Episode 6

1663 Words
"Nai, lo mau ke kantin nggak?" Nai tersenyum lebar, "Lo duluan aja Lun." Luna menyipitkan matanya menatap Nai curiga, "Tumben nggak mau barengan, lagi ada angin apa nih?' "Gue-" "Nai?" James datang menghampiri mereka berdua, Luna menganggukkan kepalanya paham kenapa Nai tidak mau pergi ke kantin bersama dengannya, "Kalo gitu gue ke kantin duluan." Luna pergi meninggalkan Nai berdua dengan James. "Yuk." Ajak James. "Ehm James, gimana kalo kita makan disini aja? Kepala gue rada pusing soalnya, males kalo harus ke kantin." James mengernyit, dia menyentuh kening Nai dengan punggung tangannya, "Lo sakit?" "Gue cuma pusing dikit." James mengangguk, dia duduk di samping Nai dan membuka kotak bekal makanannya. James mengambil satu sendok nasi dan menyuapkannya pada Nai, "Aaa..." "Gue bisa makan sendiri James." "Biar gue suapin, lo lagi sakit kan." Nai menghela nafas, "James, gue cuma pusing dikit, nggak usah lebay." Nai merebut sendok di tangan James namun James menahannya, "Lo nggak mau nurut sama suami?" Nai akhirnya pasrah, dia menerima suapan dari James. "Lo nanti beneran mau ketemuan sama Tiara?" "Hm. Kenapa?" Nai menggeleng, "Nggak papa si, cuma tanya doang." "Kalo lo nggak ngizinin gue, gue nggak bakalan pergi." "Nggak papa kok, lo pergi aja." Nai meyakinkan hatinya untuk tidak cemburu, Nai sudah terbiasa dengan itu. Nai sudah berjanji untuk percaya pada James. Walau jauh di lubuk hatinya, Nai ingin James tidak melakukan itu. Mereka kembali melanjutkan makan. James terus menyuapi Nai, entah sudah berapa banyak karena hampir semua makanannya Nai yang makan, James hanya makan satu atau dua suap saja. Bagi James, yang terpenting istrinya kenyang. "Oh ya, katanya hari ini ada mahasiswa baru, dan dia satu kelas sama lo kan? Dia siapa James?" James diam, James lupa memberi tahu Nai soal mahasiswa baru yang satu kelas dengannya. "Marko." Nai terbatuk saat James menyebutkan nama Marko. Jadi Marko pindah kuliah di ke sini? "Marko?" "Kenapa? Bukannya lo seneng Marko bisa satu Universitas sama lo?" "Bukan gitu, gue cuma kaget aja kenapa tiba-tiba Marko kuliah di sini." Nai tidak tau harus merasa senang atau khawatir. Apalagi Marko satu kelas dengan James, yang jelas-jelas mereka tidak akur dari dulu. Marko sahabatnya, sedangkan James suaminya. Kalo mereka kembali bertengkar bagaimana? "Kalo gitu, gue pergi dulu." James beranjak dari duduknya. "Gue udah chat Luna buat beliin lo obat sakit kepala, jangan lupa di minum." James tersenyum, menyentuh pipi Nai dengan lembut. Setelah itu James pergi, pada saat itu juga Luna sudah kembali ke kelas. "Lo nggak ke kantin?" Nai menggeleng,"Gue pusing." "Gue tau." Luna memberikan obat pada Nai, "Ini di minum obatnya, James chat gue nyuruh beli obat buat lo." Nai menerimanya, "Makasih." "Suami lo perhatian juga ternyata. Tapi sayang, gebetannya di mana-mana." Nai hanya tersenyum pelan. Asal James tidak melakukan hal yang macam-macam, Nai tidak mempermasalahkan itu. ****** Nai merebahkan dirinya di kamar tidur, kepalanya benar-benar pusing padahal Nai sudah minum obat tapi kepalanya belum sembuh juga. Mungkin Nai butuh tidur, semoga saja saat terbangun Nai sudah sembuh. James masuk ke dalam kamar. Dia melihat Nai tengah rebahan di tempat tidur. James menghampirinya dan duduk di sisi tempat tidur. Sepertinya Nai masih sakit, wajahnya juga terlihat pucat. Kalo seperti ini James tidak bisa meninggalkan Nai sendirian di rumah. James lantas mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk seseorang. Setelah semua beres, James naik ke tempat tidur untuk menemani Nai. Nai merasa tempat tidurnya terguncang, lantas Nai membuka matanya, "James, lo disini? Bukannya lo mau ketemuan sama Tiara?" "Nggak, gue mau jagain lo disini." "Gue nggak papa kok sendirian, gue cuma butuh tidur, entar juga sembuh." James mengusap kening Nai yang basah karena keringat dingin, "Lo sakit, dan gue nggak mungkin ninggalin lo sendirian di rumah." "Tapi-" "Lo nggak usah mikirin gue, gue udah kasih kabar sama dia." Nai mengangguk, walaupun fisiknya sakit tapi hati Nai merasa bahagia karena James lebih memilih untuk menjaganya. "James, lo nggak mau tidur di samping gue?" Tanya Nai dengan suara serak. James tersenyum, istrinya ini manja sekali. Kalo Nai sedang tidak sakit, James pasti akan mencium habis bibir Nai. James langsung merebahkan dirinya di samping Nai, Nai merubah posisinya untuk merebahkan kepalanya di d**a suaminya. James terus mengusap rambut Nai, sampai akhirnya Nai tertidur. "Cepat sembuh sayang." James mengecup lembut kening istrinya. ****** Nai terbangun dari tidurnya, hal pertama yang ia lihat adalah suaminya yang masih terlelap di sampingnya. Nai tersenyum karena James menemaninya, ia pikir James akan pergi setelah dia tertidur pulas, tapi ternyata suaminya itu masih berada di sampingnya. Jam sudah menunjukkan pukul 19:30. Nai dan James belum makan malam, Nai lapar. Nai beranjak, dia keluar dari kamar. Nai pergi ke dapur untuk memasak mie instan lagi. Sudah malam Nai malas untuk delivery order, lagi pula perut Nai harus segera diisi, Nai tidak bisa menunggu lama. Nai memasak dua mie instan, untuknya dan untuk suaminya. Untung kepalanya sudah tidak pusing lagi, jadi Nai bisa mengerjakan semuanya. "Masak apa?" Nai kaget karena tiba-tiba James sudah ada di belakangnya, "Astaga James, lo selalu aja bikin gue kaget." James duduk di kursi dapur sambil melihat Nai dengan aktifitasnya. James bingung kenapa Nai suka sekali memakan mie instan, padahal James bisa membelikan makanan untuknya atau bisa delivery order. "Nai, kalo lo laper lo tinggal bilang gue, nanti gue yang beli makanan. Tiap hari makan mie instan emang nggak bosen?" "Nggak tiap hari juga, ini kalo lagi keadaan mendesak aja." Ucap Nai yang masih sibuk memasak mie. Beberapa menit, mie instan sudah siap untuk di sajikan dan di makan. Nai membawa kedua mangkuk berisi mie ke meja dapur. "Awas panas." James menginterupsi. Nai menaruh mangkuk itu di meja, tangannya terasa panas, "Oih, phanasss." Nai mengibaskan kedua tangannya yang kepanasan. James berdecak, dia langsung mengambil tangan Nai dan meniupnya, "Kan gue bilang juga apa. Makanya satu-satu bawanya, jadi tangan lo nggak kepanasan." Nai tersenyum melihat bagaimana perhatian James kepadanya. James terus meniup tangannya sampai Nai tidak merasa kepanasan lagi. "Udah nggak panas?" Nai mengangguk, "Makasih." "Lo udah sembuh?" "Hm, udah mendingan." James menganggukkan kepalanya, kemudian dia mulai memakan mie nya. "Gimana soal Tiara? Dia nggak hubungin lo lagi?" "Lo nggak usah mikirin itu Nai, nggak penting juga." Nai tidak berbicara lagi, benar juga kata James, ngapain dia harus memikirkan perempuan itu? Yang terpenting sekarang James bersamanya. Ponsel James berbunyi, James melihat siapa yang meneleponnya, tapi kemudian James mematikan panggilan. "Kenapa di matiin?" Tanya Nai. "Nggak penting." Ponsel James kembali berbunyi, James mematikan panggilannya lagi. Sampai yang ketiga kalinya, James membiarkan ponselnya yang terus berbunyi. Nai merasa risih karena ponsel James yang terus saja berbunyi. Dia penasaran siapa yang menelepon suaminya malam-malam. "Lo angkat aja, dari pada bunyi terus." James menggeleng, "Biarin, nggak penting kok." Nai menghela nafas, "Kalo lo nggak angkat, dia bakal telepon lo terus James. Mending sekarang lo angkat dulu." "Nggak usah Nai." "Sini biar gue aja yang angkat." Nai mengambil ponsel James tapi James buru-buru merebutnya, "Lo makan aja, nggak usah mikirin telepon." "Emang siapa sih yang nelepon? Sini hp lo." "Nggak." "James!" Nai merebut lagi ponsel dari tangan James. Nai ingin melihat siapa yang menelpon James sampai berkali-kali. Penting banget ya? Nai melihatnya, dia menatap James, "Bella?" James mengambil ponselnya dan mematikan ponselnya agar Bella tidak bisa menghubunginya lagi, "Kan gue udah bilang nggak penting Nai." Tidak penting untuk James tapi penting untuk Nai. Nai ingin tau sesuatu tentang hubungan James dengan Bella saat di Swiss. Tidak tau kenapa Nai begitu penasaran, padahal sebelumnya Nai tidak begitu perduli dengan perempuan yang dekat dengan suaminya. "Harusnya lo angkat dulu James, siapa tau dia mau-" Nai tersentak kaget saat James menaruh sendok dengan kasar dan membuat mangkok itu berdenting begitu keras, "Gue bilang nggak penting ya nggak penting!" Nai menunduk saat James membentak dan menatapnya dingin. Apa salahnya? Nai hanya ingin tau kenapa Bella menelepon James malam-malam. Kenapa James begitu marah? James pergi begitu saja dari dapur. Entahlah, James merasa kesal karena Nai yang tidak menuruti apa perintahnya. Nai membereskan semuanya, tak terasa air matanya menetes mengingat saat James membentaknya. Nai tidak pernah di bentak. Orang tuanya, kakaknya pun tidak pernah membentaknya seperti itu. Dan untuk pertama kalinya, Nai melihat bagaimana James saat sedang marah. ****** Nai memasuki kamar, di tempat tidur dia melihat James yang tengah tidur dengan posisi salah satu tangan berada di atas kepalanya. Nai berjalan pelan, dia tidak ingin mengganggu James. Nai menaiki tempat tidur dan merebahkan tubuhnya memunggungi James. "Gue minta maaf." Nai terdiam. James mengubah posisinya menghadap Nai. James merasa bersalah karena sudah membentak Nai tadi. Nai pasti sedih dan takut. "Nai, gue nggak bermaksud buat ngebentak lo, gue cuma nggak suka kalo lo nggak dengerin omongan gue." Nai kembali meneteskan air matanya. "Nai?" James membalikkan tubuh Nai untuk menghadapnya. James yang melihat Nai menangis langsung membawa Nai dalam pelukannya. "Jangan nangis, gue bener-bener minta maaf." Hiks hiks hiks. Nai masih menangis, dia hanya ingin James tidak melakukan hal seperti itu lagi. Nai takut, Nai takut ketika melihat James yang sedang marah. "Lo maafin gue kan?" Nai mengangguk, James semakin erat memeluk Nai dengan erat. "Janji lo nggak ngebentak gue kaya tadi?" "Gue janji." Nai sedikit menjauhkan tubuhnya dari James, dia mendongak menatap suaminya, "James, kenapa lo nggak angkat telepon dari Bella?" "Nai?" "James. Gue pengen lo jujur sama gue. Please, lo jangan nyembunyiin apapun dari gue. Dan lo juga harus cerita kenapa lo nggak mau angkat telepon dari dia." James menghela nafas, "Oke. Gue males ngomong sama Bella, karena dia pernah bilang kalo dia suka sama gue dari pertama kita ketemu di Swiss." Nai mengerti, dia tidak heran jika banyak perempuan yang bilang menyukai James secara terang-terangan. "Udah gitu doang?" James mengangguk. Nai berdecak sebal, "Cuma itu alasan lo nggak mau angkat telepon dari dia bahkan sampai bentak-bentak gue?" Bukan cuma karena malas berbicara pada Bella, tapi juga ada satu hal yang belum James bicarakan pada Nai. "Kemarin, dia chat gue kalo dia mau pindah ke Indo." Nai mengernyitkan dahinya, apa jangan-jangan Bella sengaja pindah ke Indo biar bisa ketemu sama James? Segitunya kah? "Apa lo juga suka sama Bella?" ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD