BAB 04 - DANCE OF LOVE

1708 Words
DOL.04 KEMBAR IDENTIK DENGAN KEPRIBADIAN BERBEDA     RAI MAXWELL   “Oke, cukup sampai di sini kelas manajemen keuangannya hari ini. Kita akan lanjutkan minggu depan. Jangan lupa kumpulkan tugas kalian via email paling lambat satu hari sebelum pertemuan minggu depan.” Seorang dosen yang sedang berdiri di depan kelas berbicara  pada para mahasiswanya.   Tidak lama kemudian, dosen pria itu keluar dari ruang kelas diikuti oleh para mahasiswa yang mengikuti kelasnya pertanda kelas telah usai. Aku yang juga mengikuti kelas dosen pria tersebut mengemasi buku dan alat tulisku lalu memasukannya ke dalam tas. Setelah itu aku pun keluar dari ruang kelas seperti teman-temanku yang lainnya. Aku berjalan dengan santai di koridor gedung kampus sendirian menuju parkiran mobil. Saat ini aku merasa sedang tidak enak badan dan berpikir untuk segera pulang.   Namun saat aku berjalan di koridor sendirian, tiba-tiba aku mendengar suara temanku Ben memanggil namaku. “Rai… Rai… Rai…”   Mendengar suara teman dekatku memanggil namaku, aku pun berhenti dan menoleh ke arah dari mana suara itu berasal. Dalam waktu bersamaan, Ben pun telah hadir di sampingku. Ia  berjalan di sampingku sambil merangkul bahuku dan berkata, “Rai, jangan lupa jemput aku nanti malam.”   “Memangnya nanti malam kita akan kemana?” Aku bertanya dengan wajah kebingungan.   “Bro, malam ini adalah Ladies Night. Bukankah sudah waktunya kita bersenang-senang? Seperti biasanya kita akan keluar dua kali seminggu untuk menikmati hidup.” Ben berbicara dengan penuh semangat.   Namun aku yang merasa kurang enak badan malah tidak bersemangat untuk bersenang-senang malam ini. “Tapi Ben…”   “Ayolah, Bro… Sangat sayang jika kita lewati malam ini tanpa bersenang-senang. Malam ini ada DJ dari luar negeri yang menjadi bintang tamu. Juga akan banyak anak muda datang untuk menontonnya. Apa kamu akan melewatkan kesempatan bagus untuk mendapatkan wanita malam ini?”   “Aku, Rai Maxwell. Tidak akan pernah melewatkan kesempatan bagus, Ben.”   “Kalau begitu, jangan lupa jemput aku nanti malam. Kita akan bersenang-senang. Aku juga akan mengundang Alissa nanti malam untuk bergabung dengan kita.”   “Alissa?” Aku mengerutkan dahiku saat aku mendengar nama wanita itu.   Ben pun mengangguk sambil tersenyum lebar, “Ya, Alissa. Apa kamu tidak mengenalnya?”   “Aku tidak terlalu mengenal mahasiswa kampus ini, Ben. Kamu tahu sendiri kalau aku lah yang dikenal orang. Bukan aku yang mengenal orang.” Aku menjawab sambil terus berjalan  bersama Ben di koridor.   “Ya, aku tahu itu. Alissa itu adalah idola kampus kita ini. Ia adalah wanita tercantik di kampus ini yang selalu berusaha mengejarmu.”   “Mengejarku?”   “Ya. Apa kamu ingat wanita yang waktu itu menghampiri kita saat kita sedang berada di café yang ada di dekat Jubile Bridge kawasan Marina? Yang waktu itu pernah jalan bersamamu dan menemanimu berbelanja.”   Aku menghentikan langkahku karena tidak bisa mengingat wanita itu. Kemudian aku menoleh pada Ben dan bertanya, “Ben, apa kamu memiliki fotonya? AKu sudah tidak ingat wajahnya karena sudah terlalu banyak wanita yang jalan denganku.”   Ben pun menunjuk ke arah bangku taman yang tidak terlalu jauh dari koridor yang saat ini tengah di duduki oleh beberapa orang mahasiswi. Di bangku itu duduk tiga orang wanita cantik yang sedang bercengkrama bersama. Namun salah satu diantara mereka berambut kecoklatan yang membuat ia terlihat berbeda dari teman yang duduk di sampingnya yang berambut hitam. Dengan suara rendah Ben pun berkata, “Lihat gadis yang berambut coklat itu. Ia adalah Alissa, wanita yang aku ceritakan. Hingga sekarang ia masih menyukaimu dan selalu menanyakanmu padaku.”   Melihat wanita cantik itu membuatku teringat pada wanita yang pernah jalan bersamaku dan menemaniku berbelanja. Dan benar, ia adalah wanita itu. Dalam waktu bersamaan, Alissa yang tengah duduk bersama temannya menoleh padaku. Ia menatapku dan tersenyum padaku dengan hangat dari kejauhan. Namun aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis lalu kembali mengayunkan langkahku berjalan di koridor dengan wajah acuh tak acuh. Aku tahu wanita itu sangat tertarik padaku. Jadi aku harus bersikap cool dan jual mahal. Karena selama ini wanitalah yang mengerjarku, bukan aku.   Aku memiringkan wajahku ke arah Ben yang berjalan di sampingku sembari berkata, “Tunggu aku nanti malam. Jangan sampai aku yang menunggu.”   “Oke, Bro. Aku akan selesai tepat waktu agar kita tidak terlambat untuk ke pesta.” Ben menanggapi ucapanku dengan penuh semangat.   Aku dan Ben terus berjalan bersama di koridor sambil berbincang-bincang. Hingga akhirnya langkahku terhenti di depan sebuah mobil Porche keluaran terbaru berwarna merah. Sambil melirik pada Ben aku pun bertanya, “Apa kamu membawa mobil sendiri, Ben? Jika tidak, biar aku antar kamu pulang.”   Ben yang juga ikut menghentikan langkahnya di depan mobil sport ku yang berwarna merah terlihat sangat kaget. Ia membolakan matanya menatap mobil merah yang terparkir di hadapanya sembari berkata, “Rai, apa ini mobilmu? Apa ini mobil barumu?”   “Ya, ini mobilku.”   Dengan segera Ben berjalan mengelilingi mobilku berulang kali sembari berkata dengan wajah takjubnya, “This car is so cool… So cool… Dalam beberapa bulan terakhir, kamu telah tiga kali beli mobil baru, Bro. WOW! ”   Aku yang merasa geli melihat tingkah Ben yang seperti orang baru pertama kali melihat mobil baru. Sambil membuka pintu mobil aku pun bersuara, “Hei, Ben… Apa kamu baru pertama kali melihat mobil seperti ini? Ayolah masuk, jika kamu ingin aku antar pulang.”   Ben menghentikan langkahnya dan berkata, “Rai, sebenarnya aku bawa mobil sendiri. Tapi aku juga ingin menaiki mobilmu dan diantar pulang olehmu. Kalau begitu, aku rela meninggalkan mobilku di kampus hanya demi bisa menaiki mobilmu.”   Aku pun tertawa mendengar jawaban Ben yang terdengar berlebihan. “Sudahlah, jangan banyak gaya. Masuklah! Aku akan mengantarmu pulang.”   “Oke, Bro…” Dengan penuh semangat Ben membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang depan. Sedangkan aku yang telah membuka pintu mobil, mamasuki mobilku dan duduk di kursi kemudi. Tanpa berpikir panjang, aku pun menyalakan mesin mobilku dan mengendarainya keluar kawasan kampus.   Sepanjang perjalanan dari area parkiran menuju gerbang utama kampus yang cukup jauh, aku mengendarai mobilku dengan bangga melewati para mahasiswa yang berlalu-lalang di pinggir jalan. Mereka semua menoleh padaku yang sedang mengendarai mobil dengan berbagai ekspresi wajah, terutama mahasiswa wanita. Meski aku tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran mereka saat melihatku mengendarai mobil ini, tapi aku merasa bahwa tatapan mereka terhadapku adalah tatapan kagum.   Aku adalah salah seorang mahasiswa di jurusan Bisnis & Manajemen di salah satu universitas terkenal di Singapore yang patut di perhitungkan. Tidak hanya berpenampilan menarik, tapi aku juga memiliki prestasi di bidang akademik. Mereka semua pasti mengenalku. Mereka juga pasti menginginkanku. Sudah banyak wanita di kampus ini yang tergila-gila padaku karena ketampananku dan juga kekayaan yang aku miliki. Siapa yang tidak ingin menjadi kekasih dari seorang Rai Maxwell? Bahkan mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hatiku. Aku sudah banyak berkencan dengan wanita. Namun sayangnya sangat sulit bagiku untuk bertahan dengan satu wanita. Hingga aku tidak pernah bisa memiliki hubungan serius dengan seorang wanita.   Aku Rai Maxwell, seorang pria yang lahir di keluarga konglomerat Maxwell. Seorang pria yang merupakan salah satu penerus perusahaan Maxwell Inc yang sangat terkenal di bidang industry teknologi. Aku adalah salah seorang putra kembar dari Tuan Nicholas Maxwell dan Nyonya Eleanor Leora yang sangat tersohor. Dan aku memiliki saudara kembar sekaligus adikku yang bernama Rei Maxwell. Kami adalah dua orang pria kembar identik secara fisik dan memiliki nama yang hampir sama. Perbedaan nama kami hanya pada huruf “a” dan “e” yang selalu membuat orang kebingungan dan sulit untuk membedakan. Meski kami kembar identik secara fisik dan memiliki nama yang hampir sama, tapi aku dan Rei memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Kami berdua memang kembar dan terlihat sama, tapi kami berdua bukanlah orang yang sama dan tidak akan pernah bisa disamakan.   “Rai, kamu benar-benar sangat beruntung.” Ben berkata padaku saat ia duduk di kursi penumpang di sampingku. “Meski kedua orang tuaku memiliki uang, tapi tidak dengan mudahnya membelikan apa pun yang aku inginkan. Lihat dirimu, apa pun langsung kamu dapatkan.”   Aku tersenyum mendengar ucapan Ben yang sedang memujiku. Apa yang ia katakan itu benar, apa pun yang aku inginkan selalu aku dapatkan. Kedua orang tuaku tidak pernah berkata tidak padaku. Karena aku yang sangat keras kepala, pasti akan selalu berusaha mendapatkan apa yang aku inginkan. Dari dulu hingga sekarang, jika aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan, aku akan mengurung diriku di kamar dan tidak keluar beberapa hari. Dan ujung-ujungnya aku akan sakit karena tidak makan dan minum selama mengurung diri.  Pernah beberapa kali saat aku masih kecil, adikku Rei Maxwell membujukku untuk makan atau minum, namun aku menolaknya karena apa yang aku inginkan belum aku dapatkan. Hingga akhirnya kedua orang tuaku memilih untuk mengalah dan memberi apa yang aku inginkan dari pada aku jatuh sakit.   Aku dan Rei Maxwell sangat jauh berbeda meski secara fisik kami terlihat sama. Aku yang bernama Rai lebih berani daripada Rei, namun fisikku lemah. Dari kecil hingga dewasa ini, aku memiliki daya tahan  tubuh yang lemah dibanding adikku. Sehingga aku sering jatuh sakit saat aku kelelahan, stress atau yang lainnya. Sedangkan Rei adalah pribadi yang pemalu namun memiliki fisik yang kuat. Sehingga kedua orang tuaku mengizinkan Uncle Efron membawanya untuk tinggal bersamanya di New York di bandingkan diriku yang sering sakit-sakitan. Dan kami berdua pun sudah terpisah saat kami masih berumur 12 tahun. Meski jauh terpisah belasan tahun, kami tetaplah saudara kembar yang saling menyayangi.   Saat aku tengah asyik mengendarai mobil sambil berbincang-bincang dengan sahabatku Ben, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Dengan segera aku menghentikan mobilku di pinggir jalan dan menangkupkan kedua belah tanganku di wajah. Aku terdiam cukup lama berusaha untuk memastikan diriku akan baik-baik saja. Hal itu menimbulkan kecemasan dari wajah Ben yang terus memperhatikanku.   “Rai, apa kamu baik-baik saja?” Ben bertanya dengan nada cemas.   Aku menarik nafas dalam dan membuangnya dengan perlahan. Dengan suara rendah aku pun menjawab, “Ya, aku baik-baik saja.”   “Apa kamu yakin, Rai?” Ben kembali bertanya dengan ragu-ragu.   “Ya, aku yakin. Ben, bisakah kamu menggantikanku untuk menyetir mobil? Antarkan aku pulang. Nanti aku akan menyuruh supirku untuk mengantarmu.”   “Baiklah. Kalau begitu kita tidak usah pergi malam ini.”   “Tidak, kita akan tetap pergi. Dengan beristirahat sebentar, keadaanku akan segera membaik.” Aku menjawab dengan suara rendah sambil terus menutup mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD