3 | Berhenti Menjadi Guru

1389 Words
Sekian lama Angga menunggu Gisa selesai mengajar. Tapi setelah Gisa selesai mengajar, ia malah keluar begitu saja tanpa mempedulikan Angga yang sudah berjam-jam menghabiskan waktu berharganya hanya untuk menunggu Gisa selesai mengajar. Tapi Gisa malah tidak mempedulikan hal itu. Karena merasa kesal diabaikan, Angga menarik tangan Gisa untuk masuk ke dalam ruangannya. Gisa yang tidak bisa melepaskan cekalan tangan Angga hanya bisa mengikutinya. Sesampainya di dalam, Angga mengunci pintunya. Gisa yang mengetahuinya menjadi panik sendiri. Dia berdiri sangat jauh dari Angga. Dia tidak ingin jika kejadian terakhir kali akan terulang lagi untuk kedua kalinya. "Kenapa jauh-jauh? Sini!" Tangan Angga naik turun mengisyaratkan Gisa untuk mendekat ke arahnya. Bukannya mendekat, Gisa malah menatap Angga tajam. Rasa waspada meningkat dua kali lipat jika ia bersama dengan Angga. "Nggak usah, terima kasih. Jadi sekarang bapak ada urusan apa sama saya?" tanya Gisa yang sudah tidak nyaman berada di dalam ruangan itu. Apalagi hanya ada dia dan seorang pria yang menurutnya sangat berbahaya. "Oke, saya to the point saja. Mulai hari ini, kamu nggak boleh mengajar lagi." Angga mengucapkan hal itu tanpa dasar apapun. Tentu saja Gisa merasa terkejut dan tidak terima dengan ucapan Angga. "Maksud bapak apa, ya?" Gisa ingin mengetahui apa maskud Angga mengeluarkannya dari sekolah. "Saya tahu kamu pasti paham dengan ucapan saya." Tidak ingin menjelaskannya lebih lanjut, ia hanya menyuruh Gisa memahami apa yang ia ucapkan. "Kenapa saya harus turuti omongan bapak? Saya tahu bapak adalah pemilik sekolah ini, tapi bapak nggak boleh seenaknya begitu. Saya nggak pernah berbuat kesalahan sampai saya harus berhenti mengajar." ujar Gisa mulai kesal. Padahal sebelumnya ia berpikir ia lebih baik dipecat. Tapi sekarang Gisa tidak ingin dipecat karena ia mengingat usahanya selama ini. Ia juga tidak ingin menuruti perintah Angga begitu saja. "Sebagai seorang suami, saya nggak akan membiarkan istri saya bekerja terlalu jauh dari saya. Kalau kamu memang tidak ingin berhenti bekerja, setelah ini kamu boleh bekerja di perusahaan saya, kamu juga bisa langsung jadi sektretaris saya." terang Angga seenaknya. "Bapak bukan suami saya! Dan yang terpenting, saya nggak akan berhenti mengajar." ujar Gisa dan berjalan menuju pintu. Saat membuka pintu, ternyata pintunya masih dikunci. Gisa menatap tajam ke arah Angga. Bukannya takut, Angga malah tersenyum senang. Gisa semakin kesal melihat senyuman Angga yang sangat menjengkelkan. "Buka pintunya!" perintah Gisa dingin. "Kalau begitu, sini ambil kuncinya." jawab Angga sambil meletakkan kunci pintu di atas pahanya. Gisa menatap Angga dengan tatapan jijik. Bagaiman bisa Angga melakukan hal memalukan begitu? Angga terlihat sebagai pria m***m di matanya. "Apa bapak nggak bisa lempar saja kuncinya ke saya?" tanya Gisa mulai kesal. "Mm ... Tidak!" Dengan rasa kesal, Gisa mendekat sambil menutup bibirnya. Perlahan, tangannya mengambil kunci tanpa menyentuh paha Angga sedikitpun. Saat Gisa membalikkan badannya, Angga menarik pinggang Gisa sehingga ia terduduk tepat di atas paha Angga. Gisa yang terkejutpun berusaha melepaskan diri. Deg ... jantungnya berdetak kencang, bulu kuduknya merinding, dan badannya terasa panas seketika saat Angga menyingkirkan rambut Gisa dan menciumi tengkuknya dengan lembut. Hembusan napas terasa jelas mengenai tengkuknya. "A ... apa yang bapak lakukan? Lepas!" Sadar apa yang terjadi, ia berusaha berontak untuk melepaskan diri. "Nikmati saja." bisik Angga di sela-sela ciumannya. Bahkan Angga meninggalkan bekas kemerahan di bagian leher Gisa. "I ... ini, nggak benar, pak. Tolong lepasin saya." Dengan suara bergetar, Gisa meminta agar Angga segera melepaskannya. "Kita suami istri, Gisa. Ini kegiatan normal dilakukan sepasang suami istri." jawab Angga tanpa berhenti menciumi leher, tengkuk dan bahu Gisa secara bergantian. Saat tangan Angga mulai masuk ke dalam baju dan perlahan hendak naik ke atas, Suara tangis Gisa pun langsung pecah. Angga yang tidak tegapun berhenti melakukan kegiatannya. Dia memeluk Gisa dari belakang dan membenamkan wajahnya di tengkuk Gisa. Angga menghirup aroma tubuh Gisa dalam-dalam. "Sudah, jangan nangis. Aku, minta maaf." Sadar jika apa yang ia lakukan salah, ia segera meminta maaf. "To ... tolong lepasin saya." pinta Gisa. Tubuhnya bergetar. Ini pertama kali Gisa merasa perasaan tidak enak seperti saat ini. Tanpa banyak alasan lagi, Angga langsung melepaskannya dan membiarkan Gisa pergi . Saat baru saja keluar dari ruangan, Angga langsung mengejar Gisa dan menggendongnya ala bridal style menuju mobilnya diparkirkan. Banyak guru-guru dan murid-murid melihat ke arah mereka. Hingga di tengah jalan, ada seorang guru memberhentikan langkah Angga. Angga menatapnya dengan tatapan kesal. "Maaf sebelumnya jika saya lancang, pak. Apa bapak bisa menurunkan, buk Gisa? Dia terlihat tidak nyaman diperlakukan seperti itu." ujarnya. Angga menatapnya tajam. Ia tidak suka orang lain ikut campur urusannya. "Apa urusannya denganmu?" tanya Angga kesal. "Ya?" Dia pun tidak tahu harus menjawab apa. Ia menegur Angga hanya karena ia tidak suka melihat Gisa diperlakukan seenaknya oleh pria lain. Ada perasaan terganggu melihat kontak fisik yang Angga lakukan. "Tolong saya, pak." pinta Gisa. Angga pun langsung menatap Gisa tajam dan memasukkannya ke dalam mobil dan menguncinya. "Sebenarnya ada urusan apa bapak dengan, buk Gisa?" Guru itu bertanya karena ia penasaran apa hubungan Gisa dan Angga. Ia juga tidak suka melihat Gisa diperlakukan tidak sopan oleh orang lain. "Itu bukan urusanmu. Dan lagi dia istri saya, jadi terserah saya mau berbuat apa." jawab Angga dan masuk ke dalam mobil. Mengetahui kenyataan itu, guru itupun terdiam tak percaya dengan apa yang dia dengar. Saat Angga baru memasuki mobilnya, Gisa menatapnya tajam. "Turunkan saya." pinta Gisa dengan mata berkaca-kaca. Angga hanya diam dan melajukan mobilnya keluar dari perkarangan sekolah. Gisa tak tahu dia akan dibawa ke mana. Dia hanya bisa diam melihat keluar jendela saat Angga tidak pernah mengubris ucapannya. Tak lama kemudian, Angga memberhentikan mobilnya di sebuah perusahaan. Dia menarik tangan Gisa untuk masuk ke dalam. Sesampainya di ruangan Angga, ada seorang wanita yang menghampiri mereka dengan lipstick merah merona, baju ketat dan bedak tebal. Dari penampilannya saja, siapapun pasti berpikir jika wanita itu adalah tipe w*************a. Tapi Gisa tidak mempedulikannya dan duduk di sofa yang berada di sana. Gisa memainkan ponselnya dengan perasaan yang sangat kesal dan marah. Dia sesekali menatap Angga dan wanita itu dengan tatapan jijik. Hingga tatapan Gisa bertemu dengan wanita itu. Tatapan yang ia berikan memencarkan ketidak sukaannya. Gisa pun juga menatap wanita itu dengan tatapan jijik. Sedangkan Angga terlihat sibuk dengan berkas-berkas yang berada di hadapannya. Dan wanita itu sedang menunggu berkas-berkas itu selesai ditandatangani. Hingga Gisa terkejut tak percaya saat wanita itu menghampiri Angga dan menyandar di meja menghadap Angga. Angga pun menatapnya sambil tersenyum. Sedangkan Gisa menatapnya dengan tatapan jijik tak percaya apa yang sedang ia lihat. Gisapun berfikir jika ia tidak mungkin memiliki seorang suami yang suka mempermainkan wanita. Saat wanita itu sedang berusaha menggoda Angga, tiba-tiba Angga berdiri dan memberikan berkas yang telah selesai ditanda tangani dan menyuruh wanita itu untuk segera keluar. Wanita itu terlihat kesal dan menatap tajam ke arah Gisa. Sedangkan Gisa tidak mempedulikannya. "Permisi, saya harus pulang sekarang." ujar Gisa dan hendak keluar dari sana. Tapi Angga mencekal pergelangan tangannya. "Nanti saja sekalian." ujar Angga dan menarik Gisa untuk kembali duduk di sofa. Angga pun ikutan duduk dan menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menutup matanya. Tetapi tangannya masih tetap menggenggam tangan Gisa dengan erat. "Sebenarnya bapak ngapain sih bawa saya ke sini?" "Memangnya kamu mau ke mana kalau nggak aku bawa ke sini?" tanya Angga tanpa membuka matanya. "Sekolah." jawab Gisa singkat. "Kamu nggak bisa mengajar lagi. Aku sudah membicarakan hal ini dengan kepala sekolah." Apa yang Angga lakukan, itu membuat Gisa tak habis pikir. Padahal mereka baru bertemu beberapa hari, dan Angga sudah melakukan hal seenaknya sendiri. "Kenapa? Sebenarnya mau bapak apa?" Gisa masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya Angga incar darinya. "Saya mau kamu temani saya di sini." jawab Angga santai tanpa memikirkan pendapat dari Gisa. "Memang bapak siapa harus saya temani?" "Suami kamu." jawab Angga dan merebahkan tubuhnya ke arah Gisa sehingga ia menjadikan paha Gisa sebagai bantalnya. Gisa berusaha berdiri tetapi Angga menahannya dengan cara memeluk pinggang Gisa erat. "Sebentar saja. 5 menit." pintanya. Gisa pun membuang napas gusar dan membiarkan Angga menjadikan pahanya sebagai bantalnya. Walaupun itu sangat membuat Gisa tidak nyaman, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Rasanya ia tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah berhadapan dengan Angga. Itu hal yang membuatnya semakin merasa kesal. Ia kesal dengan dirinya yang seperti pengecut dan naif. Padahal ia selalu menentang apa yang tidak ia sukai. Tapi di hadapan Angga, mau tidak mau, suka tidak suka, seakan-akan semuanya harus ia lakukan. Baik itu dengan ikhlas mau pun terpaksa dan dipaksa. Sungguh menyedihkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD