Prolog
Menikah pada prinsipnya adalah menjalin sebuah hubungan antara dua orang yang saling mencintai dan saling memiliki. Setidaknya itulah yang selama ini Laura pikirkan. Seumur hidupnya yang amat berat, ia hanya berharap menikah dengan orang yang ia cintai dan mencintainya kemudian hidup bahagia dengan anak-anak mereka. Akan tetapi pada kenyataannya menikah adalah sebuah takdir, rencana Tuhan yang terkadang tidak pernah bisa kita prediksi.
Laura pernah memiliki target menikah di usia dua puluh lima tahun, tapi sampai detik ini di usianya yang menginjak tiga puluh tahun ia belum juga menikah. Jangankan menikah, memiliki pasanganpun tidak sama sekali. Hidupnya terlalu sibuk untuk bekerja, hari-harinya sibuk dengan berbagai dokumen, tanpa sempat memikirkan pasangan ataupun mencarinya.
Laura pernah jatuh cinta? Ya ... pernah. Satu kali. Pada seorang temannya semasa kuliah, Dafi. Lelaki yang awalnya begitu baik padanya kemudian mendadak menghindarinya tanpa ada alasan yang jelas. Lelaki yang benar-benar menumbuhkan kesan dalam hatinya, yang membuatnya lupa cara mencintai lelaki lainnya. Sampai ...
“Pa! Kenapa Papa gak bilang kalo Papa mau jodohin Laura kayak gini? Papa gak bisa seenaknya ngatur Laura. Laura sudah besar! Laura bisa memilih pasangan Laura sendiri!”
“Lalu apa maumu? Menikah dengan orang yang kamu cintai Laura? Siapa?! Jika memang kamu punya ... bawa kemari! Bawa lelaki itu kehadapan Papa!” seru sang ayah lagi.
Sayangnya Laura tidak memiliki siapapun untuk ia bawa kehadapan sang Ayah. Ia tidak memiliki pasangan, ia tidak memiliki seseorang yang sedang ia cintai. Ia hanya ... memiliki perasaan yang tertinggal untuk Dafi, yang saat ini entah berada dimana.
Laura putus asa, ia tak pernah berpikir akan meninggalkan rumah seperti ini setelah perdebatannya dengan sang ayah. Di tengah kekalutan, takdir mengeluarkan kekuasaannya. Kekuatan takdir seolah menjawab semua penantiannya. Takdir ternyata mampu mempertemukannya kembali dengan Dafi dalam sebuah ketidak sengajaan, dalam keadaan terburuk dalam hidupnya.
Sampai sebuah insiden lain membuat keyakinan dalam hati Laura kembali muncul. Satu ide gila mulai merangsang dirinya untuk bertaruh antara mendapatkan kesempatan dari Dafi atau kehilangan lelaki itu lagi.
“Kenapa Ra?”
“Lo masih butuh modal buat ngembangin bengkel lo gak Daf?”
Dafi terkekeh kecil. “Bukan butuh lagi, masih banyak. Kalo lo ada kerjaan part time boleh juga.”
Laura menatap Dafi dengan tatapan sendu. “Ada.”
“Apa?”
“Jadi suami gue Daf, gue bisa kasih lo duit berapapun yang penting lo jadi suami gue.”
Pergolakan terjadi, yang Laura hadapi ternyata tak semudah membalikan telapak tangan. Harapannya dengan pernikahan itu Laura bisa meluluhkan hati Dafi agar bisa membalas cintanya, ternyata yang terjadi Dafi tak membuatnya mudah. Hingga sampai dititik dimana Dafi kembali untuk memberikan jawaban.
“Oke. Gue setuju, dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Lo bilang akan kasih gue komisi, apapun kan?"
"Gue mau anak dari lo sebagai komisi yang gue dapat.”
.
.
.
Bagaimanakah perjalanan lengkap kisah mereka berdua? Akankah sesuatu yang di awali dengan hal yang buruk berakhir dengan baik?
