita makan malam di rumah beliau.”
“Ngapain pulang segala? Kita ketemu aja di rumah Bunda,” balas Bening cepat, sambil memandang Trio Singa untuk memastikan jawabannya benar.
“Bunda bakal curiga kalau kita nggak datang bareng.”
“Ya kan bisa janjian di depan komplek. Bunda nggak bakal tahu,” sahut Bening lagi—kali ini bisikan Tara yang dia tiru.
Ada jeda beberapa detik sebelum Galang bersuara lagi.
“Kamu sekarang pintar banget jawabnya.” Suaranya rendah, terdengar seperti menahan sesuatu. “Pasti ajaran Trio Singa!”
Trio Singa langsung saling tos di tempat.
Ayla kemudian menepuk pundak Bening, memberi instruksi lanjutan. Bening mendekatkan telinganya dan mendengarkan saran itu, lalu mengulanginya ke telepon.
“Mas, aku belum mau pulang. Aku butuh waktu.”
Galang diam. Hanya napasnya yang terdengar dari seberang.
“Waktu untuk apa?” tanyanya pelan.
Bening menelan ludah. Jawaban ini bukan dari Trio Singa. Ini murni dari dirinya sendiri.
“Untuk nggak sedih lagi,” jawabnya lirih.
Suara Galang langsung melembut. “Bening, aku gak bermaksud bikin kamu sedih.”
“Kenyataannya gitu,” balas Bening jujur.
Nina mencolek lengannya, memberi kode untuk lanjut menyerang.
“Tapi—” Bening menambahkan cepat, “aku mau healing ke Lombok. Jadi kalau mau ngomel, nanti aja setelah aku balik.”
“Lombok?” suara Galang naik satu oktaf. “Kamu mau ke Lombok sama siapa?”
Bening melihat para sahabatnya. Mereka semua mengangkat tiga jari seperti salam pramuka.
“Temen-temen aku lah, Mas,” sahut Bening santai.
“Bening. Pulang hari ini.” Suara Galang berubah rendah, berat, dan sedikit panik.
Ayla memberi instruksi lewat gerakan tangan.
Bening mengangguk dan menjawab, “Nggak. Aku mau liburan.”
“Bening—”
Tapi Bening cepat-cepat memotong.
“Oke Mas, aku mau makan siang dulu. Bye.”
Lalu dia menutup telepon. Tanpa menunggu jawaban Galang.
Ketiga sahabatnya langsung bersorak lirih, seperti habis memenangkan pertandingan besar.
“DEK! Itu tadi mantap betul!” teriak Nina pelan sambil memeluk Bening.
“Mas Galang pasti kelabakan sekarang,” ujar Tara puas.
Ayla mencondongkan badan ke arah Bening dengan senyum penuh rencana gila.
“Fase satu berhasil.”
“Fase satu?” Bening mengerjap.
“Yup,” jawab Ayla. “Fase dua—bikin dia makin nggak tenang pas kamu di Lombok.”
“Caranya?” Bening menatap mereka was-was.
Senyum nakal terbentuk di bibir ketiganya.