2. Awal dari hari yang akan datang.

1137 Words
Keesokan harinya, Clarissa bangun lebih awal. Dia membuka matanya dengan berat lalu menatap langit-langit kamar yang redup. Mengigit bibir bawahnya, dia merasakan seluruh tubuhnya remuk tak terkira. Ingatan yang menyakitkan itu menyambar isi kepalanya dan perlahan, air mata lolos dari sudut-sudut matanya. Menoleh, dia mendapati pria asing yang masih tertidur pulas di sampingnya. Membuat amarahnya memuncak namun seluruh tubuhnya terasa lemas hanya untuk mengangkat tangan ataupun sekedar mengeluarkan kata-k********r. Dia tahu, pria ini menyentuhnya berkali kali. Tak peduli meski dia tersadar dan memohon agar semuanya berhenti dan dia bisa melepaskan diri, nyatanya pria itu tetap menyentuhnya berkali kali dengan menampar wajahnya setiap kali dia memberontak dan mencoba melepaskan diri. Hal yang bisa dia lakukan adalah merintih kesakitan, menangis saat mengetahui bahwa seluruh hidupnya mungkin saja hancur, dan pria yang menyentuhnya sama sekali tak memiliki hati. Menangis, Clarissa menahan semua amarahnya di dalam d**a. Hal apa yang akan dia katakan saat petemuannya dengan kekasihnya terjadi? Saat mereka akan menikah nanti? Bagaimana hidupnya yang sudah berantakan menjadi hancur dan kian tak terarah seperti ini? Dia diam, saat perlahan pria di sampingnya bergerak, menatapnya dengan tatapan dingin yang jijik. "Kau menangis?" Clarissa diam dengan memegang erat ujung selimut yang menutupi tubuhnya. "b******n!" Keenan langsung mencengkeram rahang Clarissa kasar. "Jangan berlagak kau sangat suci. Kau di bayar di sini, dan aku akan memberikan jumlah yang kau inginkan. Selanjutnya, kau tak harus muncul di hidupku dan aku akan melupakan malam ini, seperti sebuah kesalahan yang tak pernah terjadi," Clarissa tertawa miris. Dia menatap Keenan tajam. "Kau menghancurkan hidupku dan kini mengatakan agar aku tak muncul di hadapanmu? Aku bahkan tak mengenalmu, tapi kau yang b******n, yang sudah menghancurkan kehidupan seseorang bisa mengatakan itu semua? Dunia ini akan menghukummu dengan segala kekejian dan kekejaman!" Keenan mendengus, dia menatap bagaimana wajah cantik itu terlihat sangat membencinya. "Kau berpura-pura sebagai korban dan mengatakan itu semua? Apakah kau tak di ajarkan dengan baik bagaimana cara melayani pelanggan? Mulut berbisa ini, aku ingin seka-" "Lucu sekali!" bantah Clarissa marah. "Kau pikir, aku wanita yang kau cari! Sudah aku katakan! Aku bukan w************n! Aku bukan wanita yang kau tunggu!" Keenan tersenyum tipis. Dia bangun dari tempat tidur dengan tubuh telanjang. Memungut pakaiannya, memakainya secara elegan tanpa memperhatikan Clarissa yang sangat kesulitan untuk bangun. Dia menarik secarik kertas cek lalu menuliskan beberapa angka dan meletakkan di atas meja. "Uang ini cukup untuk membungkam rasa marahmu. Kau benar-benar memuaskan dan aku," ucapnya tertahan. Dia menoleh menatap Clarissa yang mulai ketakutan saat dia melangkah maju. "Dan aku, suka melihat bibir tipismu memakiku namun mengeluarkan desahan yang membuatku terbakar. Kau benar-benar berbeda dari yang aku bayangkan." Clarissa membeku, dia menatap pintu kamar yang telah tertutup dengan sosok Keenan yang telah berlalu. Dia berteriak marah, menangis, meraung dengan penyesalan yang dalam. Bagaimana bisa dia bertemu dengan seorang pria b******n sepertinya? Bagaimana bisa dia salah arah dan pada akhirnya pria itu menghancurkan hidupnya. Selain menganggapnya sebagai wanita malam, pria itu bahkan berani merendahkannya. Kini setelah semua seperti ini, pria itu pergi begitu saja. Sedangkan dia? Dia terlalu lemah hanya untuk bergerak atau pun berdiri mengejar, lalu menampar pria itu dengan keras. Clarissa menarik rambutnya kasar. Harapan hidupnya yang indah di masa-masa mendatang hancur. Saat ingatan panas bagaimana pria itu menyentuhnya semalam berkali kali membuat seluruh harga dirinya terluka. Hal yang menyedihkan adalah saat pria itu menyentuhnya dengan kelembutan dia sempat terpesona. Dia masih mengingat, bagaimana wajah tampan itu memerah dengan lembut mengecup bibirnya halus. Memperlakulannya dengan hati-hati saat dia menangis ingin melarikan diri. Namun pada akhirnya, semua kehalusan dan kelembutan itu hilang dan seluruh tubuhnya remuk saat pria itu bergerak sesukanya hingga mencapai kepuasan berkali kali. Dan dirinya? Dirinya semakin hancur tak terkira. Selanjutnya, ketukan pintu kembali terdengar. Di luar pintu, Harumi menatap cemas pada pintu yang masih tertutup dan memilih masuk meski tak mendapatkan aba-aba dari dalam ruangan sana. Clarissa tak mempedulikan itu semua dan hanya menangis tak terkira. Hingga pelukan hangat yang sangat dia kenal, membuatnya kian menangis keras. Harumi, memeluk tubuhnya erat dengan hati yang hancur dan air mata yang ikut mengalir. "Apa yang terjadi? Cla, kau ... apa yanh sudah terjadi?" Clarissa kian menangis keras. "Harumi, aku telah ternoda. Kesucian yang selalu kujaga terengut. Kini aku harus bagaimana dalam menjalani hidup? Bagaimana aku bisa bertemu dengan kekasihku nanti? Bagaimana aku akan menjalani hidupku?" Harumi tertegun. Dia terpaku seakan beban berat baru saja di perlihatkan di hadapan matanya. Bukankah ini semua salahnya? Dia yang membawa Clarissa lalu meninggalkannya. Dia yang memaksa Clarissa untuk menikmati kehidupan yang dia radakan. Kini saat semua seperti ini, apa yang bisa dia lakukan? Lebih tepatnya apa yang haru dia lakukan? "Aku minta maaf, aku minta maaf. Cla, aku minta maaf. Ini salahku, semua salahku," "Semua hancur!" isak Clarissa. "Aku hanya salah arah saat mencari toilet dan pria itu menyeretku memasuki kamar. Dia mengira aku wanita pesanannya dan meniduriku berkali kali. Harumi, aku hancur. Hidupku, cita-citaku, cintaku, aku ...," Harumi memejamkan matanya sedih. Dia memeluk tubuh Clarissa erat dan menangis. "Pria mana yang melakukan itu semua padamu? Biarkan aku melihatnya. Kau masih mengingatnya bukan? Biarkan aku berurusan dengannya. Aku akan mengurusnya. Aku berjanji padamu, aku akan mengurusnya. Cla, maafkan aku, semua salahku." Clarissa mengangguk dan menggeleng. "Tidak. Tidak, aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Aku tak ingin bertemu dengan b******n sepertinya lagi. Aku tak akan bertemu dengannya," "Ya Tuhan," ungkap Harumi frustasi. "Jika saja aku tak meninggalkanmu. Jika saja ... aku minta maaf Cla, aku minta maaf. Maafkan aku, hancurnya hidupmu, aku ikut ambil andil di dalamnya." Clarissa hanya diam dan menangis. Sampai Harumi membantunya mengenakan pakaian dan membawanya kembali ke apartemen. Selama beberapa hari ke depan, Harumi selalu datang dan membantu Clarissa menyelesaikan beberapa hal. Hingga keadaannya membaik dan dia dapat menerima semua kedaaan dengan lapang, dia akhirnya berpikir bahwa kesalahannya pada malam itu bukanlah apa-apa. Dia akan menjalani hidup seperti biasa. Dia akan menganggap bahwa malam itu, saat hidupnya hancur, dia telah bangkit dan memperbaikinya. Seperti hari ini, saat dia bisa tersenyum dengan pakaian santai dan menikmati jalan paginya menuju kampus dengan sepotong kue di tangannya. Sedangkan Keenan, saat itu dia baru saja tiba di apartemen miliknya dan terhenti sata telepon genggamnya berdering. Dia mengangkatnya tanpa berniat berbicara sedikitpun hingga suara di seberang sana terdengar dan membuat tubuhnya kaku. "Keenan, aku lupa memberi tahumu karena sejak semalam kau tak bisa dihubungi. Wanita yang aku siapkan, dia tak bisa datang. Wanita itu bena-" Tanpa mendengarkan lebih jauh lagi, Keenan menutup telepon itu dengan tatapan kosong. Wanita yang disiapkan temannya tak bisa datang menemuinya. Lalu, lalu, wanita yang dia sentuh semalam itu, apakah benar-benar bukan wanita malam? Selanjutnya wajah cantik itu terbayang sekali lagi. Dia masih bisa mengingat bagaimana kemarahan, dan permohonan gadis itu untuk melepaskan diri. Dan hal itu menyadarkannya ke suatu titik di mana dia benar-benar melalukan kesalahan dalam satu malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD