3. Pertengkaran Ayah dan Anak

1204 Words
Seorang gadis kecil dengan rambut hitam panjang dan gaun yang indah untuk anak seusia dan secantik dirinya, terlihat sedang melepaskan tangannya dari cengkraman tangan besar seorang laki-laki dewasa yang mungkin seusia dengan ayahnya. "Kamu bukan Ayah aku!" dia berteriak dan membuat semua mata memandang tanya padanya. "Pergi jangan sentuh aku!" dia kembali berteriak dan mengelakkan tangannya dengan kasar. "Aku nggak punya Ayah yang sangat pemarah seperti serigala !" sekali lagi dia memperingatkan laki-laki dewasa tadi yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang di sana. Laki-laki dewasa tadi mengitari pandangan matanya karena tiba-tiba ia merasa seperti seorang penculik anak kecil yang sebentar lagi akan dihakimi. "Kamu bukan Ayah aku, plis jangan sentuh aku..., aku mau pulang!" Si anak perempuan itu lalu memukuli perut seorang laki-laki dewasa tersebut yang kini menahan tangan kecil itu kemudian memejamkan matanya seperti sedang mengendalikan emosinya untuk tidak meledak. Seorang wanita yang merasa mengenali wajah anak perempuan itu ingin menyelamatkan dia dari laki-laki dewasa tersebut. "Hei!" teriak wanita itu, ia lalu melangkah dengan terburu-buru dan segera memisahkan tangan si pria dari tangan kecil anak itu, membiarkan anak kecil itu setengah memeluknya. "Apa kamu sudah gila tega-teganya memarahi seorang anak kecil? Apa kesalahannya? Apa dia menumpahkan sesuatu di jas mahal kamu? Atau...," wanita tadi melirik sepatu laki-laki itu, "dia sudah menginjak sepatu mahal kamu? Atau apa, ha?" dia tampak sangat jengah. "..." "Tenang sayang, kamu aman sekarang ada Tante di sini," si anak kecil itu menganggukkan kepala sambil terus menatap laki-laki yang saat ini sedang menancapkan tatapan padanya seolah hendak menelannya hidup-hidup. Laki-laki tadi kemudian mengalihkan tatapan tajamnya pada wanita yang sedang berusaha melindungi gadis kecil itu. "Kamu pikir aku siapa? Dan kamu itu siapa?" suaranya terdengar seperti letusan gunung yang telah lama tertidur. "Aku? Aku hanya tidak suka melihat anak-anak dimarahi dengan alasan apa pun, apalagi jika dimarahi dengan orang asing seperti kamu." Wanita yang merasa pernah sangat mengenal laki-laki tersebut mulai mengambil kesempatan untuk mengatakan sesuatu, "kamu sejak dulu sampai sekarang masih sangat pemarah! Bahkan sekali pun itu pada seorang anak kecil. Bagaimana kalau tadi orang tua dari anak ini melihat kamu sedang memarahinya?" wanita itu menggeleng skeptis, "laki-laki seperti kamu ini memang tidak akan pernah memiliki perasaan seorang ayah!" Laki-laki itu menggelengkan kepala tak mengerti. "Aku berhak untuk marah padanya karena dia itu adalah..." "Sayang, di mana tante kamu sekarang?" tanya wanita itu tanpa menghiraukan kata-kata laki-laki di hadapannya yang sedang sangat kesal. "Tante aku sekarang pasti ada di rumahnya." "Kalau begitu ada di mana ayah kamu sekarang, sayang?" "Aku Ayahnya!" katanya dengan perasaan puas bisa menyampaikan apa yang telah ia tahan sejak tadi. Wanita itu terkejut, tapi lalu menunduk menatap anak kecil di bawahnya. "Apa itu benar sayang?" Si gadis kecil tadi menggeleng. "No, aku nggak punya Ayah yang sangat pemarah seperti dia. Aku ingin Ayah yang sangat mengerti aku." "Valery..." "Tante tolong aku," rengek Val sebelum pria itu benar-benar memarahinya di hadapan tante cantik dan baik itu, "ayo antarkan aku pada Tante Moza sekarang juga." "Oke sayang, ayo." Dia menggandeng anak itu lalu menatap pria tadi dan berkata, "kita memang harus cepat pergi sebelum ada yang berubah menjadi srigala." "Hei!" Wanita itu tak mendengarkannya karena anak kecil di sampingnya menggenggam tangannya dengan sangat erat. "Mau kau bawa ke mana anak nakal itu? Val Ayah akan membalas semua ini setelah kita sampai di rumah." Nggak mungkin si pemarah itu punya anak. Abi? Abrisam Zaidan Faeyza, punya anak? Mana mungkin! Ia terus menggerutu sepanjang langkahnya menyelamatkan anak perempuan itu. Laki-laki itu, yang disebut sebagai Abrisam Zaidan Faeyza oleh wanita tadi benar-benar hanya bisa merelakan dia membawa anak perempuan itu pergi dengan mobilnya. Dan pria itu yang mengaku ayah dari anak itu tentu saja membuntutinya. Dia pun sudah tahu ke mana tujuan mereka, rumah Moza, adik iparnya. ___ Berhenti di sebuah rumah mewah, wanita itu membantu Val turun dari mobil. "Tante Za...," dia berlari ke halaman, memeluk wanita cantik dengan hijab biru muda itu. "Hei sayang?" Moza baru saja keluar dari dalam mobilnya ketika Val berlari ke pelukannya. Kemudian ia menatap wanita yang baru saja mengantarkan keponakannya. "Kamu merepotkan Tante baik lagi? Kalian bertemu di mana?" Moza tampak penasaran mengapa keponakannya bisa ada bersama Zoya. "Aku melihatnya sedang dimarahi oleh seorang pria, ya sudah tentu aku segera menyelamatkannya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Lalu mm..." "Valery," Moza menjelaskan. "Ya, Valery meminta aku mengantar ke sini. Aku juga tidak melihat dia bersama ayahnya." "Apa maksud kamu dengan mengatakan, tidak melihat dia bersama ayahnya?" dia, Abrisam Zaidan Faeyza berjalan ke arah wanita itu. "Sudah aku katakan padamu bahwa aku Ayahnya. Dan kamu ... jangan pernah mengajari putriku untuk meninggalkan aku seperti kamu--" Moza mencoba mencari arti dari kata-kata kakak iparnya. Wanita itu memejamkan matanya lalu pergi tanpa penjelasan. "Zoya Aidan! Zoya Aidan Habsyi!" teriaknya dengan rahang yang semakin mengeras. Ia masih sangat mengenal nama lengkap wanita itu. Akan selalu mengingat. "Urusan kita belum selesai!" ia mengejar wanita itu yang ia yakini sebagai Zoya Aidan Habsyi. Satu-satunya wanita yang telah berani meninggalkannya. Val menarik tangan Moza untuk bicara. "Tante, apa yang akan ayah lakukan padanya? Ayah sangat kesal dan marah pada tante cantik itu pasti karena aku." Moza membungkukkan punggung untuk dapat menatap mata Val lebih dekat lagi. "Tidak sayang, bukan karena kamu ayah marah pada tante itu. Mereka punya urusan sendiri--urusan orang gede. Dan semoga mereka bisa segera menyelesaikannya." Moza yakin, dari perkataan kakak iparnya tadi, bahwa wanita itu adalah wanita yang pernah dibicarakan kakaknya, Marwa sebelum meninggal. "Ayo kita masuk, Kev pasti akan senang melihat kamu di sini Val." Kev berlari begitu melihat Val, "Val..., ayo cepat masuk, Papi aku beli ikan Koi banyak, warnanya bagus-bagus deh!" "Mana aku mau liat." Moza hanya tersenyum melihat mereka berdua berlari. Kemudian ia duduk termenung di sofa, mengingat semua kata-kata Marwa. ... Sam dalam keadaan terluka dan hancur karena ditinggalkan ketika aku menemukannya. Entah bagaimana nanti setelah aku benar meninggal--meninggalkan dia selamanya... Moza teringat kata-kata almarhumah kakaknya tak lama sebelum meninggal dua tahun yang lalu. Marwa selalu tahu bagaimana cara menjaga perasaannya dan juga perasaan orang lain. Dia tahu bagaimana sulitnya Abrisam melupakan mantan kekasihnya itu dan memilih untuk mengalah dengan membiarkan, mengikhlaskan suaminya tetap menyimpan seluruh tentang Zoya. Bahkan ia ikut mengenal Zoya lewat Abrisam suaminya. Abrisam sangat kacau, karena tak mampu menyingkirkan Zoya sama sekali di hidupnya. Marwa dapat melihat dan merasakan semua itu. Lalu Marwa dengan besar hati melakukan semua yang bisa membuat Zoya tetap ada, demi ketenangan suaminya. ... Terkadang memang benar adanya, bahwa cinta tidak harus memiliki. ... Terkadang cinta hanya perlu memberi. ... Terkadang... cinta hanya butuh ketulusan untuk mengikhlaskan. ____ ___ __ _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD