Salah Paham

1463 Words
Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Lombok. Galang bahkan belum sempat mengucap syukur sudah langsung bergegas turun dari tangga pesawat dengan langkah tergesa. "Terima kasih atas pelayanannya!" ujarnya cepat pada kru sambil terus melangkah tanpa menoleh. Di area parkir sudah menunggu sebuah mobil hitam mengkilap dengan supir yang berdiri di sampingnya. "Pak Galang? Saya dikirim oleh Pak Mahen untuk mengantar Anda ke Hotel Elara," ujar supir tersebut sambil membukakan pintu belakang. "Langsung berangkat sekarang. Cepat," perintah Galang sambil masuk ke dalam mobil. Sopir itu mengangguk paham, lalu segera melajukan mobil dengan kecepatan stabil namun cukup tinggi. Sepanjang perjalanan, Galang tak bisa tenang. Jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan kursi tanpa ritme, kakinya bergoyang gelisah, sementara pandangannya menembus jalanan di depan dengan tatapan kosong—pikirannya melayang entah ke mana. "Pak, sepuluh menit lagi kita sampai," ujar supir tersebut, mencoba menenangkan. "Oke," jawab Galang singkat sambil menarik napas dalam-dalam. Sepuluh menit terasa seperti satu jam baginya. Begitu mobil berhenti di depan lobby Hotel Elara yang megah dengan arsitektur modern berpadu nuansa tropis, Galang langsung turun bahkan sebelum supir sempat membukakan pintu. "Terima kasih!" ujarnya sambil berlari kecil masuk ke dalam hotel. Lobby hotel sangat luas dan mewah—lantai marmer mengkilap, lampu kristal besar menggantung di langit-langit, serta tanaman hijau yang ditata apik di sudut-sudut ruangan. Beberapa tamu hotel melirik Galang yang terlihat tergesa dan sedikit berantakan setelah perjalanan jauh. Galang langsung menghampiri meja resepsionis dengan napas yang masih memburu. "Permisi, saya mencari tamu bernama Bening. Bening Dahayu Jelita. Dia menginap di hotel ini." Resepsionis wanita tersebut tersenyum ramah sambil mengetik di komputer. "Mohon tunggu sebentar, Pak." Galang mengetuk-etuk jarinya di meja sambil menunggu. Setiap detik terasa sangat lama. "Baik, Pak. Nyonya Bening ada di kamar 507. Tapi saat ini beliau sedang tidak di kamar," ujar resepsionis tersebut. "Tidak di kamar? Lalu dimana?" tanya Galang cepat. "Kemungkinan beliau sedang di area fasilitas hotel, Pak. Mungkin di restoran, kolam renang, atau spa," jawab resepsionis dengan sabar. "Restorannya dimana?" tanya Galang langsung. "Restoran Sunset View ada di lantai dua, Pak. Menghadap ke laut," jawab resepsionis sambil menunjuk arah lift. "Terima kasih!" Galang langsung berbalik dan berlari menuju lift. Di lantai dua, begitu pintu lift terbuka, Galang langsung disambut oleh alunan musik live yang merdu dari arah restoran. Langkahnya melambat sedikit saat matanya mulai menyapu area restoran yang luas dengan dekorasi aesthetic—lampu-lampu kecil bergelantungan seperti bintang, meja-meja kayu dengan tatanan bunga segar, dan pemandangan laut yang membentang luas di balik kaca besar. Dan di sana— Matanya langsung terkunci pada sosok yang sedang dicari. Bening. Istrinya duduk sendirian di meja dekat jendela, dengan dress floral tali spaghetti berwarna soft pink yang memperlihatkan bahunya yang mulus. Rambutnya tergerai indah, sedikit tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di hadapannya ada