Episode 5

3176 Words
Satu jam yang lalu, Frans beserta istrinya sudah berangkat ke luar kota. Nai masih duduk termenung di teras rumahnya, sesaat dia memikirkan perpisahannya dengan kakak dan kakak iparnya. Jujur, Nai masih ingin tinggal bersama mereka, tapi bagaimanapun juga Nai harus bisa menerima keputusan mereka. James datang mendekati Nai dan duduk di sebelahnya, "Lo nggak papa kan?" Nai mengangguk, namun pikirannya masih tertuju pada kakaknya. James mengerti, Nai belum sepenuhnya merelakan Frans pergi. "Hei?" James menyentuh dagu Nai untuk menatapnya, "Lo nggak papa?" Nai menatap James sedih, air mata sudah di pelupuk matanya, dan detik itu juga air mata jatuh mengalir di pipinya. Dengan pelan, James mengusap air matanya, "Jangan nangis, oke?" Nai menggeleng, dia tidak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Terlalu berat untuk Nai menerima semuanya, jarak antara Jakarta-Surabaya memang tidak terlalu jauh tapi dari dulu Nai tidak bisa sejauh itu dengan Frans, dan setelah Nai merasakan itu, Nai seperti kehilangan semuanya. Katakan Nai lebay karena dia sudah dewasa, tapi itulah yang Nai rasakan. Orang lain tidak akan pernah mengerti perasaannya. James merentangkan kedua tangannya, "Mungkin ini bisa bikin lo merasa lebih baik Nai." Nai langsung memeluk James dan menangis di dadanya, James benar ketika Nai berada dalam pelukan James, dia merasa nyaman. James tersenyum, mengelus rambut panjang istrinya, "Cup. cup. cup. Gue disini buat lo Nai oke? Jangan nangis lagi my baby girl." Nai tersenyum di pelukan James saat dia mengatakan Nai adalah baby girl nya, "Gue udah besar James, jangan panggil gue kek gitu." "Oh ya? Kok gue ngerasanya lo masih kek anak kecil?" Nai mengerucutkan bibirnya, dia menatap James jengkel, "Gue udah nikah, itu berarti gue udah besar." Cup. Nai melebarkan matanya saat tiba-tiba James menciumnya. Jujur James tidak tahan saat melihat Nai mengerucutkan bibirnya. James ingin merasakan bibir itu sekali lagi. Satu kali mencium bibir Nai, membuat James ketagihan untuk menciumnya lagi. "James!" "Apa?" "Kenapa lo cium gue tanpa izin hah!" James tersenyum miring, dia mendekatkan wajahnya membuat Nai memundurkan wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan wajah James, "Kenapa gue harus minta izin dulu buat cium istri sendiri?" Nai gugup sekarang, dia bingung harus melakukan apa sekarang. James  bahkan sudah menahan pinggangnya. James bisa melihat raut muka gugup Nai, Perlahan wajah James mulai lebih dekat, semakin dekat sampai akhirnya... "Gue ke kamar mandi dulu." James tersenyum melihat bagaimana gugupnya Nai saat ini, kemudian dia pergi dari sana. Nai melongo, ia kira James akan menciumnya tapi ternyata James pergi begitu saja. Nai mengusap wajahnya yang sudah memerah bak kepiting rebus, James pasti sedang menjahilinya. Nai mengepalkan kedua tangannya, berani-beraninya James membuatnya gugup setengah mati, tapi pada akhirnya James hanya menggodanya saja? "Dasar cowok playboy! Mati aja lo James!!" Teriak Nai. Bukan James jika dia tidak suka menggoda Nai, iya kan? ***** Hari minggu adalah hari yang paling Nai tunggu-tunggu. Di hari minggu, Nai bisa beristirahat tanpa harus memikirkan tugas-tugas kuliah. Dan yang paling penting, Nai bisa menonton drama kesukaannya sepuasnya tanpa ada yang mengganggu. Seperti hari ini, Nai tengah menonton drama series di tempat tidurnya dan di temani dengan beberapa cemilan. Sedangkan James, dia entah pergi kemana. Mungkin dia ada jalan dengan perempuan di luar sana. Nai tidak memikirkan James, dia justru senang karena tidak ada yang mengganggunya. Biasanya James akan mengganggunya saat Nai tengah serius menonton drama kesukaannya, dan itu membuat konsentrasi Nai terpecah. Nai sangat tidak suka itu! Nai senyum-senyum saat melihat adegan romantis, tertawa saat melihat adegan lucu dan bahkan sampai menangis saat melihat adegan sedih. James membuka pintu kamarnya, hal pertama yang ia lihat adalah bungkus makanan ringan yang berceceran di lantai, juga tisu bekas yang berhamburan di atas ranjang. James sampai geleng-geleng kepala melihat istrinya tengah menangis sambil menatap layar tv di depannya. James heran, kenapa perempuan gampang terbawa suasana saat tengah menonton drama ataupun sinetron. Padahal itu hanya cerita fiktif, tapi perempuan menganggapnya seolah-olah itu adalah kisah nyata. "Ngapain lo sampe nangis-nangis kek gitu?" Nai menekan tombol pause. Dia langsung menghapus air matanya dan melihat James yang sudah ada di kamarnya, "Sejak kapan lo disitu?" "Sejak lo nangis-nangis nggak jelas." "Ganggu, mending lo pergi sekarang." Usir nya. "Ini kamar gue juga kan? Ngapain juga gue pergi." James mendekati Nai dan mengambil makanan di tangannya. Nai berdecak sebal, dia kira James pulang sore jadi tidak ada yang mengganggunya. Tapi malah sekarang James sudah ada di sampingnya. "Lo duduk di situ, dan jangan ganggu gue. Oke?" James turun dari ranjang, lantas James membersihkan kekacauan yang di buat Nai karena membuang sampah sembarangan. James laki-laki tapi dia sangat menyukai kebersihan dan membenci kotor, makanya James memutuskan untuk membersihkan sampah lebih dulu. Nai melihat James, dia jadi tidak enak karena sudah merepotkan James karena ulahnya. Nai langsung membersihkan tisu bekas di ranjang. Setelah semua bersih, James kembali bergabung dengan Nai di tempat tidur. "Kenapa nggak di tonton lagi?" Tanya James. "Nggak, lo selalu gangguin gue kalo gue lagi nonton." James berdecak, dia menekan tombol pause sekali lagi sampai dramanya kembali mulai, "Gue nggak bakal gangguin lo, gue cuma mau nemenin lo." James bersender di kepala ranjang, "Sini?" Nai menuruti instruksi James untuk berada di sampingnya. James meletakkan tangannya di bahu Nai,  Nai kembali menonton dramanya di temani James, baru kali ini James mau menemaninya. James tersenyum melihat Nai sangat serius dengan layar tv di depannya, saat Nai tertawa, hati James merasa lega juga bahagia. "Gue seneng liat lo bisa ketawa lagi." "Hm." James sibuk melihat Nai yang tidak pernah berhenti tersenyum dan tertawa walaupun sekali-kali dia juga menangis karena ada adegan sedih, sampai ponselnya berdering, James langsung mematikan ponselnya. Dia tidak ingin di ganggu saat bersama Nai. 2 jam kemudian, drama sudah selesai. Nai beranjak dari tempat tidur namun James langsung menahan tangan Nai agar tetap di situ. "Kenapa?" "Gue mau lo tetep disini, sama gue." Lagi dan lagi, Nai merasa gugup. Sejak kemarin, saat pertama kalinya James menciumnya, entah kenapa saat berdekatan dengan James, Nai merasakan jantungnya berdebar-debar dan merasakan hal yang aneh. Nai mencoba bersikap biasa saja, dia takut James hanya menggodanya seperti biasa. "Gue haus mau ke dapur." Nai bergerak namun James tetap menahan lengan Nai. "Jangan ngehindar dari gue Nai, gue tau lo cuma alasan doang kan?" "Si... siapa juga yang ngehindar dari lo." "Sejak gue nyium lo, kalo gue deketin lo, lo pasti ngehindar. Iya kan?" "Ng... Nggak kok!" James mengangguk, "Oke kalo lo emang nggak ngehindar dari gue, lo harus mau nemenin gue disini." Nai terpaksa mengangguk agar James tidak curiga kalo selama ini Nai memang sengaja menghindar dari James. Tapi James tidak tau kalo saat ini Nai berusaha mati-matian untuk tidak gugup. "Lo, tadi dari mana?" "Ketemu temen." Nai menatap James curiga. "Gue tau, lo nggak percaya kan sama gue?" Tanya James, Nai pasti mengira kalo dia jalan dengan perempuan lain. "Siapa juga yang percaya sama cowok playboy macam lo?" Nai berkata sarkasme "Gue jujur. Tapi terserah kalo lo nggak percaya sama gue." Sepertinya James memang jujur, tapi Nai merasa curiga, biasanya setiap minggu James pergi dengan salah satu gebetannya tapi sekarang tumben James tidak melakukan itu. "Tumben? Emang cewek lo nggak ngajak lo jalan?" "Cewek yang mana?" James menatap Nai jahil. Nai memutar bola matanya, wajar James bertanya seperti itu karena cewek mainan James itu banyak sampai Nai terheran-heran. James ganteng, tajir, walaupun sikapnya cuek dan dingin kalo sama perempuan lain kecuali Nai, tapi banyak perempuan yang mengantri untuk menjadi kekasihnya. Sayangnya, James hanya menganggap mereka sebagai mainan saja, tidak pernah mempunyai status sakral seperti sepasang kekasih karena bagi James, Nai adalah satu-satunya pasangan hidupnya. "Mitha mungkin? Tiara? Indri? Mia? Manda? Fia? Laras? Rachel? Dinda? Sintya? Oh atau Maya?" James tertawa mendengar Nai menyebutkan semua gebetannya, rupanya Nai sangat hafal walaupun itu hanya kurang dari setengah dari banyaknya gebetan James. "Kok lo ketawa?" "Lo hafal gebetan-gebetan gue Nai?" Nai mengendik, "Biasa aja." "Lo nggak cemburu?" "Nggak. Ngapain juga cemburu sama cowok playboy kek lo." James sedikit tercubit hatinya saat Nai mengatakan itu, padahal James ingin Nai mengatakan kalo dia cemburu. "Nai, gue pengen tau apa alasan lo nggak pernah marah waktu gue jalan sama cewek-cewek lain?" Nai sesaat berfikir, "Hm apa ya? Oh, lo kan playboy jadi wajar aja kalo lo jalan sama cewek lain. Jadi ngapain gue harus marah." "Tapi gue suami lo." Ucap James "Iya juga sih, tapi-" jeda "Tapi gue percaya, lo cuma cinta sama gue kan? Jadi buat apa gue marah, mereka cuma buat seneng-seneng doang kan?" Lanjutnya. James tersenyum, ia senang karena Nai bisa mengerti. Jika istrinya bukan Nai, entah apa yang sudah terjadi dalam rumah tangganya. Walaupun sebenarnya James merasa bersalah tapi asal Nai bisa mengerti dan percaya, James tidak akan berbuat macam-macam. "James, gue boleh tanya sesuatu sama lo?" "Apa?" "Kemarin Marko telepon gue, dia mau ketemu sama gue. Lo izinin gue nggak?" "Nggak!" "Kenapa?" Tanya Nai. "Bercanda." Jawab James. Nai menabok lengan James, "Ih, bisa nggak sih lo nggak jailin gue?" James menggeleng, "Nggak." Nai cemberut, karena kesal Nai merubah posisi menjadi tidur membelakangi James. James tersenyum, Nai terlalu imut jika sedang kesal. James ikut tiduran di di samping dan menghadap Nai. James meletakkan dagunya di bahu Nai, "Hei? Kok tidur?" "Bodo." "Nggak mau nyium gue dulu sebelum tidur, hm?" Nai senyum-senyum di balik selimut, dalam hatinya Nai juga ingin mencium James tapi dia terlalu malu. Nai menggoyangkan bahunya agar James pindah dari sana,"Minggir James, gue mau tidur." "Nggak, cium dulu baru lo boleh tidur." "Nggak mau." "Nggak usah pura-pura nggak mau, waktu itu aja lo nggak nolak gue cium." Goda James. Kalo aja James tau kalo saat ini muka Nai merah karena James terus menggodanya, Nai pasti akan sangat malu. Nai teringat saat pertama kali James menciumnya bahkan melumat bibirnya, Nai bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi mukanya saat itu. Nai menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. James menyerah, dia berhenti menggoda Nai dan tidur dengan lengannya yang di jadikan bantal. Sesekali dia melirik Nai di sampingnya. Sepertinya Nai sudah tidur. James kemudian mulai memejamkan matanya. Dan menyusul Nai ke dalam mimpi. ******* Sesuai janjinya kemarin, Nai pergi bertemu dengan Marko atas izin James tentunya. Sebagai seorang istri yang baik dan berbakti pada suami, Nai harus selalu meminta izin suaminya ketika dia hendak berpergian. Hehe. Marko meminta Nai untuk ke rumahnya, dan sekarang mereka sedang duduk di taman belakang rumah Marko dengan beralaskan rumput-rumput sintetis. Marko sengaja membawa Nai ke tempat ini karena dia ingin Nai mengingat masa lalunya bersama Marko dulu. Beberapa tahun silam, Nai dan Marko sering menghabiskan waktu di taman ini. Awalnya mereka saling terdiam, Marko bingung harus memulai dari mana dulu, sedangkan Nai masih menunggu Marko mengatakan sesuatu. "Nai?" "Ya?" "Lo tau, waktu gue sampai di Indo, tempat pertama kali yang gue datengin adalah taman ini." Marko memandang Nai dengan senyuman. "Oh ya?" Marko mengangguk, "Hm, karena tempat ini lah gue sering habisin waktu berdua sama lo." Marko tidak bohong, saat Marko sampai di rumah, dia bahkan tidak langsung pergi ke kamar, Marko langsung menyempatkan waktunya untuk bernostalgia di taman dan bahkan Marko tidur di sana selama beberapa jam. Sampai akhirnya mamanya membangunkan Marko yang tertidur. Nai ikut mengangguk, "Lo bener, dulu kita sering main disini kan?" "Lo masih inget semuanya?" Nai berdecak, "Masih lah." Tapi kemudian Nai cemberut, "Bahkan gue masih inget waktu lo dorong gue sampai jatuh ke kolam renang." Marko tertawa, saat itu Nai berulang tahun yang ke 15. Marko berinisiatif mendorong Nai ke kolam renang, Marko tau Nai bisa berenang, tapi ternyata saat itu kaki Nai keram dan membuat Nai tenggelam. Marko kaget, dia langsung melompat dan menyelamatkan Nai. Untung Nai tidak apa-apa, Nai sadar saat itu juga. "Gue kira lo bisa berenang." Nai tersenyum, "Untung gue masih hidup kan?" Nai menatap Marko, "Marko, gue minta maaf soal pernikahan gue sama James karena nggak ngabarin lo." Marko menggeleng, "Lo nggak salah kok." "Lo juga jangan salahin nyokap lo karena nggak kasih tau lo, mungkin nyokap lo lupa kan?" Marko mengangguk pelan, mamanya tidak lupa tapi sengaja tidak memberitahu Marko tentang Nai dan James yang sudah menikah. Mamanya tidak ingin Marko sakit hati karena mamanya tau kalo Marko sangat mencintai Nai. Mamanya tidak tau kalo hal seperti ini lah yang membuat Marko banyak berharap kepada Nai. Tapi semua sudah terjadi, Marko bisa apa? "Gue tau, kemarin lo pasti marah kan? Gue jadi ngerasa bersalah." Marko menggenggam tangan Nai, dia menatap Nai dalam-dalam, "Nai, gue sayang sama lo." Nai mengangguk, "Gue juga sayang sama lo." Marko tersenyum tapi kemudian dia kembali datar saat Nai mengatakan, "Sebagai sahabat, gue ngerasa kalo gue udah jahat sama lo. Sahabat macam apa gue, nggak kasih tau sahabatnya sendiri kalo gue udah nikah? Iya kan?" "Sahabat?" Tanya Marko. Nai mengangguk, "Iya sahabat, dan gue juga sayang sama lo karena lo adalah sahabat terbaik gue." Marko tersenyum kecut, ia pikir Nai menyayanginya lebih dari sahabat. Tapi nyatanya Nai menganggapnya hanya sebatas sahabat. Apa dari dulu Nai hanya menganggapnya sahabat sedangkan Marko sudah jatuh cinta kepadanya. "Nai?" Nai dan Marko menoleh, dia melihat James sudah berada di dekat pintu taman. Nai beranjak dari duduknya, begitupun dengan Marko. James mendekat, dia menggenggam tangan Nai, "Ayo pulang, udah sore." Marko bahkan melihat saat James menggenggam tangan Nai, rasa cemburu mendominasi hatinya. Nai mengangguk, "Marko, gue pulang dulu ya." "Hati-hati." James membawa Nai keluar dari sana. Marko hanya bisa melihat kedekatan mereka. Rasanya sakit, ketika orang yang ia cintai sudah menjadi milik orang lain. Nai mengernyit melihat mobilnya terparkir di depan rumah Marko, "Lo pake mobil? Biasanya juga pake motor." James mendongak menatap langit yang nampak mendung, "Lo nggak liat udah mau hujan?" "Ya udah." Nai masuk ke dalam mobil. Kemudian mereka meninggalkan pelataran rumah Marko. Dan benar saja, hujan deras pun tiba saat mereka masih dalam perjalanan. Nai memilih untuk mendengarkan musik dari pada suara hujan yang tidak beraturan. "Lo mau makan dulu nggak?" James bertanya, tapi Nai tidak mendengar karena dia sedang memakai headset. James menyentuh tangan Nai membuat Nai melepaskan headset nya, "Kenapa?" "Lo mau makan dulu?" Nai menggeleng, "Nggak laper." Saat mereka sampai di depan KFC, James masuk dan memarkirkan mobilnya. Nai mengernyit kenapa James malah membawanya ke sana, "James, gue nggak laper. Kenapa lo malah kesini." "Emang lo bisa masak?" Nai menggeleng. "Ya udah, gue mau beli ayam goreng buat makan nanti malam. Nanti malam juga pasti lo laper kan?" Iya juga sih. Nai lupa kalo kakak iparnya sudah tidak tinggal bersamanya jadi tidak ada yang masak di rumah. Kemarin saja mereka makan mie instan, sebenarnya bisa saja delivery order tapi males karena harus menunggu. Nai memilih untuk tetap di mobil sedangkan James masuk ke dalam. Beberapa menit kemudian, James datang membawa beberapa bungkusan makanan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Di rumah. Nai pergi ke kamarnya, James pergi ke dapur untuk menyimpan makanannya. Nai memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Selesai mandi, Nai sudah menggunakan piyama nya. Nai melihat ada dua cangkir teh hangat di meja. Dan saat itu James masuk ke dalam kamar. "Ini teh lo yang buat?" Tanya Nai "Hm. Minum dulu biar badan lo anget, jadi gue nggak kedinginan kalo meluk lo." Nai bingung mendefinisikan apa maksud suaminya. Entah itu merayu atau bukan karena ekspresi James tidak mendukung sama sekali alias datar. Nai naik ke tempat tidur, lalu di meminum teh buatan suaminya. Hangat. Nai meletakkan cangkirnya di meja dekat ranjang. James juga meminum teh buatannya. Setelah itu dia ikut naik ke tempat tidur bersama Nai. "Udah anget kan?" Tanya James. Nai mengangguk. "Jadi, gue bisa peluk lo?" Nai mengangguk pelan, James merentangkan kedua tangannya dan membuat Nai bergeser agar masuk dalam pelukannya. "Gimana lo sama Marko?" "Baik-baik aja. Gue udah minta maaf sama dia, dan dia juga nggak marah sama gue." Istrinya itu polos sekali. Apa dia tidak sadar kalo Marko menyukainya? Nai sangat tidak peka kalo sebenernya Marko cemburu dan dia masih mengharapkan cintanya. "Gimana nostalgia nya?" "Maksud lo?" "Gue tau, Marko ngajak lo ke sana cuma buat nostalgia masa lalu sama lo kan?" Nai mengernyit, bagaimana James bisa tau? Nai tidak pernah bercerita tentang tempat itu pada James. "Lo tau dari mana?" "Ada deh." "Ish. Gue sama Marko cuma mengingat masa lalu, nggak ada maksud apa-apa." James menganggukkan kepalanya, dia sudah mendengar percakapan antara Marko dan istrinya. James tidak cemburu, tapi dia merasa kasihan pada Marko karena Nai menganggapnya hanya sahabat padahal Marko ingin memiliki Nai bukan sebagai sahabat melainkan lebih dari itu. "Lo sayang kan sama dia?" Mendengar itu, Nai melepaskan dirinya dari pelukan James, "Lo denger percakapan gue sama Marko kan?" "Emang kenapa?" "James, lo jangan salah faham. Gue-" "Hust!" James menyentuh bibir Nai dengan jari telunjuknya membuat Nai terdiam. "Marko juga sayang sama lo, tapi sayangnya lo nganggap dia cuma sahabat. Iya kan?" Nai mengangguk, dia lega karena James tidak salah faham dengannya. "Apa lo tau apa maksud Marko bilang kalo dia sayang sama lo Nai?" "Marko sayang sama gue karena gue sahabatnya, gue tau itu James." Nai kembali memeluk James. James menghela nafas, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ternyata Nai masih belum sadar juga ya. "Lalu, lo sayang sama gue karena apa?" Nai tersenyum lalu mendongak, "Karena lo suami gue lah." "Kalo gue suami lo, apa gue bisa ambil hak gue sebagai suami lo Nai?" Nai terdiam, rasa bersalah itu muncul kembali. Nai masih ragu, masih belum siap dan Nai tidak tau harus berbuat apa. Mereka sama-sama terdiam, James menatap bibir Nai, dan dia merasakan ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencium bibir itu. Bibir Nai yang sedikit terbuka membuat James ingin menyusup ke dalamnya. James memberanikan diri untuk menciumnya, perlahan bibir James itu hampir mengenai bibir istrinya, tapi... Kruk kruk kruk.. Suara perut Nai membuat keduanya tersadar. Nai nyengir lebar, sedangkan James sedikit cemberut. Aish, sedikit lagi James bisa merasakan bibir manis istrinya, tapi suara itu membuat harapannya hilang seketika. "Gue laper..." "Hm.." James lebih dulu beranjak dari tempat tidur dan meninggalkan kamar. Nai tersenyum, suaminya itu pasti kesal karena suara perutnya yang tidak terkondisi. Nai kemudian menyusul James untuk makan malam. ***** Pagi harinya, Nai sudah menyiapkan menu sarapan untuk suaminya. Nasi goreng, biasa memang tapi itu poin plus untuk Nai yang baru belajar memasak walaupun hanya memasak nasi goreng yang penting Nai berhasil. James merasakan aroma harum, dia datang dan duduk di ruang makan. "Lo yang masak?" "Hm. Gue kemarin buka youtube cara masak yang enak. Tapi karena gue masih belajar, jadi gue cuma buat nasi goreng buat lo. Semoga aja lo suka." Nai mengambilkan satu centong nasi goreng untuk James, "Coba lo cicipin, enak nggak?" James mengambil satu sendok nasi dan memakannya. "Enak nggak?" James mengangguk, "Lumayan." Nai senang walaupun lumayan tapi Nai bersyukur itu artinya Nai sedikit bisa memasak. Kalo Nai rajin belajar memasak, dia pasti bisa membuat masakan yang enak. "Oh ya, gue juga bawa bekel buat lo." Nai memberikan kotak bekal berwarna pink miliknya pada James. James hanya menatap benda itu, Nai nyengir, James pasti tidak suka dengan kotak bekalnya karena berwarna pink. Tapi Nai tidak punya kotak bekal selain warna pink, hanya ada satu itu, "Lo pasti malu kan pake kotak bekel warna pink?" James mengambil kotak bekel itu, "Makasih. Punya lo mana?" "Gue nggak usah, itu nasi goreng terakhir soalnya gue cuma buat sedikit." "Nanti siang, lo ke kantin. Kita makan bareng." "Hah?" Nai bingung. James memasukkan kotak bekelnya ke dalam tasnya dan berdiri, "Nanti kita makan siang bareng di kantin." Setelah itu James meninggalkan Nai dan menunggunya di depan. Nai mengambil tasnya lalu mengikuti James. Di kampus, seperti biasa Nai dan James berjalan bersama menuju kelasnya. Di loby, Nai berpapasan dengan salah satu gebetan James. Nai berdecak sebal, "Cewek lo tuh." Seperti sebelum-sebelumnya, James kembali bersikap cuek saat bertemu dengan cewek lain. Seperti sekarang, cewek itu langsung menggandeng tangan James dan bersikap genit. Namanya Tiara. "James, kamu baru berangkat?" "Kenapa?" "Aku punya sesuatu buat kamu." "Apa?" "Gimana kalo nanti kita ketemuan?" Nai memutar bola matanya, cewek itu sok-sokan memberikan sesuatu padahal niatnya cuma ingin ketemuan dengan James. Cuih. "Oke." "Ya udah nanti aku chat kamu lokasinya dimana. Bye James." Tiara lalu pergi dari sana. "Bye James." Nai menirukan gaya genit Tiara dengan bibir komat-kamit, "Sok cantik lo!" James tersenyum melihat tingkah lucu Nai, istrinya cemburu pasti. James kemudian merangkul Nai, dan membawanya ke kelas "Nggak usah cemburu gitu, mending sekarang kita masuk." "Siapa juga yang cemburu." "Nggak mau ngaku." James mengacak rambut Nai hingga berantakan. "James, rambut gue berantakan." "Hahahaha." Marko melihat betapa bahagianya Nai bersama James. Apa keputusan Marko untuk kuliah di sini adalah keputusan yang tepat? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD