BAB 2. Terpaksa Menyetujui Pernikahan

1521 Words
Sejak Sarah mendatangiku tujuh tahun lalu dan memintaku menjauhi Regarta, aku benar-benar menjauhi laki-laki itu dan menganggap hubungan kami telah selesai. Aku berusaha melupakannya dengan susah payah. Entah berapa ribu malam yang aku lewati dengan tangisan karena sangat merindukannya. Bahkan seharusnya hanya empat tahun aku di Paris, aku lanjut tiga tahun lagi dan menjadi tujuh tahun demi benar-benar bisa melupakannya. Usahaku tidak main-main, rasanya bahkan sudah mau gila karena sulit sekali melepaskan orang yang hampir seumur hidup aku cintai itu. Tapi takdir macam apa ini? Setelah usaha penuh luka itu, sekarang aku justru terpaksa harus menikah dengannya karena Nenek Marina kena tipu dan perusahannya yang baru seminggu ini aku masuki sebagai pijakan pertamaku berkarier, terancam bangkrut. “Saya akan bantu perusahaan Nenek kamu, tapi syaratnya kamu harus menikah dengan Regarta.” Ucapan Ayah Adrian dengan nada tegas ini, seketika membuat aku lemas. Aku tidak ingin menikah dengan Regarta. Dan berurusan dengannya adalah hal yang paling ingin aku hindari. "Yah, aku nggak mau nikah sama dia, aku sudah punya pacar." Penolakan dan kenyataan bahwa Regarta memiliki pacar, semakin memberatkan keputusan yang hendak aku ambil. Aku masih ingat seberapa menyebalkannya Sarah ketika menemuiku tujuh tahun lalu. Dan lagi pula, aku juga tidak mau merebut milik orang lain. Tapi melihat Nenek sampai masuk Rumah Sakit dan terlihat berharap sekali pada keputusanku, aku akhirnya setuju. Menikah dengan Regarta tentu saja sudah menjadi mimpi buruk karena aku paling tahu seberapa menyebalkannya dia saat sudah menjadi mantan, tapi menjadi bawahannya di kantor jauh lebih menyebalkan. Hari pertama dia menjajah kantorku, Renald sudah langsung di pindahkan ke perusahaan miliknya yang lain. Renald awalnya menolak, tapi entah apa yang iblis itu lakukan. Tiba-tiba saja Renald berpamitan dengan riang gembira seolah dia baru saja dapat undian satu milyar. Aku yakin Regarta ingin aku menderita sehingga dia memindahkan Renald yang banyak membantuku belajar dalam bidang ini. “Ganti!” ucapnya meyebalkan sambil melempar desain produk yang dengan susah payah aku buat. Sebentar lagi kami akan menghadapi musim panas, karena itu tema produk terbaru kita ke depannya adalah jenis-jenis baju musim panas yang trendi. Tapi sudah lebih dari lima kali, desainku di tolak dengan kejam olehnya. “Bapak maunya desain yang seperti apa sih pak? Atau jangan-jangan bapak tidak mengerti tentang Desain dan sok-sokan duduk di situ cuma buat bikin saya kesal?” Tanyaku jengkel. Dia langsung memusatkan perhatiannya padaku kemudian tersenyum mengejek. “Kamu jangan menghina saya yah, perusahaan ini perlu bayak perhatian karena itu saya duduk di sini. Sudah di tolong, malah nggak tahu terima kasih.” Balasnya sombong. “Tunggu apa lagi? Sana perbaiki!” ucapnya lagi. Aku mengambil berkas di hadapannya dengan jengkel kemudian melangkah pergi dari ruangannya sambil menghentakkan kaki. “Salah lagi mbak Wen?” bisik Jason. Salah satu bagian Marketing di perusahaan ini. Saat ini aku sedang di Pantry untuk membuat kopi. Setidaknya aku harus meredakan kesal dan stressku agar desainku bisa segera aku selesaiakn. Malas juga terus-terusan bertemu Iblis itu. “Iya, emang dakjal itu atasan.” Balasku mengundang kikikan Jason. Kami cukup dekat karena dia adalah anak dari sahabat Nenek yang waktu kecil cukup sering bermain denganku. “Mungkin beliau mau desain baju musim panas yang beda kali mbak. Masukin gaya klasik ciri khas mbak Wendy aja, siapa tahu di terima.” Ucap Jason memberi saran. Aku mengernyitkan dahiku kemudian tersenyum lebar karena mendapatkan ide dari saran yang Jason berikan. “Makasih sarannya Jas-jas.” Balasku senang sambil mengacak rambutnya. Seperti caraku memperlakukannya dulu. Jason ini memang dua tahun lebih muda dariku. Dan dulu, dia sangat menggemaskan. Aku hendak keluar dari Pantry sambil membawa kopi, tapi langkahku terhenti melihat si iblis itu sedang berdiri di depan pintu dengan arogan. Menatap ke arahku dengan ekspresi yang kesal, ke dua tangannya dia masukkan ke saku celana dan matanya menatapku tajam seolah di sana ada laser yang akan langsung melubangi wajahku. Jason yang sadar akan hal itu langsung mengangguk hormat kemudian melipir keluar cepat-cepat. “Pacar kamu?” tanyanya dengan nada mengejek seolah dia sedang memberi tahuku tanpa tersirat bahwa aku baru saja memilih penggantinya yang jauh di bawah levelnya. Aku paling benci orang yang suka merendahkan orang lain seperti dia, dan apesnya aku harus menikah dengannya. “Bukan urusan anda.” Jawabku kesal. “Belikan saya kopi.” Perintahnya menghentikkan langkahku yang hendak keluar dari ruangan ini. Aku paham apa arti membelikan kopi yang dia katakan. Di hari pertama dia kerja saat itu, aku harus bolak-balik sepuluh kali untuk membelikan iblis ini kopi sebab rasa yang dia inginkan tidak kunjung di temukan. Aku kesal sekali. “Kerjaan saya banyak pak, belum lagi harus revisi karena desainnya nggak sesuai selera bapak. Saya kan sudah bilang, silahkan suruh OB saja. Mau saya panggilkan?” balasku berusaha tetap sopan. “Pak Parman sedang melakukan tugasnya jadi saya tidak ingin mengganggunya, kamu saja yang pergi! Saya mau yang ada sedikit machanya.” “Loh, bapak pikir saya nggak ada kerjaan juga? Kerjaan saya masih banyak pak!” protesku keras. “Jangan membantah calon suami Wendy! Durhaka nanti kamu. Lagian kerjaan kamu bisa kamu selesaikan saat lembur bareng saya nanti.” Balasnya menyebalkan sambil melemparkan dompetnya padaku. “Loh, saya nggak ada lembur loh pak.” “Ada, barusan saya adain kan? Saya tunggu lima belas menit kopinya.” Balasnya seenaknya sambil melangkah kembali ke ruangannya setelah tersenyum manis ke arahku. Senyuman manis yang mengandung banyak racun. Dasar berandalan gila sialan! Seandainya aku memiliki ilmu sihir, sudah aku kutuk jadi katak dia. *** “Arhhhh dasar Regarta sialan!” Aku berteriak kesal di dalam lift tapi langsung tersenyum normal lagi ketika ada orang lain yang masuk lift yang sama. Dadaku bergemuruh hebat saking kesalnya. Misi utamaku kembali ke Indonesia adalah ingin menghindari apapun yang berhubungan dengan Regarta karena aku tahu dia memiliki pacar. Takdir malah menempatkan aku sebagai bawahan teraniayanya dan dapat bonmus calon istrinya pula. Duniaku bisa jungkir balik kedepannya! Aku yakin jika pernikahan kami sampai di umumkan ke publik, akan banyak sekali yang kontra. Sebab para penggemar Regarta dan Sarah sangat mendukung hubungan keduanya. Aku pasti akan di bandingkan dengan Sarah nantinya. Dan itu pasti menyebalkan sekali. Aku bahkan sudah stress sejak sekarang. Sesampainya di kedai kopi, aku langsung merepotkan barista yang sudah aku kenal dengan memintanya membuatkan tester kopi yang menggunakan matcha. Aku masih paham selera si berandalan itu dan aku malas kalau nanti harus bolak-balik karena tidak sesuai seleranya. “Buat pak Regarta Wen?” tanya Julian, Barista di tempat ini yang sudah akrab denganku. Dia langsung cekikkan melihat aku mendesah kesal. “Kenapa lagi Regarta? Apa lagi yang dia buat?” suara dengan nada geli itu membuat aku menoleh. Di belakangku ada Jovanka, dia sedang tersenyum ramah padaku. “Apa kabar Wendy? Aku follower akun desain kamu loh. Sukses yah sekarang.” Ucapya lagi. Reflek aku langsung menaruh telunjuk di bibirku karena aku tidak pernah menunjukkan pada siapapun tentang akun itu. Pengikutnya terlalu banyak dan itu menakutkan jika orang-orang sampai tahu siapa aku sebenarnya. Aku hanya tidak terlalu suka menjadi terkenal. “Kenapa?” tanyanya dengan berbisik. “Dari mana kamu tahu itu akun aku.” Tanyaku bisik-bisik juga. Jovanka kemudian tertawa ringan. “Chiko yang kasih tahu. Waktu aku lagi kepoin akun kamu, dia lihat dan ngasih tahu kalau akun itu punya kamu. Kapan-kapan pengen deh di buatin baju sama kamu.” Jawabnya Ramah. Sikapnya jauh berbeda dengan sikap Jovanka dulu. Akhirnya aku duduk di salah satu meja dengannya. Dan aku tercengang menemukan fakta bahwa sikap menyebalkan Jovanka dulu, adalah perintah Ayah Adrian agar aku semangat untuk memperbaiki hidupku dan meraih mimpi-mimpiku. Sedikit kesal sebenarnya, tapi jika di pikir ulang, kejadian itu merubahku sangat banyak. Aku tidak akan jadi sekuat dan sebahagia sekarang jika dulu Jovanka tidak memprovokasiku. “Terimakasih banyak sudah melakukan itu dulu.” Ucapku sungguh-sungguh. Jovanka tersenyum ramah. Dan ternyata gadis ini jauh lebih ramah dari yang aku kira. Kami akhirnya sepakat untuk saling bertukar kontak karena dia ternyata serius ingin di buatkan baju untuk acara Award yang hendak dia hadiri beberapa bulan lagi. Selama ini aku memang kerap kali menerima pesanan pribadi untuk gaun-gaun semi klasik seperti yang sering aku posting di akunku. Tapi sejauh ini belum ada orang Indonesia yang memakai baju rancanganku. Jovanka akan jadi yang pertama dan aku cukup berdebar karena itu. “Pamit dulu yah Jo, keburu ngamuk boss aku. Chatnya udah banyak banget soalnya.” Ucapku setelah mengambil pesanan di kasir. Jovanka terkikik geli. “Lagi cari perhatian aja dia sama kamu.” Komentarnya yang hanya aku balas dengan senyuman. Aku buru-buru masuk ke dalam lift karena Regarta sudah mengamuk di chat yang dia kirim. Biasanya aku akan mengetuk pintu dulu, tapi karena aku kesal jadi aku langsung masuk saja ke dalam ruangannya. “Ini kopinya!” Ucapku canggung. Ternyata di ruangannya sedang ada Sarah yang langsung tersenyum ramah padaku. Sudah jelas itu adalah senyuman palsu, dia pikir aku lupa apa seberapa iblis dia. “Apa kabar Wendy?” tanyanya Ramah dengan senyuman yang membuatku muak. “Nggak usah sok akrab.” Balasku ketus. Regarta terlihat mengernyitkan dahinya melihat reaksiku pada Sarah. Terserah dia akan menganggapku buruk atau bagaimana. Yang jelas aku merasa tidak perlu berbasa-basi dengan orang jahat yang pura-pura baik itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD