1

1202 Words
Mentari pagi sudah menyapa, Kanin telah sampai di sekolah tempatnya mengajar anak-anak. Berdiri di halaman sekolah menanti murid-muridnya datang. Dengan dress biru tua dipadu blazer senada, Kanin tampak anggun mengenakan seragam pengajar. Bersama anak-anak adalah hal yang sangat dia suka. Hari sepinya jadi terasa menyenangkan. Karena itu Kanin, perempuan tiga puluh tahun asli Jawa ini memilih menjadi guru Taman Kanak-Kanak di kota. Selain mencari kesenangan batin juga menghindari pertanyaan dari kebanyakan orang di daerah asalnya. Kanin dengan senyum lebarnya menyapa setiap muridnya yang datang. Rambut panjangnya dia kuncir kuda, membuatnya terlihat lebih muda dari umurnya. Siapa yang akan menyangka pemilik tubuh 157 cm itu sudah berumur 30 tahun. "Miss Kanin, nanti akan ada murid baru. Dia akan masuk kelasnya Miss. Jadi nanti sebelum masuk kelas ke ruangan saya dulu ya," ucap Bu Wita, kepala sekolah Sun Star. "Murid baru di pertengahan tahun ajaran, Bu? Baik, Bu." "Iya, dia cucu pemilik yayasan Sun Star." "Oh... Baik Bu," balas Kanin, lalu kembali menyapa anak-anak setelah ditinggalkan kepala sekolahnya. Setengah delapan tepat sebuah mobil SUV berhenti di depan pintu gerbang. Pria berjas biru tua turun dari mobil. Lalu mengangkat bocah kecil dari dalam mobil berwarna putih itu. Kanin sempat terpana melihat Java yang tinggi, putih, dan sangat tampan berjalan menggandeng anak kecil ke arahnya. Kanin menunduk menjaga pandangannya. Tak seharusnya dia terpesona pada wali muridnya. "Aku ingin bertemu Ibu Wita," ucap Javas dengan nada tegas tanpa senyum. "Ah ya, Anda sudah ditunggu beliau. Ruangannya di sebelah sana. Mari," balas Kanin yang merasa pria berhidung mancung di hadapannya pastilah anak pemilik yayasan dan bocah manis yang digandeng adalah cucu pemilik yayasan. "Pa, gendong." "Di sini luas, Sayang. Kamu bisa berlarian kenapa harus gendong?" ucap Kanin tapi ucapannya seolah dianggap angin lalu oleh keduanya. Javas langsung menggendong Bella tanpa menoleh pada Kanin. Senyum Javas terukir hanya saat menatap Bella. Sepertinya apapun yang Bella minta akan dituruti oleh Javas. Merasa diabaikan Kanin memilih diam sampai ruangan kepala sekolah. Melihat interaksi ayah dan anak di sampingnya terasa hangat tapi saat Javas menatapnya atau menatap ke arah lain tatapan Javas berubah dingin. Kanin bergidik ngeri. "Selamat datang, silakan duduk Pak Javas." "Langsung ke intinya. Aku ingin menitipkan anakku di sini. Ibu Wita sudah mendapatkan riwayat sekolah Bella, bukan? Nah, aku harap Bella betah di sini." "Iya Pak. Kami paham dan kami akan berusaha. Miss Kanin ini yang akan menjadi wali murid putri Bapak." Javas melirik Kanin sekilas lalu menatap Wita lagi. "Baik, aku titipkan Bella di sini. Aku harap aku tak mendapat telpon dari sekolah satu jam dari sekarang." Dalam hati Kanin mengumpat. Baru kali ini dia bertemu wali murid yang arogan luar biasa. Pantas saja kalau anaknya memiliki sifat yang sama. Tak ada senyum hanya ada wajah yang terkesan jutek. "Bella, Papa tinggal ya. Jadi anak baik ya, mengerti Sayang?" "Ok Pa." "Miss Kanin, berikan nomor Anda." "Nomor?" "Ya, aku harus memastikan anakku baik-baik saja di sini." Kanin melirik Wita dan mendapat anggukan. Kanin pun memberikan nomor telponnya. Baru kali ini ada orangtua yang langsung meminta nomor telponnya tanpa basa-basi bahkan cenderung angkuh. Kanin sebagai guru TK yang sudah lama berkecimpung di dunia anak-anak pun sabar menghadapi pria dewasa dengan jiwa anak-anak seperti Javas. *** Menurut riwayat sekolah Bella, Bella anak yang cenderung nakal dengan selalu membuat onar atau memukul teman sekelasnya. Tapi seharian bersama Bella yang didapatnya Bella adalah anak yang pendiam cenderung tak bisa bergaul. Jadi Bella terlihat sombong. Sibuk sendiri tanpa mau berinteraksi dengan yang lain. "Miss, besok aku ulang tahun. Miss datang ya," ucap Caca saat mereka sedang menunggu jemputan pulang. Memberikan undangan bergambar princess berwarna pink kepada Kanin. "Ok, Sayang. Miss usahakan datang ya." "Miss harus datang soalnya Papa Aidan sendirian." "Miss Kanin kan bukan mamamu," celetuk Bella yang duduk di sebelah kanan Kanin. "Miss Kanin mamaku," ucap Caca. "Miss Kanin itu mamaku," seru Bella dengan tangan mulai bergerak menarik rambut Caca hingga Caca berteriak kesakitan. "Sayang. Stop jangan berantem ya. Miss Kanin itu mama kalian semua," ucap Kanin, lembut seraya melerai Bella dan Caca. Tapi melerai dua bocah tak semudah melerai dua orang dewasa. Tak bisa memakai kekerasan, harus dengan kata-kata yang baik. Tapi dua bocah itu mulai bertengkar bukan hanya lewat mulut, tangan mereka mulai aktif saling menyerang. Kanin sampai kewalahan hingga Aidan, wali murid Caca dan juga teman Kanin datang membantunya. "Pa, Bella rebut Miss Kanin. Miss Kanin kan mama Caca. Iya kan? Miss Kanin kan pacar Papa Aidan," seru Caca di gendongan Aidan. "Bukan! Miss Kanin itu mamaku," seru Bella tak mau kalah memeluk Kanin. Andai diperebutkan cowok, Kanin pasti amat bahagia. Langsung akan dia bawa ke kampung untuk menemui orangtuanya. Tapi ini diperebutkan oleh anak-anak. Dia memang sering diperebutkan murid-muridnya. Tapi baru kali ini dia diperebutkan sebagai mama. Kanin sampai bingung sendiri jika diperebutkan anak-anak dengan tempramen merek yang meledak-ledak. "Kamu hits di kalangan anak-anak, Kanin," ucap Aidan. "Ya begitulah," balas Kanin dengan senyum dan kerutan di dahi. "Maaf aku telat menjemput Caca. Jadi begini." "Bukan masalah." "Tuh kan, kamu lihat. Miss Kanin itu pacar Papa Aidan." "Bukan! Tunggu papaku datang." teriak Bella dengan mata melotot lebar. "Memang papamu siapanya Miss Kanin." "Papaku ya pacarnya Miss Kanin." "Sejak kapan? Miss Kanin itu pacar Papa Aidan. Mereka temenan dari kuliah." Keributan dimulai lagi. Kanin hanya bisa memeluk Bella sementara Aidan pamit pulang agar keributan berakhir. "Pa...." Bella lari ke arah Javas yang memakai kacamata hitam, menambah kesan angkuh. Bukan tipe Kanin. "Pa, Bella mau Miss Kanin jadi mama Bella. Bisa kan Pa?" Javas melepas kacamatanya, melirik Kanin lalu kembali menatap Bella. "Bagaimana sekolahmu, Princess?" "Papa denger kan yang Bella katakan? Bella mau Miss Kanin jadi mama Bella, Pa. Papa harus pacaran sama Miss Kanin kayak papanya Caca," ucap Bella, mengabaikan Javas. Kanin mengusap pelipisnya. Merasa takjub dengan Bella. Dia sudah bertahun-tahun mengurusi anak kecil tapi baru kali ini ada yang seperti Bella. "Tapi kan sudah ada tante Relin, Bella." "Bella nggak suka tante Relin, Pa. Bella maunya miss Kanin." "Bella masuk mobil dulu. Papa bicara dengan Miss Kanin dulu ya?" "Ok Pa. Tapi pastikan besok Miss Kanin sudah jadi mamanya Bella. Oke?" "Oke." Mendengar percakapan antara ayah dan anak yang sedang negosiasi, Kanin bengong. Bagaimana bisa besok dia jadi mamanya? Berniat saja Kanin tak mau. Melihat sosok Javas yang angkuh sudah membuatnya hilang minat. "Apa yang kamu katakan pada anakku, hah?" "Maksud Pak Javas apa ya?" "Aku peringatkan Miss Kanin. Jangan pernah bermimpi bisa jadi mamanya Bella. Sampai aku tahu sekali lagi kamu memaksa Bella atau mendekati Bella, detik itu juga kamu kehilangan pekerjaanmu." "Hah? Memaksa? Maaf Pak Javas, Anda salah paham. Saya tidak memaksa Bella atau siapapun. Soal dekat tentu saja saya harus dekat dengan murid sa__" "Aku sudah sering bertemu orang sepertimu. Jangan dekati anakku untuk mendapatkanku. Ah bukan, mendapatkan kekayaanku. Mengerti?" potong Javas. Seketika Kanin speechless, setelah sadar dia ingin sekai mengumpat. Hanya saja dia masih dalam lingkup sekolah jadilah dia menahan diri. Tak pernah sebelumnya dia membenci orang, kini dia teramat benci dengan Javas. Pria sok keren, sombong, angkuh, dan arogan. Andai dia tak berada di sekolah, sudah dia lempar kepala Javas dengan sepatu heelsnya. Hari yang menguras tenaga. Kanin mengepalkan tangannya menuju ruangan guru. Mengambil napas panjang berulang kali untuk meredam emosinya. Javas telah melukai harga dirinya. Bukan hanya sebagai guru tapi juga sebagai perempuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD