Galang baru saja selesai meeting dengan klien barunya. Proyek besar sedang dia rancang. Pembangunan pendopo di belakang restorannya, yang nantinya akan dijadikan gedung serbaguna.
Namun sepanjang meeting, fokusnya terusik. Ponselnya bergetar berkali-kali—Bunda Amy menelpon tanpa jeda, menanyakan kenapa putranya itu belum juga membawa sang istri untuk makan malam di rumah.
Begitu kliennya pergi, Galang langsung menghela napas panjang, menatap layar ponsel yang masih menyala. Nama Bunda Amy terpampang di sana.
Da menekan tombol jawab.
“Assalamualaikum, Bun—”
“Galang!” suara Bunda Amy terdengar kesal. “Kenapa dari tadi nggak kamu angkat telepon Bunda?"
Galang menutup mata, memijat batang hidung. “Maaf, Bun. Tadi ada meeting penting jadi gak bisa angkat telepon.”
“Meeting apa coba sampai kamu lupa sama orang tua? Bunda tunggu dari jam lima sore, katanya mau datang ke rumah ajak Bening, tapi sampai jam tujuh malam gak ada kabar.”
“Galang sibuk, Bun. Bening juga sibuk.”
Hening sejenak sebelum Bunda Amy mulai curiga dengan putranya, “Kalian berdua baik-baik saja kan?”
“Baik, Bun,” jawab Galang cepat. Terlalu cepat.
Karena setelah itu, Bunda Amy mendesis, “Galang… jangan bilang kamu mengusir Bening dari apartemen.”
Galang langsung terpaku. “Hah? Bun! Enggak! Masa Galang mengusir istri sendiri?”
“Terus kenapa kamu gak ajak bening main ke rumah Bunda? Kenapa tiap kali Bunda tanya, kamu jawabnya muter-muter? Jangan sampai Bunda datang ke apartemen kalian buat ngecek sendiri.”
Galang langsung panik. Kepalanya rasanya berputar tujuh keliling.
“Bun… serius. Bening lagi banyak kegiatan. Minggu ini dia sibuk. Kita janji ke rumah Bunda minggu depan. InsyaAllah, ya?”
Bunda Amy menghela napas panjang. “Galang, Bunda harap kamu jujur. Jangan sampai kamu mengecewakan Bunda ya.”
“Aku nggak bohong, Bun. Sumpah!.”
“Baik. Bunda percaya kalau kamu jujur.” Nada Bunda Amy terdengar lembut namun mengandung ancaman. “Tapi kalau Bunda sampai tahu kamu menyakiti Bening sedikit saja, kamu lihat saja nanti.”
Telepon ditutup sepihak.
Galang terdiam, memandangi layar ponselnya yang kembali gelap.
Dia mendesah keras, meremas rambutnya sendiri.
“Ya Allah,” gumamnya. “Punya istri satu bikin pusing satu keluarga.”
Dia lalu menyalakan ponselnya kembali, membuka chat Bening yang penuh dengan pesan-pesan tak terbaca. Istrinya masih ngekos. Masih ngambek. Masih menghindar.
Dan sekarang Bunda Amy pun mulai curiga.
Galang memejamkan mata, pusing luar biasa.
Detik berikutnya, ponselnya berbunyi—chat masuk. Dari grup rahasia para suami.
🤖Suami Bucin
📩 Mahen: “📸”
📩 Mahen : “Meskipun ketutupan stiker tapi masih bisa kutebak kalau Bening sedang berjemur mengenakan bikini.”
📩 Dirga: “Dapat foto dari mana?”
📩 Mahen: “Nyolong dari ponselnya Ayla.”
📩 Bima: “📸”
📩 Bima : “Sepertinya itu Bening ya. Tapi lagi makan malam sama siapa?”
📩 Dirga: “Kalian kok bisa dapat foto itu?”
📩 Bima: “Ponsel Tara dimana? Cari fotonya pasti ketemu.”
📩 Dirga: “Gak mau ah! Nanti aku diambekin, susah sendiri nanti malam gak bisa Nyusv.”
📩 Bima: “Jangan keras-keras! Sahabat kita masih perjaka ting-ting. belum tahu apa itu nyusv istri.”
📩 Mahen: “😵😵😵”
📩 Dirga: “🫣🫣🫣”
📤 Galang: “Kumpul di tempat biasa sekarang juga! Aku tunggu!”
Setelah mengirim pesan di grup, Galang langsung meraih ponsel dan kunci mobilnya. Tanpa menunggu satu detik pun, dia keluar dari ruang meeting dan meninggalkan restorannya dengan langkah lebar.
Kepalanya panas. Dadanya sesak.
Hatinya membara ketika mengingat foto-foto yang dikirim Mahen dan Bima.
Kata Reni, Bening selama di Lombok cuma jalan-jalan sekitar pantai dan kulineran.
Tapi kenyataannya?
Bening berjemur pakai bikini. Dan makan malam dengan seorang pria yang entah siapa.
“What the hell, Bening,” gumamnya sambil mengetuk-ngetuk setir sepanjang perjalanan.
Tak butuh waktu lama, Galang sudah sampai di tempat tongkrongan mereka—angkringan sederhana yang selalu jadi markas rahasia para suami.
Begitu turun dari mobil, dia langsung melihat Mahen, Bima, dan Dirga sudah duduk di atas tikar yang biasa mereka pakai untuk nongkrong.
Galang mendengkus keras. “Sialan! Mereka sengaja mengerjaiku!”
Langkahnya lebar, penuh emosi, menuju tiga sahabatnya itu. Baru saja dia duduk, Mahen sudah menyapa sambil terkekeh.
“Jadi duda ditinggal istri liburan?”
“Duda dari mana, duda duda!” seru Galang frustasi.
Dirga ikut terkekeh, lalu menepuk bahu Galang dengan prihatin. “Kamu usir Bening?”
“Keterlaluan banget kamu, Ga. Pantas aja istrimu minggat nggak balik-balik,” tambah Bima.
Galang memijit pelipisnya. “Aku nggak ngusir dia! Dia aja yang tiba-tiba ngilang! Seenaknya pindah ke kos!”
Mahen mengangkat alis. “Katanya ngambek.”
“Ya ngambek sih—” Galang mendesah panjang. “Tapi kok ngambeknya sampai berjemur pakai bikini segala?!”
Dirga langsung bersiul. “Mantap juga istrimu, Ga.”
“MASALAHNYA—” Galang menunjuk layar ponselnya dengan gemas, “—itu dia makan malam sama cowok! Cowoknya siapa?! Dari mana?! Kenapa dia senyum-senyum gitu?!”
Bima menahan tawa. “Kamu cemburu?”
Galang memelototinya. “Hhh, gak mungkin lah! Ngapain aku cemburu?! Aku hanya takut kelakuan Bening ketahuan Bunda.”
Mahen mencondongkan badan sambil menyeringai lebar. “Yakin?”
Galang bungkam. Rahangnya mengeras. Hatinya kacau.
Cemburu? dia masih mengelak.
Kesal? Jelas.
Takut kehilangan? Sepertinya tidak.
Dirga menepuk bahunya pelan. “Tenang, Ga. Kita cari cara biar Bening mau pulang.”
Bima mengangkat gelas kopi. “Tapi sebelum itu… mari kita bahas satu hal penting.”
“Apa?” tanya Galang ketus.
Tiga sahabatnya menatapnya kompak.
Mahen menyeringai.
Dirga nyengir.
Bima mengangkat alis nakal.
“Apa?” ulang Galang.
Mereka bertiga serempak berkata—
“Trio singa sudah mengancam kita agar tidak membantumu,” ujar Bima.
Galang menatap mereka dalam hening, lalu menjatuhkan wajahnya ke meja.
“Ya Allah—” desisnya. “Aku perang sama empat orang sekaligus.”
Mahen mengibaskan tangan seolah menyerah pada kebodohan sahabatnya itu. “Makanya, Ga—aku udah pernah wanti-wanti kan? Jangan pernah sakitin Bening. Jangan pernah kasar sama dia. Jangan pernah bikin dia nangis.”
Galang mendongak dengan frustasi. “Aku gak sakitin dia!”
“Terserah versi kamu apa,” potong Mahen cepat. “Tapi versi trio singa? Kamu sudah melakukan dosa besar.”
Bima ikut mengangguk, membenarkan. “Betul. Kamu tahu sendiri betapa menyeramkannya trio singa itu. Mereka bukan hanya sahabat bagi Bening. Lebih ke bodyguard pribadi yang loyalnya gak ketolong.”
Dirga menambahkan sambil mengunyah mendoan, “Dan bodyguard itu bukan cuma galak… tapi punya spesialisasi kepo tingkat internasional. Mereka bisa tahu semua yang kamu lakukan pada Bening.”
Galang mendesah pasrah. “Terus aku harus gimana?”
Mahen mencondongkan badan. “Ga. Denger baik-baik. Bening punya tiga pelindung. Tiga. TIGA. Dan semuanya wanita, emosional, drama expert, dan kalau sudah marah, bisa lebih ganas daripada singa betina yang baru kehilangan anak.”
Galang terdiam.
Mahen menambahkan, “Masalahnya, aku juga takut sama Ayla.”
“Sama. Nina aja… astaga. Kalau dia ngomel, aku langsung insyaf. Jangankan nyusv, pegang tangan istri sendiri aja harus izin dulu,” sahut Bima.
Dirga yang paling serampangan mengangkat tangan tanda menyerah. “Aku sih kalau Tara sudah ngeluarin kata ‘Mas Dirga dengar—’ aku langsung menyerahkan hidupku padanya.”
Galang memijat pelipisnya. “Jadi maksud kalian?”
Mahen menunjuk d**a Galang. “Maksudku, kamu sengaja cari mati.”
Bima menambahkan, “Kamu bukan cuma cari mati, Ga. Kamu lagi ngajak perang mafia wanita.”
Dirga menyimpulkan dengan penuh penghayatan, “Intinya, jangan ikut-ikutan bikin trio singa itu marah, Ga. Mereka tuh kalau sudah bersatu… k1amat kecil bisa terjadi.”
Galang semakin lemas. “Hidup apa ini—”
Mahen menepuk bahunya kuat-kuat. “Percaya sama kita, lebih baik nyusul istrimu ke lombok dan minta maaf biar gak ngambek lagi. Daripada berurusan sama tiga singa betina yang siap mencabik-cabikmu.”
Galang menatap kosong ke arah jalan.
“Ya Allah—” gumamnya lirih. “Kenapa musuhku semuanya wanita?”
Mahen mencelos. “Karena kamu bikin satu wanita menangis. Otomatis tiga lainnya murka.”
Dan ketiganya mengangguk setuju.
Galang langsung merogoh saku jaketnya, menarik ponsel dengan tergesa. Jempolnya baru mengetuk aplikasi maskapai ketika Dirga menepuk bahunya—
“Cepat ke bandara sekarang!” seru Dirga. “Private jet sudah menunggu.”
Galang membeku. Mulutnya sedikit terbuka. “Hah… private… apa?”
Mahen ikut menepuk bahu Galang dengan ekspresi sok prihatin. “Ga… kalau kamu gak gerak sekarang, kamu mau Bening kecantol sama bule?”
Refleks Galang menoleh cepat. “TIDAK!”
“Ya udah,” Bima menambahkan sambil mengibaskan tangan. “Cepat Berangkat. Jangan pikir panjang. Kita udah siapin semuanya.”
Galang tak menunggu penjelasan lebih lanjut. Tanpa pamit, tanpa menghabiskan minumannya, tanpa menengok lagi, dia langsung berlari menuju mobilnya.
Mahen, Bima, dan Dirga hanya bisa menatap punggung sahabatnya yang kabur dengan kecepatan cahaya.
Tiga detik kemudian, tawa mereka pecah kompak.
“Hahaha! Lihat tuh! Panik banget!” Mahen memegang perutnya.
Bima menepuk paha sambil terpingkal. “Baru bilang ‘bule’ langsung mentalnya runtuh!”
Dirga menggeleng tak percaya. “Ditinggal liburan dua hari udah kayak orang bodoh gitu. Masih saja denial bilang gak cinta dengan istrinya.”
Dan mereka kembali tertawa terbahak-bahak, sementara Galang sudah melesat di jalanan, menuju bandara untuk menyusul sang istri.