segelas mocktail dan sepiring appetizer yang hampir habis. Yang membuat Galang langsung mengerutkan kening adalah Bening terlihat sangat santai, bahkan tersenyum manis sambil menikmati lagu yang dibawakan penyanyi live di sudut restoran. "Santai banget dia—" gumam Galang pelan sambil melangkah mendekat. Beberapa tamu—terutama pria—melirik ke arah Bening sesekali. Galang menyadari itu semua dan rahangnya langsung mengeras. Tanpa basa-basi, Galang bergegas menghampiri meja Bening dengan langkah cepat sambil melepas jaket bomber yang dikenakannya. Bening yang sedang asyik mendengarkan lagu tiba-tiba merasa ada yang menghampiri. Belum sempat dia menoleh, sebuah jaket sudah menutup bahunya. "Eh?!" Bening reflek menoleh dan matanya langsung membulat sempurna. "MAS GALANG?!" Galang berdiri di sampingnya dengan wajah datar namun matanya memancarkan campuran antara lega, kesal, dan sedikit posesif. "Pakai jaket," ujar Galang dengan nada datar sambil menarik jaket itu lebih rapat menutupi bahu Bening. Bening masih shock. Mulutnya terbuka sedikit, otaknya belum sepenuhnya memproses kenapa suaminya bisa tiba-tiba muncul di Lombok. "K-kok Mas bisa ada disini?!" tanya Bening dengan suara setengah berbisik, masih belum percaya. "Aku tanya balik—kenapa kamu keluar pakai dress kayak gini sendirian di restoran hotel?" balas Galang sambil duduk di kursi di hadapan Bening tanpa diundang. Bening mengernyit. "Emang kenapa? Ini kan restoran hotel. Aku tamu hotel. Wajar dong aku makan disini." "Dengan dress tali spaghetti? Sendirian? Bening, banyak pria melirik kamu tau nggak," ujar Galang sambil melirik sekeliling dengan tatapan tajam. Bening mengikuti arah pandang Galang, lalu memutar bola matanya. "Mas, kamu lebay banget deh. Ini cuma dress biasa." "Biasa apanya? Talinya kecil banget. Bahumu keliatan jelas—" "Mas Galang," potong Bening sambil menaikkan sebelah alisnya. "Mas terbang dari Jakarta ke Lombok cuma mau ngomelin aku perkara dress?" Galang terdiam sejenak. Lalu dia menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya. "Aku mau minta maaf." Bening terdiam. Wajahnya yang tadinya kesal perlahan melembut. “Kamu pergi liburan tanpa pamit. Lagipula, kamu sudah dua minggu lebih meninggalkan apartemen. Tadi Bunda mengancam mau datang kalau kita tidak segera makan malam di rumah beliau—” “Kenapa Mas nggak bilang dari awal kalau Bunda mengundang kita makan malam?!” potong Bening sambil menatap Galang dengan sorot mata tajam. Galang menghela napas berat, berusaha menahan nada suaranya agar tidak meninggi. “Aku sudah bilang, Bening. Aku kirim chat. Bahkan aku telepon. Berkali-kali.” Bening tertawa pendek, hambar. “Oh, jadi sekarang salahku karena aku nggak baca pesan-pesan Mas Galang?” “Kamu mengabaikan semuanya,” tekan Galang. “Aku sudah berbaik hati memberimu waktu buat menenangkan diri. Tapi Bunda gak bisa menunggu—” “Jangan pakai nama Bunda buat nutupin sikap kamu, Mas,” potong Bening tajam. Matanya berkilat, bukan karena sedih, tapi marah. “Mas baru panik sekarang karena Bunda mulai curiga. Bukan karena aku pergi dari apartemen.” Galang terdiam. Rahangnya mengeras, nafasnya tertahan. “Kamu itu selalu melempar kesalahan ke orang lain,” ujarnya dingin. “Oh, iya,” Bening berdiri, mendorong kursinya ke belakang, “kita memang nikah kontrak tapi aku bukan barang. Dipanggil kalau dibutuhkan, diabaikan saat sudah nggak perlu.” Beberapa tamu mulai melirik. Galang ikut berdiri. “Bening, duduk. Kita ngomong baik-baik.” “Ngapain?” Bening tersenyum miring. “Biar Mas bisa ngatur aku kayak hewan peliharaan?!” Dia meraih tas kecilnya, melepas jaket Galang dari bahunya, lalu meletakkannya di meja dengan sengaja. “Aku mau balik ke kamar.” “Bening—” Galang meraih lengannya. Bening menepis. “Jangan sentuh aku.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. Itu justru membuat Galang tercekat. Tanpa menunggu lagi, Bening melangkah pergi meninggalkan restoran. Langkahnya cepat, punggungnya tegak—menahan emosi. Galang mengumpat pelan. “Sial.” Dia segera menyusul. Di lorong lantai lima yang sunyi, langkah Bening bergema. Begitu sampai di depan kamar 507, dia merogoh kartu akses dengan tangan sedikit gemetar. “Bening,” suara Galang terdengar tepat di belakangnya. “Tunggu.” Pintu kamar terbuka. Bening berbalik, matanya merah tapi dagunya terangkat. “Apa lagi, Mas?” Galang hendak bicara, tapi ponselnya bergetar di tangannya. Nama Bunda Amy menyala di layar. Galang membeku. Bening mendengkus lirih. “Angkat aja.” Galang menelan ludah, lalu mengangkat telepon. “Assalamualaikum, Bun.” “Waalaikumsalam. Kamu di mana, Nak?” Galang refleks menggeser ponsel sedikit. Lalu sebuah ide nekat muncul. Dia mengaktifkan video call. Kamera depan menyala—menampilkan wajah Galang dan Bening yang berdiri tepat di sampingnya, masih dengan mata berkaca-kaca. “Bening?” suara Bunda Amy langsung berubah. “Nak? Kamu di mana ini?” Bening terkejut. “Bun—?” “Kenapa kamu nggak di apartemen? Kamu kelihatan kurusan,” suara Bunda Amy terdengar khawatir. Wajah Bunda Amy di layar tampak kesal. Latar belakang video call itu ruang tamu apartemen Galang dan Bening. “Galang,” panggil Bunda Amy menahan emosi. “Bunda sekarang ada di apartemen kalian. Resepsionis bilang Bening sudah lama tidak terlihat pulang.” Bening menelan ludah. Jemarinya mengepal di sisi tubuh. “Bun, penjelasannya nanti saja ya,” potong Galang cepat. “Kami sedang ada di Lombok.” Hening sepersekian detik. Mata Bunda Amy langsung membelalak. Lalu—alih-alih marah—senyumnya justru merekah lebar. “Lombok?” ulangnya, suaranya mendadak ceria. “Kalian honeymoon?” Galang menoleh sekilas ke arah Bening. Wajah istrinya menunjukkan penolakan. Tatapan mendelik tajam, seolah berkata jangan berani-berani bilang ‘iya’. Namun sudah kepalang tanggung. Galang mengangguk ke arah kamera. “Iya, Bun.” “Astagfirullah,” Bunda Amy tertawa senang. “Pantesan susah dihubungi. Bunda kira kalian kenapa-kenapa.” “Bun—” Bening mengulurkan tangan ingin merebut ponsel. Tapi Galang lebih sigap. Tangannya terangkat tinggi, menjauhkan ponsel dari jangkauan Bening. Tatapannya memperingatkan—tolong, kali ini saja. “Udah dulu ya, Bun,” ujar Galang cepat. “Kami mau—” “Iya, iya,” potong Bunda Amy dengan wajah berseri-seri. “Silakan, silakan. Maaf Bunda ganggu. Nikmati waktunya, ya. Jangan buru-buru!” “Iya, Bun,” jawab Galang. Telepon terputus. Hening kembali menyelimuti lorong hotel. Begitu layar ponsel menghitam, Bening langsung menatap Galang dengan sorot mata tajam. “Honeymoon?” desisnya. “Kamu gila, Mas?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD