3. Sebuah Panggilan

2634 Words
Handuk kecil yang tergantung pada pegangan treadmill itu diraihnya dengan sebelah tangan. Wajah berpeluh itu di usap perlahan, sampai pada batas leher. Dengan napas tersengal-sengal, di ayunkan pula kakinya menuruni treadmill dan mendekati Fathan yang belum selesai dengan senamnya, dalam upaya mengecilkan perut. "Belum selesai juga?" tegurnya seraya mengusap peluh yang membasahi kening hingga lehernya. Fathan menoleh sejenak, lalu kembali melanjutkan aktifitas senamnya yang belum akan dia akhiri. "Kamu sendiri, sudah selesai?" Fathan balik bertanya. Suaranya terdengar parau, disertai napas yang kian tak beraturan karena kelelahan. Gibran mengangguk. "Sudah jam sepuluh," balasnya kemudian menempatkan diri tepat dibangku samping Fathan yang Masih sibuk senam. Fathan tergelak kecil. Pasalnya, ini pertama kalinya Gibran bersikap aneh. Tak biasanya, pria itu ingin cepat pulang. Biasanya, dia akan menyelesaikan olahraga pukul sebelas lewat. Apa yang terjadi? "Hei, kenapa jadi pengen cepet balik? Biasanya juga, nongkrong dulu di warungnya Mak Pi'ah. Kesambet jin, brow?" candanya. Gibran tersenyum kecil. "Bukan ingin buru-buru balik, aku mau mengajakmu minum di kafe biasa," balasnya. Fathan kembali tertawa. Handuk kecil di samping tempatnya berdiri diraihnya, kemudian mengusap peluh yang menetes di d**a, tangan, wajah dan lehernya. Ah, konyol nanti juga bisa membersihkan diri. Kenapa harus di usap dengan handuk? "Aku tahu," sahut Fathan. "Come on! Aku sudah lelah." Gibran meraih tas ransel dan botol minumannya, kemudian mendahului langkah Fathan yang Masih sibuk mengenakan kaos dan jaketnya. Fathan mengekor dibelakang, langkahnya lebar-lebar berusaha mensejajarkan dengan langkah Gibran yang semakin jauh di depan. "Aku akan menemuimu di dekat kafe," ujar Gibran memasuki mobilnya. Sementara itu, Fathan hanya mengangguk menunjukkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi. Sampai di kafe yang dimaksud, keduanya segera memesan meja. Seperti biasa, meja dekat jendela adalah favorit dua sahabat yang sudah akrab sejak duduk dibangku SMA itu. menurut mereka, pemandangan dari balik jendela membuat suasana tenang dan damai. Gemericik aliran sungai buatan yang terletak dibagian samping kafe ini, terdengar cukup mendominasi. Suaranya beradu dengan desah angin yang menggoyangkan ranting pepohonan. "Dimana-mana banyak orang membicarakan Masalah virus corona yang tak juga sampai pada titik akhirnya." Fathan mulai angkat bicara. Kotak rokok diatas meja diraihnya, mengeluarkan sebatang rokok dan disulutnya api pada ujungnya. Dia mulai menghisapnya. Asap rokok membumbung tinggi, Gibran yang duduk di depannya nampak membuang muka karena dia tahu, sahabatnya itu tak menyukai asap rokok. "Iya. Kudengar sebentar lagi akan ada vaksinasi. Warga banyak yang memprotes dan menolak keras untuk di vaksin dengan alasan, kandungan yang terdapat pada vaksin itu tidak jelas dan berasal dari China. Ah, memang kadang Masyarakat kita terlalu mudah terdekriminasi oleh suara-suara sumbang." Gibran tersenyum kecut. Di tatapnya Fathan yang Masih asyik menghisap rokok sambil menggelengkan kepala. Dia tak habis pikir, sudah hampir berkepala empat, dia tetap saja tak bisa menghentikan hobbi nya merokok. Padahal sudah tahu, bahaya yang akan menimpa jika terus menerus mengisap nikotin. Fathan hanya tergelak kecil, sembari memainkan asap rokok yang dihisapnya. "Setidaknya mereka seharusnya sadar, kalau vaksin dalam tubuh kita juga perlu. Kadang walau terlihat sehat, nyatanya tubuh menyimpan virus bukan? Seharusnya mereka juga memikirkan orang-orang terdekatnya, terutama keluarga." Lanjut Gibran. Setuju dengan ucapan Gibran, Fathan hanya menganggukkan kepala. Ya, kalau mereka sayang dengan tubuhnya pasti akan menerima saja adanya vaksin itu. Akan tetapi, bukan hanya vaksin yang menjamin tubuh kita akan bebas dari penyakit. Melainkan juga kebiasaan diri kita sendiri. Jika tak rajin membersihkan diri, apa gunanya ribuan vaksin yang Masuk ke dalam tubuh kita? Gumamnya sendiri dalam hati. "Thai tea, dan moccacino espresso seperti biasa." Pembicaraan mereka terpotong oleh kehadiran salah seorang pelayan. Gadis cantik berambut sebahu itu menaruh dua gelas pesanan diatas meja, dengan senyum yang enggan lepas dari sudut bibirnya yang merah ranum. "Hai, nona." sapa Fathan setengah berbisik. Gadis itu hanya mengangguk kemudian berlalu. Ck Dasar genit! Seru Gibran dalam hati. Dia tak kuasa jika harus mengungkapkannya secara langsung, terlebih Fathan merupakan sahabat karibnya. Akan tetapi, pria berusia hampir kepala empat itu memang kadang suka lepas kendali. Bisa-bisanya dia menggoda karyawan yang sedang bekerja seperti itu. Memalukan. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Fathan sepertinya risih dengan tatapan Gibran yang mengintimidasi dirinya. Gibran memperbaiki posisi duduknya. "Aku ingin meminta pendapatmu sebagai seorang sahabat," ucapnya serius. Melihat tingkah Gibran, Fathan merasa sedikit aneh. Diletakannya gelas minumannya kembali ke atas meja, kemudian memperbaiki duduknya. "Katakan saja, ada apa?" "Jika aku menikah lagi, sementara kondisi Mariya semakin memburuk, apakah aku termasuk pria yang zalim?" Fathan terdiam. Dia terkejut mendapat pertanyaan di luar perkiraannya saat itu. Lagi pula, sejak kapan Gibran mulai menginginkan untuk menikah lagi. Bukankah dia sosok yang setia? "Than ...," panggil Gibran setelah lama tak mendapat jawaban dari pertanyaannya. Sedikit tersentak, Fathan berdehem. "Memangnya kamu sudah ada calon?" Gibran mengangguk. "Ada seseorang yang aku suka dan aku takkan main-main kali ini. Aku berniat menjadikannya istri," selorohnya jujur. "Apa Marya sudah mengetahui ini?" Gibran menggeleng. "Tidak ada siapapun yang tahu mengenai Masalah ini, bahkan wanita yang kusukai itu pun tak mengenalku dengan baik." Fathan geleng-geleng, heran. Apa maksudnya? Katanya suka dan serius menjadikannya istri. Akan tetapi, berkenalan secara langsung saja tak pernah. Bagaimana mungkin wanita itu akan menerimanya? "Sudah mencoba melakukan pendekatan?" Senyum Gibran makin lebar. "Belum." Dia sudah akan melakukannya, tetapi Shafira tak pernah mengindahkannya. Dia butuh rencana lain untuk bisa mendekati wanita itu. "Hm, dekatilah dia. Kalau sudah bisa mendekatinya, baru tanya ke aku lagi," tutur Fathan sedikit bercanda. Lagi pula salah sendiri sok cool. Bukannya seorang wanita manapun butuh kepastian?  "Fathan!" Suara Gibran terdengar naik satu oktaf. Kesal, karena dirinya sudah berusaha serius, tetapi sahabatnya itu malah mengajaknya bercanda. "Gib, kita ini bukan remaja lagi. Umur kita sudah hampir setengah abad. Sebenarnya tak salah jika kamu ingin menikah lagi, tidak akan ada halangan dan rintangan karena dalam Agama pun, seorang suami boleh menikahi empat wanita. Aku akan mendukungmu. Masalah Dzalim, biarlah itu soal belakangan. Yang terpenting saat ini carilah kebahagiaanmu sendiri. Sampai kapan kamu akan begini terus? Waktu kita juga sudah tak lama lagi, Gib. Jadi, gunakan waktu yang tersisa ini dengan sebaiknya," nasihat Fathan. "Kalau memang kamu merasa dia cocok dan merupakan pilihan yang tepat bagimu, lanjutkan. Jangan menunggu waktu lagi, karena waktu tak akan bisa menunggu kita. Biarkan dia menjadi pilihan yang bisa membuatmu bahagia." Lanjutnya. Gibran terdiam. "Bertindak, bukan hanya bengong disini! Aku kenal siapa dirimu, kamu memang lambat kalau sudah Masalah cewek," geram Fathan dibuatnya. Gibran mendengkus menatap Fathan kesal. "Itu tandanya, aku sosok yang setia," ujarnya membela diri. "Setia itu harus tahu tempat juga, jangan setia pada orang yang nggak sepantasnya mendapat makna dari sebuah kesetiaan. Bahkan, tak mengerti apa arti sesungguhnya dari setia." Tak menjawab ucapan Fathan, Gibran hanya mampu terdiam. Gelas espresso di atas meja, diraihnya. Dihisapnya minuman yang sudah menjadi favorit sejak jaman kuliah dulu itu. Rasa hangat melesat Masuk ke dalam kerongkongan, kepalanya mulai mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari bibir sahabatnya itu. Sepertinya dia perlu melakukan sesuatu yang agresif. Tiba-tiba dia terpikir sesuatu, sudut bibirnya memulas senyum mencurigakan. Suara ponsel berdering cukup nyaring, membuat Shafira yang baru saja selesai berbenah, berlari ke arah ruang tamu. Tangannya yang Masih basah, di usapnya dengan kaos yang dia kenakan. Kemudian diraih pula ponsel yang teronggok di atas lemari kecil itu. "Wa'alaikum salam," sahutnya setelah menjawab telepon. "Sedang apa?" "Makan," sahutnya seraya melebarkan langkah ke arah ruang tengah. "Jam segini baru makan? Takut gemuk?" Bu Anis tergelak. "Enggak kok. Lagi pula ini hanya makan roti gandum saja, tidak akan membuatku gemuk," sahutnya. "Oh iya, Ibu sehat?" Remote tv di raih dengan sebelah tangan kemudian melempar tubuhnya ke atas sofa empuk. Ah nyamannya, sofa baru. "Alhamdulillah, Ibu sehat. Masih makan?" "Enggak kok," elaknya. "Ini mau nonton tv," katanya lagi seraya menyalakan remote tv. "Minggu depan, kamu jadi pulang, Fir?" Shafira terdiam. "Em ... belum tahu juga sih, Bu, sebenarnya ingin sekali bertemu anak-anak dalam waktu dekat ini." "Hm, baiklah. Kalau ketemu mereka, salam ya dari Omanya. Ibu sangat merindukan mereka berdua." Bu Anis melepas kesedihannya. "InsyaAlloh, Bu. Awal bulan depan mungkin kami akan berkunjung ke rumah Ibu. Kebetulan juga sedang ada libur lumayan panjang," ucapnya serius. Sepertinya, sudah hampir lima bulan anak-anak tak bertemu neneknya. Dia pun sudah hampir tiga bulan lamanya tak datang menjenguk orang tuanya. Apalagi, beberapa minggu terakhir dia sibuk dengan urusan kantor. "Oh iya, Ibu tumben menelphon lebih dulu. Biasanya menungguku. Ada apa?" Remote tv di letakkan disamping tempatnya berbaring, kaki disilangkannya santai. Dulu, Tristan akan sangat marah dan menegurnya jika ketahuan tiduran dengan posisi seperti itu. Karena menurutnya, itu kurang sopan sebagai seorang wanita. Bu Anis mengembuskan napas berat. "Loh, kenapa buang napas berat begitu? Apa ada Masalah, Bu?" Dia khawatir setelah mendengar lenguhan berat ibunya. Tak seperti biasa, ibunya menunjukkan reaksi resah sedemikian jika tidak terjadi Masalah berat yang mengganggu pikirannya. "Adikmu si Taufan berulah lagi, Fir!!" Terdengar suara Bu Anis memekik dengan lenguhan panjang yang terdengar jelas ditelinga Shafira. "Astaghfirullah, kali ini dia utang pada siapa lagi, Bu?" Shafira tidak habis. Tak pernah kapok adiknya itu mencari Masalah, menambah beban orang tua saja. Dulu, sudah banyak uang yang keluar untuk membantu menyelesaikan Masalah adiknya itu. Tak berkesudahan pula Masalah itu. Heran. "Ibu tidak tahu, Fir. Semalam, Nurul telepon sambil nangis-nangis, dia bilang kalau Taufan suka main perempuan." "Astaghfirullahal 'adziim ... sejak kapan Taufan jadi seperti itu? Sudah banyak uang kah, sampai berani main perempuan?" geram hatinya. Emosi dia mendengar pengaduan ibunya yang seperti itu. Terlebih, dia memang sangat membenci pria yang main serong, tak peduli itu adik atau siapa pun juga. "Itulah yang Ibu pikirkan sejak kemarin, Fir." Bu Anis melenguh lagi. "Apa Nurul sempat cerita ke Ibu, apa yang membuat Taufan sampai tega main perempuan?" "Ibu tak banyak bertanya, lagi pula saat itu Nurul sudah nangis-nangis. Ibu rasa, sepertinya adikmu kena guna-guna perempuan lain, Fi. Ibu tidak percaya kalau adikmu akan bisa main perempuan. Selama ini, yang ibu tahu cintanya hanya untuk Nurul. Tahu lah sendiri bagaimana perjuangannya mendapatkan restu orang tua Nurul kala itu." "Bu, tak usah lah berpikir sejauh itu. Lagi pula, seorang pria itu kalau sudah gatal tanpa di guna-guna juga akan tetap mata keranjang. Akan tetapi, sebaiknya Ibu coba tanyakan lagi Masalah ini pada Nurul. Apa yang menjadi penyebab sampai Taufan tega main serong." Bukannya dia tak percaya akan hal-hal khurafat seperti itu, yang sebenarnya dia yakin hal demikian mungkin Masih saja ada di jaman modern seperti sekarang. Naudzubillah! Semoga dirinya dijauhkan dari hal yang dilarang Allah. "Iya, kalau bisa kamu temui adikmu itu. Berilah dia nasehat. Ingatkan dia pada anaknya yang Masih kecil." "Ibu tanyakan dulu yang sebenarnya, takutnya hanya salah paham saja." "Yasudah, kalau nanti ada apa-apa beritahu ibu. Kalau memang benar anakku yang bersalah, biar nanti ibu beri dia nasehat. Dulu sebelum nikah saja, bersenang-senang seakan tidak bisa dipisah. Sekarang sudah dimiliki, mau main tinggal begitu saja anak orang." Bu Anis bersungut-sungut. Dulu anak perempuannya dihianati, sekarang anak prianya pula berbuat curang. Memang tak bisa dibiarkan Masalah ini berlarut-larut. "Sabar saja dulu, Bu. Ibu baru mendengar dari satu pihak saja. Nanti salah menebak, kan' malu sendiri. Kalau sudah tahu Masalah yang sebenarnya, barulah bisa Ibu menjewer si angin topan itu," ucapnya disertai candaan karena tak ingin ibunya memikirkan Masalah yang bukan-bukan. Maklum saja, orang tua biasanya karena Masalah kecil, tak dapat tidur semalaman. "Cepat kamu cari tahu ya?" pesan Bu Anis lagi. "Iya bu, besok aku coba menghubungi Nurul, ya?" "Iya, baiklah." "Baik, bu, salam untuk Ayah ya, ibu jangan terlalu memikirkan Masalah dua anak itu deh. Nanti ternyata mereka hanya bercanda saja." "Ya baiklah, ibu paham. Assalamu'alaikum." Usai menjawab salam ibunya, sambungan telepon dimatikan. Bersama helaan napas panjang, ditatapnya benda pipih itu. "Fan ... Fan ... kenapa kamu harus melakukan hal itu?" ujarnya tak habis pikir. Diraihnya remote tv, lalu menekan tombol off. Setelah mendengar berita itu, hilang sudah seleranya untuk bersantai di depan televisi. Hah, tadi dia mudah sekali menasehati ibunya, sekarang dia sendiri yang jadi kepikiran. Kalau saja rumah Taufan dekat, malam itu juga dia akan menemui adik bungsunya itu. Sayangnya, rumah Taufan di Bandung. Jadi terpaksa dia harus bersabar. Di lemparnya remote tv ke atas sofa, lalu bangkit. Di ayunkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamar. Masuk ke dalam kamar, dia melempar ponsel ke atas ranjang. Baru akan melangkah ke kamar mandi, terdengar nada dering ponselnya meminta untuk segera di angkat. Tubuh memutar kembali ke tempat semula, kemudian meraih benda pipih persegi itu. Keningnya berkerut melihat nomor yang tertera pada layar. Meskipun nomor tersebut tak bernama, namun dia sangat yakin pernah melihat nomor itu sebelumnya. "Siapa?" bisiknya. Tetapi panggilan itu dibiarkannya saja sampai akhirnya mati sendiri. Baru saja akan meletakkan ponsel ke atas ranjang, deringannya memaksa untuk di angkatnya kembali. Panggilan dari nomor yang sama. Kening semakin berkerut, tetapi hati ragu untuk menjawab panggilan tersebut, sekali lagi panggilan itu dibiarkan tak bersambut. Malas main teka-teki, di lemparnya  kembali ponsel itu ke atas ranjang kemudian dia melangkah ke kamar mandi. Usai membasuh wajah dan memakai segala macam produk skin care pada wajahnya, wanita itu berjalan ke depan lemari. Mengeluarkan sepotong baju tidur, kemudian melepas kaos dan menggantinya dengan baju tidur bermotif bunga-bunga itu. Di taruhnya pakaian kotor ke dalam ranjang cucian disudut ruangan. Setelahnya, dia meraih kembali ponsel di atas kasur, tubuh di baringkan ke atas matras. Di bukanya aplikasi w******p. Terdapat sebuah pesan dari nomor yang baru saja menghubunginya. Tanpa pikir panjang, dia membuka pesan tersebut. Assalamu'alaikum, Shafira. Saya, Gibran Prabu Angkasa. CEO di tempat Shafira bekerja. Boleh saya bertemu denganmu besok?" –Gibran- Usai membaca pesan tersebut, sontak ponsel dalam genggaman Shafira jatuh ke atas matras begitu saja. Dengan mata membeliak, di tatapnya sekali lagi layar ponselnya. Gibran Prabu Angkasa, CEO di tempatnya bekerja? d**a terus berdebar, disaat yang sama dia teringat pesan yang diterima beberapa hari lalu dari orang yang sama. Ya Allah, pantas saja nama itu tak asing baginya. Ternyata Pak Gibran. Habislah kau, Shafira! Tapi kenapa CEO perusahaan menghubunginya tengah malam begini? Secepatnya dia meirik jam dinding. Pukul setengah dua belas malam, kerutan dikening semakin berlapis-lapis. Ada urusan penting apa sampai CEO menghubunginya tengah malam begini? Bingung, di garuknya kepala yang tak gatal dengan ujung jari. Habislah kau Fira, gajimu pasti akan dipotong karena tak mengindahkan panggilan Bos. Teringat pesan yang tadi belum dibalas, Shafira membuka kembali layar ponselnya, kemudian mengetikkan sesuatu. Wa'alaikum salam, maaf Pak Gibran. Saya tidak menjawab panggilan anda, tadi ada sedikit urusan. Sebenarnya ada Masalah apa, sampai bapak menghubungi saya malam-malam begini?-Shafira- Saya akan beritahu kamu besok. Temui saya jam sebelas pagi di ruangan. -Gibran- Dengan wajah menyeringai, sekali lagi dia menggaruk kepala yang tak gatal. Hm, sejak kapan dia berurusan dengan CEO? Bukankah hanya manajer senior saja yang menghadap beliau, untuk mendapat tugas atau arahan penting? Lalu untuk apa pula dirinya disuruh menghadap? Ish! Makin bingung saja. Baik, besok saya akan menemui bapak. –Shafira- Ikuti saja lah Fira, dia kan bos! Bisiknya menguatkan diri sendiri. d**a kembali berdebar tak karuan. Apa ini Masalah kinerjanya? Ah mana mungkin. Selama ini dia tak mendapat komplain apapun dari atasan. Atau, ada orang yang menyampaikan sesuatu hal buruk tentang dirinya? Hish! Itu lebih tidak mungkin lagi. Pusing kepalanya memikirkan semua itu. Usai mendapat balasan pesan dari Shafira, Gibran tersenyum. Sepertinya, hanya itu yang bisa dia lakukan untuk berkomunikasi dengan Shafira. Iya, dengan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan semuanya. Baik, saya tunggu Shafira di ruangan besok jam sebelas. Saya harap, kamu tidak akan terlambat karena saya ada urusan lain. –Gibran- Pesan yang baru di ketik itu dikirim dengan bibir tersenyum lebar. Dia tahu, Shafira pasti kalang kabut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia mendapat panggilan dari CEO. Hm... biarlah, dia rasakan. Itulah hukuman karena tidak mengindahkan panggilan dan tidak juga menjawab pesan darinya. Seharusnya Shafira tahu, betapa bimbang perasannya kala itu? Ditambah lagi rasa malu karena merasa tak dipedulikan. Haih, Gibran ... Gibran ... Sejak kapan mulai memaksakan kehendak? Gibran tersenyum tipis. Sejak dia tak dapat lagi menyembunyikan isi hatinya, ditambah suntikan semangat yang diberikan Fathan padanya. Walau apapun halangan dan rintangan yang ada di depan mata, dia akan tetap lalui bersama semangat yang kian membara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD