1 | Prolog

1302 Words
Gisa Katalina Divya, Gadis cantik, tinggi, putih dan masih muda pastinya. Dalam usianya yang masih menginjak 21 tahun, gadis itu sudah mengajar beberapa bulan sebagai guru honorer di SMA Swasta Galaxy. Ia mengajar dibidang kesenian. Saat ingin menuju ke kelas yang akan diajarnya. Gisa tidak sengaja menabrak pintu mobil yang tiba-tiba dibuka yang menyebabkan tubuhnya ambruk ke lantai. Orang yang membuka pintu mobil itu bukannya meminta maaf, ia malah menatap Gisa dengan tatapan dingin. Seakan-akan ia tidak melakukan sebuah kesalahan yang merugikan orang lain. Sadar dengan sifat orang yang baru saja membuatnya terjatuh, Gisa segera berdiri dan menatap pria yang sekarang berdiri tepat di hadapannya. Pria itu tak lepas menatap Gisa dengan tatapan matanya yang dingin. Gisa yang mulai takutpun memilih untuk menjauh darinya. Gisa tidak ingin memperpanjang masalah dengan orang yang menyeramkan dan dingin seperti pria itu. Itu hanya akan membuatnya repot. Baru beberapa saat Gisa mengajar, ada pemberitahuan rapat untuk seluruh majelis guru. Gisa pergi ke ruangan rapat sambil meninggalkan beberapa tugas untuk murid-muridnya. Sesampainya di ruang rapat, Gisa langsung duduk di mejanya. Selama rapat berlangsung, Gisa tidak sadar jika ada seseorang yang selalu memperhatikannya. Hingga salah satu teman Gisa menegurnya. "Sa." Sesorang yang berada di sebelah Gisa menyenggol lengan Gisa dan memanggilnya. "Apa?" tanya Gisa tanpa mengalihkan perhatiannya pada pemberitahuan yang sedang dibicarakan. "Kamu lihat bapak yang di depan itu, deh! Sepertinya bapak itu memperhatikan kamu sedari tadi." ujar Ifa. Mendengar apa yang Ifa katakan, Gisa langsung menoleh ke arah pria yang dimaksud. Gisa sedikit terkejut saat melihat tatapan pria itu. Ia bingung kenapa pria itu selalu menatapnya seperti itu? Apa karena kejadian tadi pagi? Tanpa menghiraukannya, Gisa kembali sibuk mendengarkan pembahasan rapat. Sampai ada pemberitahuan jika sang pria bermata dingin itu adalah sang pemilik sekolah yang baru. Pria itu baru saja membeli sekolah itu beberapa minggu yang lalu. Gisa merasa sedikit takut mengingat kejadian tadi pagi. Walaupun itu bukanlah kesalahannya, tapi Gisa tetap takut jika dia akan segera dipecat. Gisa menundukkan kepalanya sambil merasakan ketakutannya. Darahnya mengalir dengan cepat di seluruh pembuluh darahnya. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya. Ia sudah berjuang keras hingga bisa sampai di sini. Selama rapat berlangsung, sang pria pemilik sekolah baru itu tak pernah mengalihkan pandangannya dari Gisa. Gisa menjadi sedikit takut melihat tatapan tajam nan dingin pria itu. Tatapan pria itu sangat mengintimidasi. Beruntungnya rapat cepat selesai. Gisa berencana untuk segera kembali ke ruang kelas. Tapi sang pria itu menyuruh Gisa untuk datang ke ruangannya. Gisa terkejut mendengar suara bariton pria itu yang sangat tegas. Dengan jantung yang seakan-akan ingin keluar, Gisa mengikuti perintah pria itu. Sesampainya di ruangan pria itu, Gisa dipersilahkan duduk. Dengan sangat pelan, Gisa duduk sambil menundukkan kepalanya dan meremas-remas tangannya yang sudah basah karena keringat dingin. Hingga Gisa kembali dikejutkan mendengar suara bariton sang pemilik sekolah baru itu. "Kenapa kaku begitu? Padahal tadi pagi tatapan kamu seakan-akan ingin menantang saya." ujarnya mengungkit kejadian tadi pagi. Gisa menatap sang pembicara dengan rasa takut. Gisa tahu jika pemilik sekolah yang baru itu akan mempermasalahkan masalah tadi pagi. "Maaf, pak. Saya takut sama, bapak." Menahan rasa takutnya, Gisa mencoba untuk tetap menjawab pertanyaannya. "Apa, yang kamu takutkan dengan suamimu sendiri?" Mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut pria itu, tentu saja membuat Gisa sangat terjekut. Apa maksudnya dengan "suamimu sendiri?" "Apa? Maksud bapak apa, ya?" Gisa mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. Ia berharap ia hanya salah mendengar apa yang diucapkan pria itu. "Saya suami kamu!" Tidak ada yang berbeda. Gisa masih mendengar hal yang sama seperti sebelumnya. Mendengar kata "suami" membuat kepala Gisa sedikit merasa pusing. Bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tunggu! Apa?" Gisa kembali bertanya. Ia masih tidak percaya apa yang baru saja ia dengar dari seseorang yang baru saja ia temui. "Saya tegaskan sekali lagi, SAYA SUAMI KAMU." tuturnya sambil menegaskan kata "saya suami kamu". "Hahaha … Bapak suka becanda, ya? Maaf pak, tapi saya belum punya suami." ujar Gisa menganggap jika pria yang ada di hadapannya saat ini hanya sedang membual. "Benarkah?" tanya pria itu sambil menaikkan sebelah alisnya ke atas. "Iya, pak." jawab Gisa. Lalu pria itu berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Gisa. Saat Gisa melihatnya, seketika tangannya langsung gemeter tak percaya apa yang dia lihat saat ini. Buku pernikah yang mencantumkan namanya dan juga nama sang pria yaitu Angga Giovan Pradibta dan Nagisa Katalina Divya. "I..Ini, apa?" tanya Gisa tak percaya. Tentu saja Gisa merasa sangat kebingungan. Ia tidak pernah menikah sebelumnya. Kenapa tiba-tiba ada surat nikah yang mencantumkan namanya dengan pria yang tidak ia kenal sama sekali? "Kamu tidak mungkin bodoh jika sudah menjadi seorang guru." "Tapi, saya nggak kenal sama, bapak. Bagaimana mungkin saya sudah menikah dengan, bapak?" tangan Gisa tidak bisa berhenti gemeteran melihat buku yang berada di genggamannya. "Itu, sudah ada buktinya." Berbeda dengan Gisa, Angga terlihat sangat santai dan tenang. "Jangan bercanda! Tunggu sebentar, jika bapak benar suami saya, seharusnya orangtua saya tau tentang masalah ini, kan?" Tidak percaya apa yang diucapakan Angga, Gisa berpikir untuk bertanya kepada orangtuanya. Sebuah pernikah, mana mungkin seorang orangtua tidak mengetahui pernikahan anaknya, bukan? "Silahkan, bunda kamu juga tahu dengan saya." Tidak seperti orang bohong pada umumnya, Angga dengan senang hati membiarkan Gisa menghubungi orangtuanya. Itu seakan-akan hubungannya dengan Gisa memang sebuah kebenaran. "Halo, bun?" "Iya, halo. Ada apa, Gi?" "Ini, ada orang yang ngaku-ngaku jadi suami aku. Katanya bunda tahu sama, dia." "Angga, ya?" Seketika bumi rasanya mau hancur. Gisa langsung membeku saat mendengar jika bundanya tahu dengan Angga. Ia menatap Angga yang dengan santainya hanya mengangkat bahunya acuh. "Ini, maksudnya apa, bun?" "Angga benar suami, kamu. Kamu tanya detailnya sama Angga, ya. Bunda masih ada kerjaan, nanti bunda hubungi lagi." Tanpa menunggu respon dari Gisa, orangtuanya langsung mematikan telepon secara sepihak. Gisa terdiam sejenak mencerna kenyataan yang membuatnya sangat kebingungan. "Bagaimana? Sekarang kamu percaya?" tanya Angga. "Bagaimana saya bisa percaya jika saya saja tidak pernah merasa pernah menikah dengan bapak." Gisa menjawab pertanyaan Angga dengan sangat tegas. Ia tidak mungkin lupa jika ia pernah menikah sebelumnya. Ini pasti ada sesuatu yang salah. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi kita sudah sah dimata hukum dan agama." Angga menegaskan seperti apa hubungan mereka sebenarnya. Ia tidak peduli jika Gisa lupa atau hanya pura-pura lupa. "Ya, sudah terserah bapak mau bilang apa. Yang jelas, saya tidak pernah menikah dengan, bapak." Setelah mengucapkan hal itu, Gisa beranjak untuk keluar dari ruangan Angga. Sebelum Gisa keluar dari sana, Angga tiba-tiba menarik lengan Gisa dan langsung mencium bibirnya dengan sangat brutal. Gisa yang terkejutpun berusaha berontak. Tapi kekuatannya jauh berbeda dari Angga. Angga mendorong Gisa hingga tubuh Gisa bertabrakan dengan dinding yang berada di belakangnya. Merasa tak bisa melawan, Gisa terdiam sambil menangis di sela-sela ciuman Angga. Angga yang menyadarinya pun langsung melepaskan ciumannya dan menghapus air mata Gisa dengan sangat lembut. "Maaf." Merasa bersalah atas apa yang ia lakukan, Angga memeluk tubuh Gisa dengan sangat lembut. Tidak ingin berada di posisi itu, Gisa pun mendorong tubuh Angga untuk menjauh darinya. "Br3ngs3k." ujar Gisa dan berlalu keluar dari ruangan Angga. Gisa berjalan cepat menuju toilet sambil menundukkan kepalanya agar orang-orang tidak melihatnya sedang menangis. Sesampainya di toilet, ia langsung mencuci wajahnya dan mengusap bibirnya dengan kasar. Membayangkan ciuman tadi, membuatnya merasa sangat jijik. Ia merasa sangat ternodai. Mengingat kejadian itu, tak sadar air matanya pun kembali membasahi pipinya. Itu adalah ciuman pertamanya, dan dicuri oleh pria aneh yang mengaku sebagai suaminya. Itu sangat menjijikkan. Setelah merasa enakan, Gisa kembali ke kelas. Keadaannyapun sudah lumayan membaik dari sebelumnya. Di dalam kelas, Gisa banyak melamun mengingat kejadian yang sedang menimpanya. Ia masih sangat terkejut dengan kejadian itu. "Suami apa'an, kenal saja tidak." gumam Gisa sambil menatap kosong kedepannya.Ia tidak ingin mengingat kejadian buruk itu lagi. Ia ingin fokus mengajar murid-muridnya. Tapi pikirannya hanya berputar-putar dikejadian buruk itu. Bayangan Angga selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Dan itu sangat mengganggu kesehariannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD