2. Pertemuan

1300 Words
"Hai, sayang, ayo kita pulang." Seorang wanita anggun berhijab tiba-tiba datang menghampiri anak kecil yang sedang asyik bercerita kepada seorang wanita dewasa yang tengah duduk di sampingnya itu. Wanita yang sedang bersama anak kecil tadi mendongak ketika akhirnya yang menjemput anak itu adalah seorang wanita. Bukan seperti apa yang anak itu katakan tadi. Bukan berarti juga dia berharap akan berkenalan pada ayah anak itu yang menurut cerita adalah seorang duda. Tapi seperti yang anak itu katakan, bahwa ayahnya yang akan datang mencari dirinya. "... Di mana Ayah aku, Tante Moza?" dia bertanya dengan sedikit bernada protes mengapa bukan ayahnya yang datang menjemput. "Ayah sedang ada urusan bersama dengan teman kerjanya dan harus pergi lebih dulu untuk urusan pekerjaan." Moza menatap wanita yang duduk di samping keponakannya, kini dia sedang tersenyum ramah. "Kamu pasti merepotkan Tante ini, ya?" tanya Moza, sambil balas tersenyum. "Tante ini yang menjaga aku sampai Ayah datang, tapi ternyata Tante Moza yang datang, bukan Ayah," kesal Val. "Bukannya memang sejak tiba di sini Ayah sudah menitipkan kamu ke Tante Za, sayang?" Moza mengingatkan Val yang sedikit merajuk. "Iya. Tapi aku harap..., ah sudahlah, sekarang udah nggak penting!" Val cemberut lalu turun dari kursi dibantu tantenya. Wanita asing tadi sibuk merapikan gaun Val yang sedikit terangkat. "Terima kasih ya, sudah menjaga keponakan aku," ucap Moza dengan senyum ramah. "Ah, jangan sungkan gitu, dia sangat manis dan pintar, aku jadi punya teman mengobrol." Dia kembali tersenyum kepada Moza lalu beralih juga kepada Val. "Tante, kasih aku satu kecupan agar Tante kangen aku dan kita akan ketemu lagi secepatnya." Tangan mungil Val memeluk pinggul wanita itu semampunya. "Oke, baiklah anak manis berikan pipimu." Dia mencium kedua pipi cabi Val. "Dan yang ini juga," lalu menambahkan di keningnya juga. "Terima kasih Tante cantik dan baik, aku sayang banget deh, sama Tante cantik." "Terima kasih sayang sudah nemenin Tante duduk. Semoga kita bisa bertemu lagi," ucap tante cantik dan baik itu, lalu Kevin datang dengan penuh semangat seperti berharap hendak dicium juga oleh si tante baik tadi. "Kalau yang ganteng ini anak aku, namanya Kevin." Moza memperkenalkan anak laki-lakinya yang seusia Val. "Hai Kevin," dia menyapa dengan sangat ramah dan hangat pada kevin yang memamerkan semua gigi susunya. "Tante cantik dan baik. Benar, Val?" Kevin berkata pada Val yang kemudian mengangguk excited. Wanita cantik dan baik itu mengacak rambut Kev yang membuatnya merapikan kembali rambutnya yang bergelombang dengan gaya cool. "Pamit pada Tante," pinta Moza. Membuat kedua anak kecil itu mencium tangan si wanita yang hingga sekarang tak mereka ketahui siapa namanya. "Bye...bye..., Tante cantik dan baik!" ucap mereka berdua secara bersamaan. "Bye sayang... see you!" tante cantik itu menggeleng sambil senyum lalu merasa harus segera pulang karena sudah tidak nyaman dengan bagian gaunnya yang basah. Parahnya lagi noda yang membasahinya itu berada di bagian b****g. Itu sangat tidak nyaman dan akan menjadi pusat perhatian. Tapi dia selalu punya cara untuk bersikap tenang, dia berjalan santai saja hingga tak membuat orang lain penasaran meski tetap saja ada beberapa pasang mata mengarah padanya. Melangkahkan kaki dengan anggun dan santai seolah tak terjadi apa pun di balik tubuhnya tersebut. Dia pulang dan tidak peduli lagi pada Karenina Wijayanti sahabat dan teman kantornya yang tadi datang bersamanya namun lalu dia menghilang bersama pacarnya. Sampai di apartemennya, ketika ia sedang mencuci gaunnya yang cukup mahal dan mungkin akan rusak jika tidak segera dicuci, ia tersenyum membayangkan anak manis di pesta tadi. "Namanya Valery. Valery apa ya, aku lupa nanya," sesalnya, menggigit bibir. "Hm, lucu juga anak itu." Zoya tertawa kecil ketika ia membayangkan tingkah Val yang ceriwis, polos dan lucu. Tapi lalu kemudian perlahan tawa dan senyum Zoya terhapus, dan kini berubah menjadi satu rasa penasaran. Dia merasakan sesuatu ketika mengingat tatapan anak kecil tadi. Lingkar hitam kecil di dalam tatap matanya yang tajam itu--tak asing baginya. Zoya merasa mengenali tatapan tajam itu. Tapi milik siapa? Bukankah ia tidak pernah melihat dan bertatap mata dengan anak cecil itu sebelumnya. Zoya menggeleng cepat, menepis pemikiran yang membuatnya cukup pusing karena merasa sangat penasaran. Setelah selesai mencuci gaunnya ia duduk bersantai di sofa dengan berselonjor kaki di meja sambil menonton tivi. Pintu apartemennya dibuka, ia sudah tahu siapa yang datang karena hanya satu orang tersebut yang punya akses untuk keluar masuk dengan bebas ke apartemen miliknya. "Maaf ya Say, kamu jadi pulang sendiri." Karenina Wijayanti atau biasa disapa Karin datang sudah dengan pakaian rumahnya. "Gue juga yang bawa mobil bukan elo,yang penting gue bisa pulang, kan. Ke mana lo sama Ardi lo itu?" todong Zoya. "Gue, diajakin satu meja dengan keluarganya Al Rasyid. Ya, bingung dong gimana caranya balik ke elo." Karin mengempas duduk miring menghadap Zoya dengan satu tangan menopang kepalanya. "Ya udahlah, jadi ikut seneng gue sahabat gue duduk satu meja dengan keluarga Al Rasyid. Terus gimana?" Zoya yang menopang dagu manisnya menoleh dan meninggikan alisnya ke arah Karin. Karin menggedikkan bahu. "Nggak ada gimana-gimana, sih. Obrolan santai biasa, tapi seenggaknya udah lebih kenal dengan orang tua dia." Karin merebut remot TV dari tangan Zoya kemudian mencari cannel kesukaannya. "Oke, bagus dong kalau gitu. Dan tinggal nunggu kapan dia ngajakin lo makan malam keluarga di rumah keluarga Al Rasyid. Cie, yang udah ngarep," Zoya menggodanya karin dengan mencubit dagunya. "Apaan, sih!" Karin menepis tangan Zoya dari dagunya. "Terus elo sendiri gimana? Gue berharap sih ada pangeran tampan yang duduk di samping seorang Zoya Aidan Habsyi jomblo sejati yang duduk sendiri di tengah meriahnya pesta pernikahan. Tamu-tamu di pesta itu bukan orang sembarangan loh, semuanya adalah orang-orang dari keluarga bergengsi. Sayang banget meja kita terlalu jauh gue jadi nggak bisa merhatiin elo. Eh tapi gue yakin sih, pasti banyak yang memusatkan perhatiannya ke elo. Cewek cantik, anggun, mempesona, duduk sendiri, pastilah banyak pria-pria yang penasaran." Karin terus berceloteh panjang lebar dengan tingkahnya. "Gue, akhirnya ditemenin seseorang yang manis dan lucu." "Cowok?" "Cewek." "Ya!" "Anak kecil." "Anak kecil? Anak siapa? bapaknya keren, nggak?" "Mana gue tau..., liat tampang bapaknya aja kagak!" kesal Zoya. "Seandainya bapaknya cakepan gimana?" Karin seenaknya memainkan sepasang alisnya dengan gerakan naik turun sengaja untuk menggoda Zoya. Zoya memukul wajah Karin dengan bantal kursi. "Bodok amat! Udah ah, gue mau mandi dulu. Mending lo masak deh, buat makan malem kita ntar." "Oke, gue masak sekarang biar lo puas!" Karin membanting remot ke sofa. "Lagian tuh acara tivi nggak ada yang seru amat ya!" kesalnya sembari menuju dapur untuk bersiap memasak sesuai perintah Zoya. Karin mengikat rambutnya kemudian membuka kulkas. Melihat keadaan kulkas membuat Karin murka. "Zoya..., elo males banget sih belanja! Masak apa gue kalo nasib kulkas elo sama kayak hati lo yang kosong dan hampa?!" Zoya tertawa tanpa suara dari dalam kamar mandi. "Masak aja dengan apa yang ada, yang penting nggak buat gue mati. Malem ini kita belanja." "Gue harap ada tikus yang lewat, biar gue masakin tikus geprek buat lo!" "Bacot lo kunti!" teriak Zoya yang menahan tawanya kemudian ia menyalakan shower hingga yang terdengar hanya suara gemericik air yang berjatuhan di lantai kamar mandi. Mengingat sorot mata gadis kecil di pesta tadi, entah mengapa menyiratkan akan sorot mata seseorang yang ia sangat kenali. Dan hal itu pun juga membuatnya menjadi penasaran mengenai siapa ayah dari anak itu? "Ah, tidak mungkin!" ia baru saja menyangkal dari dugaannya sendiri. ____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD