2

1130 Words
Suasana hati Kanin masih buruk efek bertemu dengan Javas yang menyebalkan dan anaknya yang super konyol. Duduk bersama teman-temannya tak mengubah moodnya seketika. Dia masih kesal dan terus teringat wajah sombong Javas. "Kamu kenapa, Nin?" tanya Wika. Teman yang Kanin kenal sejak kuliah di kampus yang sama. "Aku lagi kesel banget." "Kesel kenapa?" Kali ini Hani yang bertanya. Mereka bertiga adalah teman kuliah yang masih sering bertemu walau bekerja di tempat berbeda. "Aku kedapatan murid baru dan bapaknya sombongnya luar biasa. Sumpah ya ingin banget aku nampol wajahnya pakai sendal masjid." "Wah bu guru mendadak emosi. Ini pasti luar biasa bapaknya." "Banget. Anaknya juga sama, sebelas dua belas sama bapaknya. Mana tuh bocah aneh banget. Masa minta aku jadi mamanya kayak minta mainan. Gila nggak sih?" "Jadi bapaknya duda? Cakep nggak? Lumayan itu, Nin," ucap Hani yang bekerja di salah satu perusahaan properti. "Aih... mau cakep mau kaya tujuh turunan kalau sombong aku juga nggak mau. Sumpah sombong mampus. Dia dong kasih peringatan aku suruh jangan maksa atau deketin anaknya. Dia pikir aku deketin anaknya buat dapetin kekayaannya. Astagah... oke aku emang masih single tapi aku nggak mata duitan." "Sabar, sabar... inget umur, Buk. Ibu guru nggak boleh marah-marah, sabar," ucap Wika. "Lagian aku heran sama kamu, Nin. Seorang Kanin jadi guru TK. Gila, muridmu mau jadi apa," ucap Hani yang tahu persis sifat dan sikap Kanin. Kanin yang kesehariannya masih seperti remaja, jauh dari kata dewasa tapi jadi guru TK. Kanin yang punya emosi meledak-ledak bisa sabar menghadapi anak-anak dan sudah terbukti menjadi guru TK bertahun-tahun. "Malah ngatain aku. Aku sabar ya kalau di sekolah. Kamu kan tahu aku lemah lembut, murah senyum di sekolah, dan aku pecinta anak kecil." "Lagian bocah itu lucu amat minta kamu jadi mamanya. Emang kamu dekat banget sama dia?" tanya Wika. "Enggak Wika. Kalian pasti syok kalau aku bilang. Dia baru berangkat hari ini dan kami baru kenal. Tahu-tahu pulang sekolah rebutan sama Caca, ponakan Aidan yang suka manggil Aidan, papa Aidan itu." "Rebutan gimana?" Kanin pun menceritakan semua secara detail dan seketika Wika dan Hanin tertawa lebar. "Sumpah Bella itu ajaib, dia pikir pacaran itu apa?" ucap Eika lalu tertawa lagi. "Entahlah. Minta aku jadi mamanya. Ih amit-amit, males banget punya suami kayak Javas itu." "Btw, Nin. Javas, Bella, aku kayak nggak asing sama namanya. Yang kamu maksud Javas Adelard bukan?" "Iya, iya itu nama bapaknya. Bapak super sombong." "Itu kan bosku, Kanin." "Hah?" Kanin dan Wika melongo bersama. "Kalau itu mah emang begitu orangnya. Pak Javas itu terkenal dingin, otoriter, dan angkuh. Anaknya juga super aneh, nakalnya bukan main. Apapun yang anaknya mau pasti diturutin. Tapi aku justru kasihan sama Bella. Dia begitu pasti karena salah didik dari awal." "Jelas itu salah bapaknya. Bapaknya aja modelannya gitu." "Kalau Pak Javas ngeiain kamu jadi mamanya Bella gimana, Nin?" "Ogah. Ih... kayak nggak ada yang lain aja." "Emang nggak ada yang lain kan?" balas Wika dengan cengiran. "Sial! Tapi nggak dengan Javas itu." "Tapi Pak Javas itu keren, Nin. Umurnya baru 35 tahun tapi udah punya perusahaan besar, lumrah kalau dia sombong. Lagian dia gitu juga buat ngelindungi dari orang-orang yang memanfaatkan anaknya." "Tapi aku kan nggak manfaatin anaknya. Kalau bisa malah jauh-jauh deh dariku. Bisa-bisa citraku di sekolah sebagai Miss lemah lembut hilang gara-gara mereka. Huwaaa... jangan sampai." "Dasar Miss pencitraan!" seru Hani. "Terus kamu sekarang mau gimana?" tanya Wika. "Berdoa semoga Bella pindah sekolah jadi aku nggak perlu berurusan dengan mereka lagi," jawab Kanin. "Bella itu sebenarnya bukan anak Pak Javas." "Lha anak siapa?" "Anak kakaknya. Bella itu udah nggak punya orangtua. Cuma punya Pak Javas dan Omanya jadi Pak Javas sangat memanjakan Bella." "Oh jadi bukan duda," gumam Wika. "Bukan. Masih single tapi punya pacar, model namanya Ralin. Cantik banget dan punya bodi cucok meong." "Nggak peduli aku mau dia duda kek, single kek," ucap Kanin. "Sebagai guru kamu kan harus perhatian sama miridmu, Nin. Kamu harus bisa bikin Bella jadi anak baik," ucap Wika. "Halo... bapaknya aja udah kasih warning suruh jangan dekat-dekat anaknya. Aku sih bersyukur," balas Kanin. "Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Wika pada Hani. "Aku bayangin kayaknya besok akan ada hal yang lebih menarik dari ini." "Maksudmu?" tanya Kanin. "Lihat aja besok," jawab Hani. *** Melihat senyum lebar Bella yang berjalan mendekat ke arahnya membuatnya horor seketika. Kanin berusaha biasa saja meski dalam hati was-was. Senyum Bella menakutkan baginya dan pria yang menggandeng tangan Bella sungguh memuakkan baginya.  Javas tak lagi terlihat keren di matanya meskipun jas yang dipakai terlihat menawan. Yang teringat di kepala Kanin adalah kesombongan Javas. "Pagi, Ma," seru Bella lari mendekati Kanin. Refleks Kanin melirik guru yang lain. Ma? "Ma, pagi," ulang Kanin seraya menarik tangan Kanin untuk disalami. "Pagi, Bella. Hari ini sepertinya kamu lagi bahagia ya?" balas Kanin dengan terbata, masih kaget dengan panggilan Bella padanya. "Iya soalnya kata papa hari ini Miss Kanin jadi mamanya Bella." Kanin mengangkat wajahnya ke arah Javas yang berdiri menjulang di hadapannya. Ucapan Bella membuatnya syok apalagi di sekitarnya ada beberapa guru yang juga sedang memanti murid-muridnya datang. "Iya kan Pa? Miss Kanin mamanya Bella?" "Iya, Princess," jawab Javas. "Kamu masuklah dan jadi anak baik. Ok?" "Ok Pa! Kan ada mama jadi Bella akan jadi anak baik." Kanin kehabisa kata-kata, hanya mendengar percakapan antara ayah dan anak dengan ekspresi seperti orang bodoh. Aku yang gila atau mereka yang tak normal? pikir Kanin. "Bisa bicara sebentar Miss Kanin?" Mereka menjauh dari para guru, Kanin memgumpat berulang kali di dalam hati. Kenapa harus berurusan dengan mereka lagi. Selesai sidah riwayatnya di Sun Star kalau begini terus. "Sekarang kamu adalah mamanya Bella. Ingat itu Miss Kanin. Tapi perlu diingat juga. Menjadi mamanya Bella bukan berarti menjadi istriku. Karena aku sudah punya calon, jadi jangan mengharapkan hal lebih. Mengerti?" Kanin mengambil napas panjang mengendalikan emosinya yang sudah mencapai ubun-ubun. Lagi-lagi Kanin hanya bisa mengumpat dalam hati. "Baik Pak Javas. Tapi maaf saya tidak berniat sedikitpun menjadi istri orang sombong. Permisi." Kanin sedikit lega telah mengucapkannya walaupun belum sepenuhnya lega. "Tunggu. Apa maksudmu?" "Tidak ada. Permisi karena saya harus menyambut murid yang lain." "Kamu harus lebih perhatian pada Bella." "Semua murid saya perhatikan Pak. Tenang saja." "Saya akan membayar lebih. Tapi Bella harus diprioritaskan. Karena kamu mamanya." "Maaf Pak. Saya bukan guru mata duitan. Saya mama semua murid saya. Permisi sekali lagi." "Tunggu. Kapan aku bisa bertemu dengamu di luar sekolah untuk membahas hal ini." "Tidak perlu bertemu di luar sekolah Pak. Saya tidak mau Anda berpikir saya mau mendekati Anda demi kekayaan. Saya sudah punya suami. Permisi," ucap Kanin lalu pergi meninggalkan Javas yang terdiam oleh jawaban Kanin. Senyum Kanin yang dipaksakan hilang seiring menjauhnya jarak antara mereka. Kanin kembali tersenyum saat mendekati guru yang lain. Dia butuh cokelat atau minuman manis agar moodnya kembali baik. Jika setiap pagi akan seperti ini maka harinya tak akan nyaman lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD