2 | Tak Percaya

1405 Words
Setelah mengajar, Gisa berencana untuk langsung pulang ke rumahnya. Ia merasa sangat stres setelah kejadian aneh yang menimpanya. Saat ingin memasuki mobil, tiba-tiba Angga menahan pergelangan tangannya. Gisa terkejut melihat kedatangan orang yang paling ingin ia hindari. Dengan cepat, ia melepaskan genggaman tangan Angga. Ia berusaha menjauh sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Angga tersenyum melihat tingkah Gisa yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan. "Mau, ngapain?" tanya Gisa saat melihat Angga semakin mendekat ke arahnya. Perlahan, Gisa pun melangkah mundur. Sebelum kakinya masuk ke dalam selokan, dengan cepat Angga menarik pergelangan tangannya. Gisa yang ditarikpun merasa terkejut. Ia terkejut bukan karena hampir saja masuk ke dalam selokan, tapi karena ia sangat dekat dengan Angga. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjauhkan diri. Ia merasa jika Angga adalah sebuah mara bahaya baginya. "Kamu pulang bareng saya." Dengan tangan yang masuk ke dalam kantong celananya, Angga mengucapkan hal itu tanpa rasa canggung sedikitpun. Ia terlihat sangat arrogant. "Tidak usah, bapak pulang saja sendiri ke rumah, bapak." jawab Gisa dan berniat masuk ke dalam mobilnya. Tak membiarkan hal itu terjadi, dengan cepat Angga menggendong tubuh Gisa seperti karung beras menuju mobilnya. Sesampainya di mobil, Angga langsung memasukkan Gisa yang selalu saja memberontak. Murid-murid dan guru terlihat kebingungan melihat kedekatan Angga dan Gisa yang terlalu tiba-tiba. "Turunkan saya. Saya bawa mobil." Gisa berteriak sambil berusaha membuka pintu mobil. "Tidak usah khawatir dengan mobilmu. Lebih dari itu saya belikan." Tanpa mempedulikan apa yang diucapkan Gisa, Angga melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. "Mau berapa banyakpun bapak belikan, saya tetap nggak peduli. Saya cuma mau bapak turunin saya SEKARANG!" tegas Gisa kesal. Ia merasa sangat kesal melihat sikap Angga yang suka seenaknya sendiri. Bukannya berhenti, Angga malah menambah kecepatan mobilnya. Setelah sekian lama menempuh perjalanan yang sangat berisik, akhirnya mereka sampai di sebuah mansion. Gisa tidak terkejut lagi jika akan dibawa ke tempat seperti ini oleh orang seperti Angga. Saat Angga sudah turun dari mobil, ia melihat jika Gisa tidak ikutan turun dan hanya duduk sambil menyilangkan tangannya di depan d**a sambil membuang muka. Angga yang gerampun membukakan pintu, tapi Gisa masih tetap duduk tenang tanpa mempedulikan Angga sedikitpun. Tanpa aba-aba, Angga kembali menggendong Gisa seperti karung beras. Gisa yang tak terimapun mencoba melawan dengan memukul-mukul punggung Angga penuh tenaga. Tapi pukulan seperti itu tidak ada apa-apanya bagi Angga. Itu hanya terasa seperti pukulan anak kecil. Selama perjalan Angga menggendong tubuh Gisa, banyak pembantu yang menyapanya sepanjang jalan. Hingga akhirnya, Angga membawa Gisa ke sebuah kamar yang dipastikan adalah milik Angga sendiri. Menyadari jika situasinya menjadi sangat buruk, Gisa semakin ketakutan. Sesampainya di dalam kamar, Angga langsung menurunkan Gisa di atas kasurnya. Situasinya begitu terasa sangat berbahaya bagi dua orang berada di dalam satu kamar. Apalagi mereka bukanlah pasangan suami istri. "Bapak, mau ngapain?" Gisa semakin ketakutan saat Angga mulai mendekat ke arahnya. Perlahan, langkah kaki Angga semakin mendekat. Tahu hal buruk akan terjadi, Gisa berusaha untuk kabur, tapi Angga mencekam pergelangan tangan gisa dan menarik tubuhnya hingga Gisa kembali tertidur di atas kasur. Anggapun ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Gisa. Tangannya masih tetap menggenggam pergelangan tangan Gisa yang kecil. Gisa terdiam sejenak saat melihat Angga tidak melakukan apa-apa seperti apa yang ia pikirkan. Bersyukur tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Gisa membuang napas lega. Ketakutan yang ia bayangkan tidak terjadi. "Boleh saya pulang?" Gisa bangkit dari tidurnya dan duduk di sebelah Angga yang masih berbaring di atas kasur. "Pulang kemana? Kamu kan sudah berada di rumahmu." Angga menjawab pertanyaan Gisa dengan mata masih dalam keadaan tertutup rapat. "Saya bukan istri, bapak." Gisa kembali menegaskan jika ia bukanlah istri Angga. Ia tidak suka jika Angga mengakui jika mereka adalah suami istri. "Saya suami kamu." tutur Angga. "Bukan." balas Gisa. "Iya." balas Angga. "Bukan!" balas Gisa. "Dengar ya, pak! Saya saja tidak kenal sama bapak, bagaimana mungkin bapak bisa jadi suami saya?" jelas Gisa. Tiba-tiba Angga membuka matanya lebar-lebar. Hal itu membuat Gisa terdiam ketakutan. Melihat Gisa yang ketakutan, Anggapun membuang napas gusar dan kembali memejamkan matanya. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Gisa. Lebih tepatnya, bukan untuk saat ini. Setelah beberapa lama, akhirnya genggaman tangan Angga mulai melemah seiring tidurnya semakin lelap. Tanpa membuang kesempatan, dengan sangat amat pelan dan hati hati, Gisa melepaskan genggaman tangan Angga. Setelah berhasil melepaskannya, ia langsung berlari secara perlahan ke luar dari kamar. Saat sampai di depan pintu, Gisa melihat sang bunda bersama seorang wanita yang umurnya kira-kira tidak terlalu jauh dari bundanya. Dengan wajah kebingungan, Gisa mendekati bundanya itu. "Bunda?" panggil Gisa pelan. Seketika kedua wanita itu langsung melihat ke arah Gisa. Tanpa ia duga, wanita yang berada di sebelah bundanya langsung memeluk Gisa dengan erat. "Akhirnya mami bisa ketemu sama kamu." Suaranya yang lembut terdengar jelas di pendengaran Gisa. "Tante, siapa?" Wajah wanita itu terasa sangat asing, tentu saja Gisa merasa kebingungan. "Tante, maminya Angga." jawabnya sambil tersenyum manis. Berbeda dengan Gisa, ia malah mengernyitkan keningnya. Ia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Ia sangat kebingungan. "Bun, ini sebenarnya ada apa? Aku benar-benar nggak paham apa yang sedang terjadi. Aku nggak kenal sama dia, dan kenapa dia tiba-tiba ngaku jadi suami Aku? Sebenarnya ini ada apa?" lirih Gisa kebingungan. "Kamu masih belum tanya detailnya sama Angga?" Jangankan untuk bertanya. Bahkan Gisa tidak percaya setiap apa yang ke luar dari mulu Angga. "Bagaimana mungkin aku tanya sama dia, sedangkan dia bukan suami aku, bun. Apa bunda pikir aku akan percaya?" Gisa tidak habis pikir dengan bundanya. Bagaimana bisa bundanya mempercayakan Gisa kepada orang yang bahkan tidak ia kenal sama sekali? "Sekarang dia suami kamu. Kamu sudah menikah dengan Angga tiga bulan yang lalu." Bundanya mencoba untuk menjelaskan secara sederhana. Tapi bukan itu yang ingin Gisa dengar. Ia menginginkan penjelasan yang lebih detail. "Gimana bisa, bun? Bunda bilang kalau aku koma selama satu bulan. Jika benar dia suami aku, ke mana dia selama dua bulan setelah aku sadar dari koma? Dan lagi, nggak mungkin juga aku menikah sama dia sebelum aku koma. Dokter pun juga nggak pernah bilang jika aku amnesia, kan?" Gisa mencoba menerangkan apa yang ada di pikirannya. Dadanya terasa sesak saat ia mencoba untuk menahan agar air matanya tidak menetes. "Kamu dengerin bunda, dia sekarang sudah menjadi suami sah kamu. Dan masalah detailnya, nanti kita bicarakan bersama-sama." Bundanya mencoba menenangkan Gisa. Bundanya tahu apa yang Gisa rasakan saat ini, tapi ia ingin Angga yang menjelaskan semuanya. "Aku nggak mau." Tidak ingin mendengarkan apa lagi, Gisapun berlalu pergi meninggalkan mereka yang masih terdiam tak tahu harus berbuat apa. Setelah keluar dari mansion Angga, Gisa langsung pulang. Tapi ia tidak pulang ke rumahnya melainkan pulang ke apartemennya. Di apartemen, ponselnya tak henti-henti berdering. Kesal karena ponselnya selalu berdering, ia mematikan ponselnya dengan kasar. Setelah itu, ia langsung membersihkan dirinya dan pergi ke dapur untuk membuat mie instan. Hanya ini yang bisa ia makan malam ini. Tubuhnya terasa sangat malas hanya untuk pergi membeli makanan ke luar apartemennya. ***** Pagi ini, Gisa berangkat ke sekolah menggunakan taxi, karena mobilnya masih berada di sekolah gara-gara sang pemilik baru. Sesampainya di sekolah, Gisa segera menuju ke mejanya dan meminum teh panas untuk menenangkan dirinya. Ia khawatir jika ia akan bertemu dengan Angga lagi yang akan membual tentang pernikahan bodohnya. Setelah beberapa lama, akhirnya bel masuk berbunyi. Gisa langsung masuk ke ruangan kelas sambil membawa beberapa buku dan juga spidol. Selama pelajaran masih berlangsung, Gisa menerangkan beberapa materi kepada murid-muridnya. Tanpa ia sadari, Angga sudah berdiri di depan pintu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Gisa masih belum sadar dengan kehadiran Angga yang sedang menatap ke arahnya. Sampai akhirnya, Gisa terkejut melihat kehadiran Angga yang sedang menatapnya dengan tatapan dingin. Tanpa mempedulikan hal itu, Gisa kembali sibuk menerangkan materi tanpa menghiraukan Angga yang sedang melihatnya. Merasa diabaikan, Angga masuk ke dalam dan duduk di kursi guru sambil melihat ke arah Gisa yang juga sedang menatapnya kesal. Bukan hanya Gisa, bahkan murid-murid juga ikutan bingung melihat kehadiran Angga yang masuk tanpa sepatah katapun itu. Angga masih tetap menatap Gisa tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Gisa yang mulai risih pun menatap Angga tajam. "Bapak ngapain sih di sini? Nggak ada kerjaan, apa?" tanya Gisa kesal. Rasa sopan santun Gisa menghilang jika melihat wajah Angga yang sangat menyebalkan. ia tidak peduli lagi, walaupun Angga adalah pemilik sekolah sekalipun. Ia juga tidak peduli mau Angga memecatnya atau tidak. Semua sama saja. Gisa malah merasa lebih baik jika Angga memecatnya saja. Jika itu terjadi, ada kemungkinan Gisa tidak akan bertemu lagi dengan pria yang menyebalkan itu. "Banyak, tapi saya masih ada urusan sama kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD