3. Hal yang tak terduga.

1071 Words
Dua bulan kemudian, Clarissa tampak menjalani kehidupannya seperti biasa. Tepat di hari ini, saat dia baru saja membuka mata, dan sebuah pesan singkat yang masuk dalam emailnya membuatnya tersenyum kecil. "Happy Birht Day, Cla. Tak sabar menunggu waktu kita untuk bertemu. Miss You, -E-" Itu adalah Evander. Kekasih yang selalu dia nantikan untuk janji pertemuan empat tahun ke depan. Setelah hari ini, setelah umurnya sudah dua puluh tiga tahun, dia hanya perlu menamatkan gelar S2-nya lalu bisa kembali ke China untuk pertemuan. Bicara soal negara itu, ini adalah pertama kalinya dia tak merayakan ulang tahun bersama ayahnya. Sekilas kemudian wajah ibu tiri dan adik tirinya terbayang. Rasa kesal langsung memuncak hingga ke ubun. Dia menahan semuanya dan tiba-tiba seluruh tubuhnya kaku saat gejolak perutnya tiba-tiba naik hingga membuatnya lari ke kamar mandi. Rasa mual terus terulang dan tanpa jeda untuk beberapa saat. Membuatnya lemas hingga bersandar pada dinding kamar mandi. Satu tangannya beralih meremas perut ratanya, bulir-bulir keringat mulai terlihat dan wajahnya seketika langsung memucat. "Tidak, itu tidak mungkin kan. Aku-" Clarissa berlari dan mengambil sebuah tes pack yang baru dia beli beberapa hari lalu. Dia bergegas menggunakannya dan dengan hati berdebar menunggu hasil. Saat dua garis merah itu terlihat sangat jelas, tubuhnya luruh ke lantai dengan isakan pelan yang meremas setiap harapan. "Aku hamil. Hamil," Dalam sesaat wajah tampan Evander terbayang dan wajah Keenan datang menggantikan semuanya. Rasa benci, menyesal juga rasa hancur bercampur menjadi satu. Kini apa yang akan dia katakan tentang rencana masa depannya? Kini hal apa yang akan dia katakan pada ayahnya? Semua harapannya, semua mimpinya, kini karam hanya karena kesalahan satu malam. Cintanya, janji pertemuan hingga rencana pernikahan, apakah dia masih bisa memimpikan itu semua? Bagaimana jika Evander menolaknya? Kini dia berbeda. Bagaimana dia bisa menghadapi Evander empat tahun mendatang. Bagaimana dia menjelaskan semuanya? Lalu, ayahnya. Bagaimana jika semua menjadi kian hancur dan dia adalah orang yang akan tersisih selamanya? Clarissa menangis histeris menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tangannya meremas perut ratanya berharap bahwa semua hal yang dia rasakan adalah sebuah imajinasi atau kebohongan. Namun saat rasa mual itu kembali dia rasakan hingga membuat dia harus mengeluarkan isi perutnya, dia tersadar. Bahwa semua nyata! Dia hamil! Ada janin di rahimnya dan itu hidup. Beberapa hari kedepan, Clarissa menghabiskan seluruh emosi, cemas hingga ketakutan dalam satu waktu. Itu berlangsung cukup lama untuk kembali membuatnya tegar. Dia yang terkenal dingin dan sangat berpikir panjang untuk masa depannya, kini harus merubah semua daftar cita-cita dan keinginan dalam hidupnya. Hal utama yang harus dia relakan adalah cintanya dan Evander. Terasa sulit untuk membayangkannya, namun saat tangannya menyentuh perut ratanya, dia seperti mendapat sedikit kekuatan. "Benar, aku tak bisa membiarkan anakku menderita. Aku tak bisa menjadi egois. Mungkin dia hadir karena sebuah kesalahan, tapi aku, aku adalah ibunya. Aku adalah ibunya, yang akan melindunginya dari berbagai bahaya. Jika harus mengorbankan cinta dan cita-cita, maka akan aku lakukan. Aku akan merubah semuanya dan memasukkan bayiku, dalam daftar terbaru hidupku. Anakku, dia akan menjadi pewaris keluargaku kelak. Maka dari itu, aku harus menjadi pewaris utama, agar anakku bisa hidup tenang dan bahagia." Clarissa bergerak, menyingkirkan semua barang-barang yang bersangkutan dengan Evander. Semua hal yang menjadi kenangan antara hubungan mereka berdua, kini terpak rapi dalam sebuah kardus, dan Clarissa tanpa enggan menyingkirkannya. Dia menoleh, menatap Harumi yang tiba-tiba telah ada di dalam apartemennya. "Cla, kau, kau menyingkirkan semuanya. A-apa yang terjadi? Kau, kalian," Clarissa tersenyum tanpa beban. "Aku hamil," Hening. Tak ada suara yang menyahut sejak Clarissa mengatakan kehamilannya tanpa beban. Harumi mematung lalu menatap perut rata Clarissa dengan perasaan bingung dan bersalah. "Ha-hamil?" Clarissa berjalan setelah meletakkan barang-barang di tangannya di sebuah kamar tak terpakai. Dia melewati Harumi begitu saja lalu duduk di sofa dengan hati-hati. Sekarang, sejak dia memutuskan untuk menjadi seorang ibu mandiri yang akan membesarkan anaknya tanpa seorang suami, dia menjadi sedikit lebih kuat dan menganggap bahwa tak ada masalah yang tak akan bisa dia hadapi. Dia tetap Clarissa, dan kehidupan tetap akan berjalan. Dia hanya harus siap dan semua yang terjadi, dia tak lagi menyalahkan semuanya. Harumi duduk di sebelah Clarissa lalu menggengam tangan sahabatnya tiba-tiba. "Cla, kau baik-baik saja? Maksudku, aku, aku benar-benar minta maaf. Karena aku, kau, dan bayi ini, aku-" Clarissa menarik tangannya lalu bersandar santai. "Apa maksudmu?" tanyanya seakan tak mengerti namun lebih ke menjelaskan tentang syarat tak suka pada kata-kata Harumi. "Tak ada yang salah. Itu bukan masalah besar untuk kehilangan keperawanan. Seperti katamu, aku mungkin terlalu kuno." "Tidak," bantah Harumi cepat. "Aku sama sekali tak berpikir kau seperti itu," "Ini bukan masalah besar," sahut Clarissa tenang. "Itu hanya sebuah selaput dara dan aku yang menganggapnya berlebihan. Lalu bayi, apa masalahnya jika aku mendapatkannya. Ini juga bukan zaman di mana tak ada wanita muda hamil. Aku akan mencari kerja dan membesarkannya sendiri. Aku akan merawatnya dan menjadikannya tujuan hidupku saat ini," "Cla," "Tak ada masalah. Harumi, aku sama sekali tak pernah menyalahkanmu. Adanya kejadian buruk itu, aku tak lagi memikirkannya. Dan saat ini, anak ini, aku akan membesarkannya. Aku akan membawanya pulang suatu hari nanti dan kupastikan semua berjalan sesuai rencanaku," Harumi memeluk Clarissa erat. Dia mengangguk dan meneteskan air mata tanpa terasa. "Benar, siapa yang akan memperdulikan keperawatan saat ini. Dan ada banyak wanita yang membesarkan bayinya tanpa pernikahan. Apapun itu, apapun keputusanmu, aku akan selalu ada untuk mendukungmu," Keduanya saling berpelukan untuk beberapa saat dan kemudian, Harumi secara tiba-tiba mengeluarkan sekeranjang buah dari bingkisan yang dia bawa. "Oke, ini, aku benar-benar tak tahu bahwa hal yang kubawa pagi ini akan sangat berguna," ujarnya berpikir keras. Dia tahu, dia membeli sekeranjang buah ini karena berpikir sahabatnya itu tak memiliki waktu untuk menemuinya. Clarissa tersenyum. "Aku tak membutuhkannya," Harumi menggeleng. "Tidak, tidak, tidak. Mulai saat ini kau harus benar-benar menjaga makananmu. Aku tak ingin keponakanku mengalami kurang gizi. Benar, apa aku harus membawakan makanan dari koki rumahku? Cla, itu akan sangat sesuai dengan kebutuhan gizimu. Aku akan-" "Harumi, tidak." tolak Clarissa lembut. "Aku tahu, hal apa yang harus aku lakukan. Namun, saat ini, hal yang benar-benar aku butuhkan adalah pekerjaan. Aku harus bekerja untuk menghidupi anakku kelak," "Oh, benar. Kau harus bekerja. Kau akan jadi ibu. Ya Tuhan, aku hampir lupa hal ini," Clarissa tersenyum. "Aku akan mencarinya nanti. Saat ini, kita harus bergegas untuk jadwal kuliah pagi. Ini akan terlambat jika kau terlalu memikirkan kebutuhanku. Aku baik-baik saja. Aku bisa mengatasinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD