BAB 02 - DANCE OF LOVE

2005 Words
DOL.02 JATUH CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA     TIFFANY SHERIA   Tujuh tahun lalu… “Tiffany, sekarang sudah pukul berapa?” Brenda yang berdiri di sampingku setelah keluar dari gerai makanan cepat saji bertanya padaku.   Spontan aku menggerakkan tangan dan melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan kiriku. Saat ini jarum pendek yang ada pada arlojiku berada di angka 3 dan jarum panjang di angka 5. Itu berarti jadwal latihan tari ku akan segera di mulai dalam waktu 5 menit lagi. Dengan ekspresi kaget dan mata membola aku pun berkata, “Astaga, hari sudah hampir pukul setengah empat sore. Brenda, ayo kita segera ke studio tari. Kalau tidak kita akan terlambat untuk latihan sore ini.”   “Benar, jangan sampai Madam Jean lebih dulu memasuki studio di banding kita.” Brenda pun berkata sambil menarik tanganku untuk mulai berjalan.   Kami baru saja selesai istirahat makan siang di salah satu gerai makanan cepat saji di kawasan Mercer Street setelah mengikuti kelas utama dari pagi hingga siang hari ini. Aku dan Brenda berjalan bersama saling begandengan tangan dengan langkah tergesa-gesa. Semakin lama gerakan langkah kami semakin cepat karena takut akan terlambat mengikuti kelas tari.   Di perempatan jalan yang ada di depan gedung New York University Card Center, aku dan Brenda berjalan di zebra cross menyeberangi Mercer Street. Kemudian kami berdua berlari di trotoar di pinggir jalan Wahington PI, di depan gedung bergaya aristocrat lainnya milik New York University  menuju Tisch School of the Art di 721 Broadway, New York.   Saat kami berdua berlari menuju gedung Tisch tersebut, Brenda pun kembali bersuara, “Aku tidak ingin di hukum oleh Madam Jean karena terlambat. Dalam bulan ini, aku sudah dua kali terlambat. Jika terlambat lagi, tamatlah riwayatku. Bisa-bisa Madam Jean tidak mengikut sertakanku dalam ujian tari bulan depan.”   Aku hanya tertawa kecil sambil berlari mengejar temanku Brenda yang telah lebih dulu berlari di depanku. Saat ini ia berlari lebih kencang dariku dengan penuh semangat seolah kami berdua sudah terlambat begitu lama. Kami berdua berlari selama beberapa menit menuju gedung Tisch yang ada Broadway dengan tubuh bercucuran keringat. Hingga akhirnya kami pun sampai di pintu masuk kampus Tisch dengan nafas terengah-engah.   Setelah sampai di depan pintu utama Tisch, aku dan Brenda pun berhenti berlari. Kami berdua tertawa bersama karena kelakuan kami yang terlihat begitu konyol. Kami berlari dari satu sisi ke sisi lain kawasan New York University seperti orang yang kurang pekerjaan. Dan kami tidak mempedulikan bagaimana pandangan orang-orang yang kami lewati sepanjang jalan tadi yang melihat  kami berlari dibawah teriknya matahari di musim panas sore ini. Yang pastinya saat ini kami berdua merasa bahagia setelah melakukan hal yang konyol itu.   Kami berdua memasuki pintu utama kampus Tisch School of the Arts yang bergaya aristocrat tersebut setelah mengatur nafas dengan baik. Berjalan dengan santai melewati meja satpam yang ada di dekat pintu masuk dan menaiki anak tangga menuju ruang studio dance yang ada di lantai atas. Untungnya, saat kami sampai di lantai dimana studio dance berada, kelas ballet belum di mulai. Dan masih banyak mahasiswa lainnya yang berkumpul atau pun berlalu lalang di koridor di lantai yang sama.   “Huufffft… Untung saja kelas belum dimulai.” Aku berbicara sambil mengelus dadaku karena merasa lega.   Namaku Tiffany Sheria. Seorang gadis berkebangsaan Singapore yang datang ke kota New York ini untuk melanjutkan pendidikanku. Dari kecil aku sangat menyukai seni tari, terutama ballet dance. Aku juga sudah berlatih ballet semenjak aku masih kecil. Kecintaanku terhadap seni tari membuatku memilih New York University yang telah melahirkan begitu banyak seniman terkenal dunia sebagai pilihan untuk melanjutkan pendidikanku. Dan setelah mendaftarkan diri di aplikasi umum, serta melewati beberapa kali audisi tari dengan standar akademik dan artistic yang ketat, akhirnya aku pun diterima sebagai mahasiswa baru di New York University Tisch School of the Arts. Salah satu universitas yang memiliki jurusan seni terbaik di dunia.   NYU Tisch School of the Art dibagi menjadi tiga institute, yaitu Seni Pertunjukan, Media Berkembang, dan Film & Televisi. Banyak disiplin ilmu sarjana dan pascasarjana tersedia untuk mahasiswa, seperti acting, tari, studi pertunjukan, desain untuk panggung dan film, penulisan teater musical, produksi rekaman fotografi, desain dan pengembangan game, serta studi film dan televisi. Dan untuk mengasah skill tariku, aku memilih Tisch Dance sebagai jurusanku.   Aku dan Brenda adalah mahasiswa tahun pertama dan belum menjadi penari professional.  Kami berasal dari negara yang sama dan sama-sama mengikuti program sarjana melalui kurikulum intensif tiga tahun. Karena kami baru tahun pertama di Tisch Dance, kursus kami berfokus pada belajar menari dengan cara yang efisien dan sehat. Kelas teknik menekan prinsip  penempatan dan penyelarasan. Dan di tambah dengan kursus komposisi tari, kinetetik anatomi, dan teori music. Karena aku dan Brenda saat masih di Singapore pernah kursus di studio ballet dance yang sama dan memiliki ketertarikan pada ballet dance, kami pun menjadikan ballet dance sebagai mata kuliah pilihan.   Di tahun pertama, mahasiswa akan  mengikuti kelas harian dalam teknik balet dan tari kontemporer. Termasuk kelas pointe, kelas pria, partner, pilates dan yoga yang menjadi mata kuliah utama. Kursus tambahannya adalah penelitian kreatif seni tari, yaitu kursus-kursus yang terdiri dari koreografi dan pertunjukan. Untuk lokakarya kreatif, mahasiswa pemula juga akan mengikuti kelas teori music dan akan memperoleh keterampilan dalam bermusik, membaca skor dan elemen komposisi music.   Kami juga mengikuti studi tentang anatomi manusia dan keselarasan tubuh melalui pengalaman fisik dan latihan yang dipandu dengan penggunaan gambar dan metafora. Selain itu kami juga belajar tentang tata cahaya dan peralatan suara, manajemen panggung, pekerjaan kru, pemrograman, publisitas, produksi langsung multi-kamera, dan persyaratan teknis lainnya untuk produksi tarian. Dan di setiap semesternya, mahasiswa diwajibkan untuk berpartisipasi dalam kru produksi.   Bulan depan akan diadakan ujian semester pertama.  Para mahasiswa harus memproduksi video yang berisikan pertunjukan tari sesuai dengan teknik yang telah mereka pelajari selama 6 bulan di semester pertama bersama dengan kru produksi yang telah dibentuk. Meski aku berada di dalam kelas yang sama dengan Brenda, tapi kami berada di kelompok yang berbeda. Dan di dalam kelompok kru produksi, aku mendapatkan tugas sebagai salah satu penari solo yang akan tampil dalam video tersebut. Untungnya Brenda juga bertugas sebagai penari solo meski kami berada di kru yang berbeda. Sehingga kami berdua masih bisa pergi bersama mengikuti kelas tambahan.   Untuk meningkatkan keahlian dalam teknik dan komposisi tari pada saat ujian dan pembuatan video nanti, aku dan Brenda mengikuti kursus tambahan pada sore hari setelah mengikuti mata kuliah utama. Kursus tambahan yang diadakan pada sore hingga malam hari itu pada umumnya diikuti oleh para mahasiswa tahun pertama dan tahun kedua yang telah mengambil jadwal kursus tambahan. Adapun mahasiswa tahun ketiga yang hadir untuk latihan pada sore hingga malam hari di studio dance, pada umumnya adalah mahasiswa yang akan mengikuti Second Avenue Dance Company yang merupakan salah satu mata kuliah utama pada tahun ketiga di akhir pendidikan mereka di Tisch Dance.   Sore ini aku dan Brenda akan mengikuti kelas tambahan ballet dance bersama Madam Jean. Meski sekarang jam sudah menunjukan lewat dari setengah empat sore, namun Madam Jean belum juga datang. Kami para mahasiswa yang akan mengikuti kelas ballet dance pun menunggunya di koridor yang ada di depan studio dance, tempat dimana kami latihan biasanya. Agar tidak merasa bosan saat menunggu, aku dan Brenda pun bercengkrama bersama teman sekelas lainnya yang juga ikut menunggu.   Gedung kampus ini memiliki beberapa ruang studio dance. Di lantai yang sama dimana aku berada saat ini, terdapat dua ruang studio dance yang berbeda. Satu diantaranya adalah ruang studio ballet dance tempat dimana aku dan teman-temanku lainnya akan berlatih sore ini. Dan studio lainnya berada tepat di depan studio ballet dance, yang merupakan studio untuk kelas modern dan kontemporer dance.   Saat aku, Brenda dan teman-temanku yang lainnya tengah asyik bercengkrama sambil menunggu kedatangan Madam Jean, beberapa orang mahasiswa keluar dari studio modern dance yang ada di depan studio ballet dance. Jika dilihat dari penampilan mereka saat ini yang bergaya ala hiphop, mereka terlihat seperti mahasiswa yang mangambil studi khusus modern dance yang baru saja selesai latihan. Mereka terdiri dari beberapa orang laki-laki dan wanita. Namun tak satupun dari mereka yang aku kenali. Sepertinya mereka bukanlah mahasiswa tahun pertama. Tapi seperti mahasiswa tahun kedua, ketiga ataupun yang mengambil gelar pascasarjana.   Saat para mahasiswa kelas modern dance itu melewati kami yang sedang berdiri di koridor, semua mata tertuju pada mereka. Tidak hanya karena penampilan keren mereka yang mengundang perhatian, tapi juga karena tubuh atletis dari beberapa mahasiswa prianya, membuat kami para wanita yang berdiri di koridor berdecak kagum. Mereka sangat berbeda dengan beberapa orang mahasiswa pria yang ada di kelas ballet dance.   Setelah sekelompok mahasiswa itu keluar dari studio dan melewati kami, tidak lama kemudian seorang pria juga keluar dari studio modern dance tersebut. Pria itu bertubuh tinggi dan ramping, namun memiliki otot-otot yang kuat membuat ia terlihat atletis. Hal itu terlihat dari pakaian yang tengah ia pakai saat ini. Jika para mahasiswa lainnya tadi memakai atasan kaos yang berlengan atau pun tidak dengan model biasa, pria ini memakai atasan kaos hitam tanpa lengan dengan cutting rendah. Membuat otot-otot lengannya dan juga otot tubuh sampingnya terlihat. Di tambah lagi dengan kulitnya yang putih di balut dengan pakaian serba hitam, membuat ia terlihat menonjol dan berbeda. Namun aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Karena saat ini ia tengah mengenakan topi hitam dengan posisi rendah, sehingga setengah wajahnya tertutup oleh bagian depan topi.   Pria itu berjalan sendirian dengan tubuh tegap, langkah tenang dan wajah menunduk yang tertutup oleh topi. Sehingga wajahnya semakin sulit di lihat dalam posisi berdiri. Namun saat ini aku tengah duduk di kursi yang ada di pinggir koridor. Sehingga posisi dudukku saat ini lebih rendah dari posisi orang yang berdiri. Saat pria itu lewat di hadapanku, tanpa sengaja aku mengangkat wajahku menatapnya yang sedang lewat. Dalam waktu bersamaan, mata pria yang sedang menunduk itu melirik padaku. Dan mata kami pun saling bertemu. Seketika darahku berdesir dan jantungku berdetak kencang saat melihatnya. Lirikan matanya yang tampak sekilas membuat tubuhku mematung. Pria itu terlihat sangat tampan dan menghipnotisku yang sedang melihatnya. Benar-benar pria yang sangat tampan dan menarik hati. Aku langsung jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Penampilannya yang berbeda dan berjalan sendirian melewati kami yang masih berada di koridor, sangat mengundang perhatian melebihi mahasiswa yang lewat sebelumnya. Bahkan kehadirannya saat ini menimbulkan keributan dari mahasiswa wanita yang ada di lantai ini.  Semua orang berdecak kagum dan membicarakannya. Sedangkan aku hanya diam menjadi pendengar, karena aku tidak tahu siapa dia. "Uuunch... aku selalu tidak tahan jika melihat senior yang satu ini." Salah seorang temanku berkata. Brenda yang duduk di sampingku pun merespon ucapan temanku itu. "Shella, apa kamu mengenalnya?" "Tentu saja, Brenda. Siapa yang tidak kenal dengan senior yang satu itu. Ia adalah mahasiswa tahun ketiga dengan segudang prestasi." Shella menjawab pertanyaan Brenda. "Bukankah itu Senior Rai?" temanku yang lainnya bersuara. "Bukan Rai, tapi Rei." "Bukan... Namanya Rai." "Rei..." "Rai..." "Rei, Diana. Bukan Rai." Brenda yang mendengar perdebatan temanku karena nama dari pria yang baru saja lewat itu kembali bersuara, "Rai atau Rei, hanya berbeda penulisan dan pengucapan. Orangnya hanya satu kan? Kalau begitu, tetap saja sama." "Ya, benar." Dari tadi aku hanya diam mendengar teman-temanku bicara. Namun setelah mendengar namanya, aku pun tak kuasa bertanya, "Jika pria itu mahasiswa tahun ketiga, kenapa aku baru kali ini melihatnya?" Shella pun menjawab, "Setahuku, mahasiswa tahun ketiga sedang mempersiapkan diri mereka untuk acara Second Avenue Dance Company. Mereka tidak memiliki kelas utama seperti kita. Mereka hanya melakukan banyak praktek tari sebagai pengembangan dari hal-hal yang telah mereka pelajari selama dua tahun. Dan senior Rei itu sering latihan pada pagi hari. Karena siang harinya ia akan kuliah di NYU Tandon School of Engineering, jurusan Technology Management & Innovation. Jadi kita akan jarang bertemu dengannya jika jadwal latihan kita berbeda." "Apa ia kuliah dengan dua jurusan sekaligus?" temanku yang lain bertanya dengan wajah penasaran. "Ya, benar." "Wah... keren sekali." "Ia juga asisten Madam Jean. Sayangnya ia belum pernah masuk ke kelas kita untuk menggantikan Madam Jean." Shella menambahkan. Semua mahasiswa yang mendengar pun terpukau setelah Shella menjelaskan panjang lebar. Sedangkan aku hanya diam mendengar dan menyimpan semua info tentangnya di dalam otakku. Jujur, aku benar-benar tertarik padanya. Dan aku hanya bisa berharap di dalam hati agar bisa kembali bertemu dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD