2. Kebebasan

3818 Words
Dua tahun, lebih enam bulan setelahnya "Shafira Aida Nadhifa, kuceraikan engkau dengan talak satu." Kalimat itu, sudah enam bulan berlalu. Entah kenapa, dia merasa benar-benar bahagia. Mungkin perceraian bagi sebagian wanita, adalah sesuatu yang mengerikan. Akan tetapi, Shafira justru sebaliknya. Dia merasa, kehidupannya usai berpisah dari Tristan terasa jauh lebih baik. Tanpa bayangan Masa lalu, beban, dan madu. Iya, dia tak pernah mau jika harus berbagi dengan orang lain, terlebih berbagi hati. Wanita manapun tak ada yang sanggup jika berbagi suami dan hati serta cinta dengan wanita lain, sekalipun bibir berkata "boleh". Apakah hati akan sanggup menerima? Apalagi yang dia inginkan saat ini, kalau bukan ketenangan lahir dan batin, yang hampir tak pernah dia dapat sejak menjadi istri Tristan. Mungkin hanya di awal pernikahan saja, pria itu membuatnya bahagia. Setelah beranak dua, menyentuh saja sudah jarang. Terlebih untuk urusan rumah tangga. Semua harus dirinya yang menanggung. Padahal, seorang wanita diciptakan bukan sebagai tulang punggung, melainkan tulang rusuk. Ah, mungkin Tristan sudah melupakan semua ajaran itu. Dia hanya peduli pada diri sendiri. Kalau memang dia suami yang sempurna, dia pasti akan merelakan semua jiwa dan raga untuk berbakti pada suami. Akan tetapi, suami hanya sekadar nama. Tanggung jawab entah hilang kemana.  Yang paling menyakitkan hati, sejak perpisahan itu, Tristan lepas tanggung jawab. Anak-anak dibiarkannya saja, seolah tak memiliki ayah. Anak orang diurusnya, sementara darah dagingnya dibiarkan terlantar tanpa nafkah. Itulah sifat pria. Pria tak berguna. Pandai menyemai benih, tetapi setelahnya tak mau tahu. Seolah kedua anak itu bukan darah dagingnya. Aku yakin, hidupmu takkan tenang, Tristan. Allah itu Maha Adil. Lihat saja, kurasa sebentar lagi hidupmu takkan sebahagia diriku! Batinnya membentak geram. Ah, bukan maksudnya mendoakan yang buruk. Dia hanya ingin melihat mantan suaminya itu menyadari kesalahannya. "Fira ...." "Shafira ...." Terasa sebuah tepukan dari samping tubuhnya, Shafira tersentak lantas menoleh. Nampak Zahra berdiri di sampingnya. Dia menatap sahabatnya sejenak, lalu menggosok bahu yang sedikit panas. Ish! Badan kecil, tapi pukulannya seperti ular berbisa. Itu belum lagi jika terkena jurus cubitan kalajengkingnya. Mungkin kulit akan mengelupas. "Ada Masalah? Kulihat dari tadi, sibuk melamun terus." Dahi Zahra berkerut memandang sahabatnya itu, kemudian menarik salah satu kursi dan duduk tanpa diminta. "Masalah?" dia menggeleng bersama tawa kecil di bibir. "I live my life with zero problem saat ini, Zahra. Saat ini, aku sedang menikmati Masa-masa hidup sebagai seorang janda yang sangat menyenangkan. Hidupku jauh lebih bebas, layaknya surga dunia telah kudapatkan." "Kurasa ya, hanya kamu saja wanita yang begitu bahagia dengan status janda. Wanita lain di luar sana, mungkin ketakutan bahkan sangat bersedih setelah sidang perceraian di resmikan. Kamu itu aneh, tahu Fir?" Zahra menyeringai. Heran dia dengan Shafira. Kenapa Shafira begitu kagum dan benar-benar menikmati statusnya sebagai janda. Hidupnya bahkan bisa setenang dan sebahagia itu, seolah tanpa ada beban hidup yang membayangi. Sedang orang lain? Mereka Masing-masing takut haknya dipotong. Ah, Shafira bukan wanita yang tak tahu diri seperti mereka. Dia paham seperti apa sifat Shafira. Dia adalah seorang wanita yang pandai menjaga maruah. "Zahra, menjadi seorang janda itu bukan sebuah aib, apalagi dosa besar. Memangnya, kamu akan bahagia jika berstatus istri, tapi maruah terinjak-injak. Bahkan tak pernah merasa dihargai sama sekali?" tandas Shafira. "Akan tetapi, tidak semua wanita berpikiran sama sepertimu, Fir. Ada tuh, yang rela hidup tersiksa, asal tidak menjadi janda," balas Zahra semakin bersemangat. Arah pembicaraan itu, membakar gejolak emosinya. "Mereka berpikiran seperti itu, karena Masyarakat kita juga. Pandangan mereka sinis terhadap wanita berstatus janda. Itulah yang menyebabkan banyak istri yang rela menjadi b***k dan korban keganasan suami. Mereka berpikir kalau janda itu kebanyakan tak bermoral. Jangan karena segelintir orang yang berperilaku kurang baik, semua jadi kena imbasnya. Bagiku, Ra. Jika seorang suami benar-benar sayang pada istrinya, dia tidak akan menjadikan wanita sebagai alat untuk kepentingannya sendiri Dan sebagai seorang wanita, kita berhak untuk mempertahankan hak. Bukan jadi lembu di cucuk hidung lalu pasrah dan terima saja saat diperlakukan dengan semena-mena. Itu kesalahan. Kamu harus ingat, Ra. Kita perempuan bukan hanya b***k nafsu pria, kita juga punya hati dan perasaan. Bukannya patung tak bernyawa. Sudah cukup selama ini aku dibodohi cinta, dan bertahan karena anak-anak. Dia lepas tanggung jawab dan membiarkanku menanggung semua, aku Masih bisa bersabar. Saat dia tiba-tiba ingin menikah dengan wanita lain, that's it! Kesabaran seorang wanita itu batasnya. Untuk apalagi aku menyusahkan diri sendiri? Menangis, meratap dan mengiba pada sosok pria tak berguna seperti itu. Lagi pula, Ra, apa gunanya jika aku bersuami tetapi terpaksa melakukan semua seorang diri. Bahkan mencari nafkah pun harus aku pula yang menanggung. Sebelum aku sakit jiwa, sebaiknya aku angkat kaki dan lambaikan tangan," tandasnya mempertahankan pendirian. Biarlah orang lain akan menganggap dirinya bodoh karena memilih jalan hidup sebagai janda. Apa pedulinya? Orang tak pernah tahu, apa yang selama ini terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Bukankah ini hidupnya. Biarkan dia sendiri yang akan menentukannya. Kalau susah pun, dia sendiri yang menanggungnya. Memangnya ada yang mau berbagi penderitaan dengan orang lain. Ah, orang hanya pandai berkomentar saja, dan berpikir hidup bahagia di dunia ini bisa selamanya. Apa mereka lupa, bahwa semua hanya pinjaman. Allah berhak mengambilnya kapan saja. Zahra mengangguk setuju. "Iya, aku paham. Lagi pula kurasa, tanpa dia hidupmu tak ada yang kurang. Kerjamu bagus. Rumah dan mobil pun, kamu dapat dari hasil kerja keras selama ini. Jadi, kamu tak rugi berpisah darinya. Menurutku, dialah yang merugi, bodoh pula telah membuang intan berlian sepertimu dan memilih kerikil jalanan," sengitnya penuh emosi. Jika mengingat tentang sifat buruk Tristan, memang selalu membuatnya emosi. Sudah dapat istri cantik dan baik Masih saja kurang. Malah lebih memilih janda, yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya. benar-benar memalukan sekali si Tristan itu! "Aku benar-benar merasa lebih tenang dan bahagia setelah kami berpisah, Ra. Biarlah dia melupakan anak-anak, karena aku Masih mampu mengurus mereka. Dosa dia dengan anak-anak biarlah dipertanggung jawabkannya kelak di akhirat!" ujar Shafira tegas. "Betul." Sekali lagi Zahra menyetujui ucapan Shafira. "Dia pelit pada anak-anaknya sendiri, hidupnya takkan bahagia. Allah Maha Adil. Siap-siap saja, Allah tarik dan menyempitkan rezekinya." "Setuju, Fira! Hah, biar tahu rasa dia! Huft! Emosi aku kalau ingat perlakuannya kepadamu, Fir!" sungut Zahra. Baru saja Shafira hendak angkat suara lagi, ponsel nya berbunyi. Tangannya meraih tas di atas meja, kemudian mengeluarkan benda pipih dari sana. Dilihatnya nomor baru yang tertera di layar. Wajahnya berubah Masam. Argh! Siapa lagi yang menghubunginya? Keluhnya. Sambil hati berpikir, haruskah ia angkat panggilan itu, atau membiarkannya saja tanpa balasan. "Jawablah, kenapa ngelamunin ponsel begitu. Tinggal angkat saja apa susahnya?" seloroh Zahra, heran dengan sikap sahabatnya yang aneh. Dengan wajah yang Masih sama seperti tadi, Shafira tersenyum. Bukannya tak mau menjawab, Ra, aku hanya takut untuk mengangkatnya. Bisiknya dalam hati. Akhirnya, panggilan itu terputus begitu saja tanpa jawab. Biar sajalah. Dia sudah bosan dan malas menanggapi bujukan p****************g yang mencoba mendekatinya. Mereka tahu, statusnya saat ini. dipikirnya, dirinya bisa begitu mudah mendapat rayuan, dioper kesana kemari. Ah, kalau wanita lain mungkin bisa. Akan tetapi sama sekali bukan dirinya, Shafira Aida Nadhifa. Jangan harap ya. "Siapa sih?" tanya Zahra berusaha mengintip ponsel sahabatnya itu. Shafira mengangkat kedua bahu. Menggeleng tegas. Tangan kembali menaruh ponsel ke atas meja. "Hm, penggemar rahasia rupanya," goda Zahra. "Lihat? Tristan melepaskanmu begitu saja, tak lama banyak pria lain mengantri untuk mendapatkanmu. Nampak sekali kebodohan Tristan itu!" Zahra tergelak. Shafira tersenyum kecut. "Biarlah, Ra. Entah sekarang dia sudah bahagia dengan istri barunya, atau tidak," ucapnya tenang. Kesal dia, karena Tristan telah lama menyakiti hatinya, tetapi sakit hatinya karena kegagalan Tristan dalam menunaikan tanggung jawab, Masih belum hilang. "Kurasa, dia tak akan bahagia, Fir. Ya, untuk setahun dua tahun mungkin iya, tetapi untuk mencapai surga, kurasa tak mungkin." Zahra terkekeh. "Tak baik mendoakan orang seperti itu, Ra." Shafira mengingatkan. "Loh, aku nggak mendoakan kok. Aku bicara fakta saja, Fir. Banyak pria di luaran sana, yang setelah menyampakkan istri pertamanya, lalu memilih hidup bersama selingkuhan, hidupnya sengsara. Banyak deh contoh yang kulihat. Apa kamu Masih berpikir kalau si Tristan itu akan bahagia?" balas Zahra. "Saat ini, bagiku. Seandainya suatu saat dia ingin kembali, walau memohon kepadaku, aku tak ingin menerimanya. Enam bulan tak melihatnya, hidupku terasa lebih tentram." "Aku setuju padamu. Jika nanti dia datang dengan menampakkan wajah sok sedihnya itu, abaikan saja." Shafira tergelak. "Aku nggak sanggup lagi lah, Ra, jika sampai menerimanya kembali. Lagi pula, aku juga tak mau di sebut sebagai pelakor. Meski sebenarnya dia juga yang telah merebutnya dariku." selorohnya. "Tapi, kalau dilayani boleh juga tuh, Fir. Biar istri mudanya tahu rasa, bagaimana sakitnya ketika hak kita di renggut!" Shafira berdecik. Uh! Ogah! Ponsel di tangan sejak tadi dilihatnya berulang kali. Sementara hati menimbang-nimbang, haruskah dia menghubungi Shafira sekali lagi atau tidak. Sudah dua kali nomor Shafira dia hubungi, tak juga mendapat jawaban. Apa yang harus dia lakukan sekarang? haruskah mengirim pesan untuk memperkenalkan diri? Tentu Shafira akan terkejut nanti. Hargh! Benar-benar buntu. Maklum lah, dia tak pandai merayu seorang wanita. Kisah cintanya dengan Marya dulu mengalir begitu saja. Tanpa perlu bersusah payah mengungkap kata-kata manis. Kerena mereka sama-sama telah dewasa dan telah memahami perasaan Masing-masing tanpa perlu di utarakan. "Gibran!" Pria itu mengangkat kepala, kursi di balikkan seperti semula, menghadap meja ruang kerjanya. Kening berkerut membentuk lapisan. "Ada Masalah?" tanya Fathan heran. Sudah lebih dari setengah jam dilihatnya, Gibran merenungi ponsel. Gibran berdehem, kepala menggeleng pelan. Ponsel dia taruh kembali ke atas meja, lalu diraihnya secangkir kopi yang mulai dingin itu, lalu menyesapnya pelan-pelan. Fathan tergelak kecil. "Kulihat, mukamu aneh saja hari ini. Tak seperti biasanya," usiknya. Gibran tersenyum tipis. Cangkir di tangan, diletakkannya kembali ke atas meja. Dia membenarkan posisi duduk yang sejak tadi bersandar pada kursi. Fathan pandai sekali membaca perubahan pada wajahnya. "Aku serius, enggak ada apa-apa," kilahnya. Mana mungkin dia berterus terang tentang apa yang bermain dalam benak. "Bagaimana kabar Marya?" Tahu Gibran tak ingin bercerita, digantinya topik pembahasan yang lain. Itulah yang mereka pegang selama ini. Walau bersahabat baik, mereka harus tetap menghormati privasi Masing-masing. Kalau Gibran ingin berbagi cerita, dia akan mendengarkan, pun begitu sebaliknya. Gibran menatap sahabatnya sejenak. "Ya seperti itulah keadaannya. Masih tak ada perubahan yang berarti. Setidaknya, dia sudah tak selemah dulu." jawabnya seraya mengembuskan napas berat. "Apa kamu tidak ingin mencoba pengobatan lain? Alternatif misalnya?" Fathan mencoba memberi Masukan. Gibran menggeleng. "Kamu pasti tahu lah, keluarganya seperti apa? Terlebih yang selama ini memonitor dia, Tante nya. Aku tak bisa berbuat apapun. Bahkan sekedar memberi saran pengobatan lain, dilarang." balasnya dengan senyum Masam dan wajah tertekuk. "Lalu hubunganmu dengannya, bagaimana?" tanya Fathan. Alis terangkat tinggi dengan kening berkerut. Tanda kalau dia sangat peduli pada perasaan sahabatnya itu. Gibran terdiam lalu menghela napas. "Entahlah, Than. Kuserahkan semua padaNya. Semoga Masalahku secepatnya berlalu." Fathan terdiam. Wajah yang berubah keruh itu, dipandanginya. Iba. InsyaAlloh Gib, Semoga suatu hari nanti, Allah akan membalas semua kesabaranmu dengan sesuatu yang jauh lebih indah. Doanya dalam hati. Dibukanya laci meja kerjanya, lalu mengeluarkan beberapa map yang berisi file, dan dokumen penting. Satu per satu map dibuka dengan perasaan gelisah. Ah, photocopy lembar perjanjian dengan Dennis Corporation itu entah lenyap kemana! Padahal seingatnya, file itu dia simpan rapi di dalam map. Tertumpuk bersama lembaran yang lain. Sedang kalut mencari dokumen penting tersebut, tiba-tiba saja sehelai kertas terjatuh dari salah satu map yang dibukanya. Wanita itu membungkuk dan memungut kertas tersebut. Perlahan dihelanya napas, kemudian membuka kertas berlipat dua itu. Shafira Aida Nadhifa, I've heard about what you're going through and I feel sorry. The only words that I can say, keep strong, Fira. Ingat, Allah takkan menguji hambaNya diluar batas kemampuannya. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala yang tidak kita ketahui. Percayalah pasti ada hikmah yang tersembunyi dari apa yang telah terjadi pada Fira. Allah telah ber Firman dalam QS Az Zumar : 10 قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ Yang Artinya : Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Be patient, Fira and please don't hurt too much! Oh iya, I found this in my reading. A good reminder written by Luqman San to cheer you up. Keep Smiling. When to give up? When it's not worth? When you are losing your sleep for someone  who sleep comfortably after hurting you at night that tear is nor worth it. When you are chasing for someone who already took another hand and left  you behind. Thar effort is not worth it. When you are the only one who need to fix your broken heart. And they keep making thing to be hard. That pain is not worth it. It's time for you to give up It's time for you to let go You don't have to get  hurt for somemone who let you fight for them alone. You deserve to be with someone who could make you happy. Love only works for those people who fight together. it needs both of the wings to fly. It needs two person to make it happen. If they don't Then won't If you are not happy Then let it free It's okay. To let go It's okay to give up now it's okay Dear Almighty, on this blessed day, we pray for those who are on the verge of losing hope and broken. Those who are trying to shake off  their past mistakes and return to you. Those who cry alone at night while the wordl sleep. Comfort them. Granth them ease and healing.  From : Someone who cares for you   Sekali lagi, surat usang yang sudah berusia dua tahun lebih itu dibacanya. Tiap kali membaca surat itu, hati selalu bertanya. Siapakah pengirim surat misterius itu? Sungguh! Dia heran dan bingung. Jaman secanggih ini, kenapa Masih ada orang yang mengirim surat. Bahkan dia tak tahu dari siapa. Karena surat itu tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya bersama bunga mawar merah, tepat disaat hatinya benar-benar hancur kala itu. Bertanya pada rekan kerja, tak ada gunanya. Mereka tidak tahu menahu mengenai siapa gerangan, insan yang bersembunyi dibalik kata-kata indah itu. Akhirnya dia lelah sendiri, memikirkan dan menebak siapalah pengirim surat misterius itu dan membiarkan kertas usang itu tetap di laci meja kerjanya. Jika suatu saat dia berhasil menemukan orang itu, kalimat pertama yang akan dia ucapkan adalah terimakasih. Terimakasih karena lewat selembar kertas yang dikirimkannya itu, mampu mengembalikan semangat yang hampir hilang dan menjadikannya wanita kuat seperti saat ini. Menjadikannya tidak takut untuk menempuh kehidupan baru yang jauh lebih baik. Sedang asyik melihat kertas surat berwarna merah tua ditangan, notifikasi w******p-nya berbunyi. Pandangan dialihkan ke atas meja, sebelah tangan meraih ponsel. Langsung dibukanya aplikasi berwarna hijau tersebut. Satu pesan baru dari nomor asing. Dahinya berkerut-kerut. Penasaran, dibukanya pesan asing tersebut dan dibaca. From : Gibran Prabu Angkasa Setelah membaca pesan gelap itu, dahi makin berkerut. Nama yang tertera dalam pesan itu dibacanya berulang kali. Gibran Prabu Angkasa? Siapa sih dia? Namanya terdengar tak asing dalam ingatan. Tak puas hanya menimbang-nimbang, DP pria tak dikenalnya itu, kemudian dibukanya. Argh! Dia kecewa, karena pria itu hanya menggunakan tangan yang sedang memegang pena sebagai DP nya. Hm... tak perlu kau layani, Fira! Melayani pria gatal yang berusaha mengambil kesempatan, tak akan ada gunanya. Ingat, fokus pada tujuan awal. Jangan mudah terbujuk rayuan oleh p****************g! Desis hatinya berusaha memberi motifasi untuk diri sendiri. kemudian, diletakannya kembali ponsel ke atas meja. Sementara surat yang sempat dibacanya tadi, di simpan kembali. Dia kembali fokus mencari dokumen penting yang entah terselip dimana. Kali ini, pencariannya diperluas. Setelah dokumen itu berhasil dia temukan, dibereskannya kembali semua map yang berserak di meja kerjanya, kemudian bergegas keluar. Langkah yang terburu-buru, membuat wanita itu menabrak seseorang sehingga map yang dipegangnya jatuh berserak di lantai. "Argh!" keluhan kecil nan panjang keluar dari bibirnya memandangi dokumen berhamburan di lantai. "Sorry, aku tak sengaja menabrakmu," ucap pria di depan Shafira itu sedikit kesal. Tubuh menunduk, dan dipungutnya dokumen yang tercecer di lantai itu, agar tidak semakin menyebar kemana-mana. Tidak ingin membiarkan pria itu memungut sendirian, Shafira lekas membantu. "Ini, dokumen milikmu," katanya mengulurkan dokumen itu usai memungutnya. Shafira tersenyum. "Thank You," sahut Shafira seraya menerima dokumen dari tangan pria dihadapannya. Senyuman pria itu, menghilangkan segala amarah yang sejak tadi menguasai diri. Jika tidak, mungkin saat ini, sudah habis pria itu kena omelannya. "Sekali lagi, maafkan aku," "It's okey. Bukan kesalahanmu sepenuhnya kok. Aku yang tidak hati-hati karena buru-buru sampai lupa nggak lihat kanan kiri," balasnya menyalahkan diri sendiri. Hm... sejak kapan Shafira jadi berhati lembut? Karena sama sekali ini bukan kebiasannya. "Bye the way, I'm Fakhri." Tangan terulur bermaksud untuk mengajak bersalaman. "Ah, iya. Aku Shafira," balasnya. Tetapi uluran tangan Fakhri tidak disambut. Hanya kepala yang ia tundukkan seolah menyambut salam perkenalan tersebut. Mengerti dengan bahasa tubuh yang ditunjukkan wanita dihadapannya, Fakhri tersenyum menurunkan tangannya. "Sorry," keluhnya sedikit kesal. Shafira tersenyum dan hanya menganggukkan kepala. "Oke, Aku terpaksa harus pergi sekarang, karena ada janji penting yang harus dihadiri. Semoga kita bisa berjumpa kembali." Dengan buru-buru, ia meminta diri. Tombol turun lift ditekannya. "Oh, sure, aku sangat beruntung bertemu denganmu, Shafira." Tak membalas kata-kata Fakhri, senyum terukir di bibir, dan kemudian meloloskan diri Masuk ke dalam lift setelah pintu lift terbuka sepenuhnya. Fakhri hanya melihat sampai bayangan Shafira lenyap dari pandangan. "Lama banget sih. Kita meeting pukul tiga tahu nggak?" Zahra menggerutu karena terpaksa menunggu lama. Shafira yang sudah berdiri dihadapannya, dipandangnya dengan wajah Masam. "Aku cari dokumen ini dari tadi. Nyelip diantara berkas yang lain. karena buru-buru, aku sampai celaka di dekat pintu lift tadi." Dokumen di tangan ia tunjukkan, lalu melanjutkan langkah. Eh Langkah Zahra terhenti "Celaka? Dimana?" tanyanya cemas. Tangan Shafira diraih, hingga membuat tubuh sahabatnya itu terjatuh ke arahnya. Tubuh tinggi semampai itu dipandangi dari atas ke bawah seolah  mencari sesuatu. "Kamu apa-apaan sih, Ra?" kesal Shafira. Tangan yang Masih dalam genggaman Zahra ditariknya. Ya Allah, bukan main paniknya sahabat terbaiknya itu. "Loh, bukannya kamu bilang kalau celaka tadi? Jadi, aku lihatlah sini, mana yang luka," balas Zahra polos. "Astaghfirullah! Aku nggak separah itu kali, Ra. Aku hanya enggak sengaja tabrakan sama cowok tak tahu lah siapa tadi. Dokumenku jatuh, makanya agak terkendala tadi," jelasnya. "Ooh, begitu. Ngomong-ngomong, cowok itu cakep nggak?" Pintu mobil Shafira dibuka lalu tubuhnya meringsek Masuk ke dalam mobil. "Lumayan. Chinese gitu wajahnya," sahut Shafira seraya menyalakan mesin mobil. "Wah, siapa namanya?" wajah Zahra semakin berbinar. Bibir bahkan terbuka lebar karena terlalu b*******h. "Fakhri," jawab Shafira pendek. Eh Zahra terdiam sejenak, berpikir. Nama itu sepertinya tak asing. "Apa maksudmu, Fakhri putranya Pak Abu Bakar juragan tanah itu?" tanyanya antusias. Shafira mengendikkan bahu. "Mana kutahu," jawabnya. Dikemudikannya mobil keluar dari parkiran kantor yang luas. "Hm. Mukanya seperti apa?" tanya Zahra Masih belum puas juga anak itu kalau soal cowok. "Ya Allah. Kamu sudah bersuami kan'? Jaga marwah dirimu, jangan sibuk menanyakan Masalah cowok lain lagi!" dengus Shafira. Kepala menggeleng-geleng heran. "Ish! Kenapa sampai kesitu pula pikiranmu. Aku hanya penasaran, kalau benar dia Fakhri putranya Pak Abu Bakar, kamu bakal terus ketemu sama dia." Eh? Shafira sedikit terkejut. Kepala menoleh ke samping, menunjukkan wajah garang yang hampir menerkam mangsa. Nah kena kau Zahra! "Kenapa aku akan ketemu dia terus, memangnya dia siapa?" "Dia itu manager pembangunan yang baru, tahu. Baru dua hari lalu beritanya menyebar dan sudah banyak karyawan yang membicarakan. Gitu saja kamu enggak tahu," terang Zahra. "Dih, aku heran deh sama kamu Ra. Serba tahu. Sejak kapan jadi paparazi tanpa di gaji? Sepertinya kamu lebih berbakat di dunia itu," rutuk Shafira. Zahra tersenyum tipis. "Fakhri itu sedang hot jadi buah bibir di kantor loh. Terang saja, dia ganteng, anak orang kaya, gaya-nya oke punya. Hampir semua defisi membicarakan tentang manager muda itu." Alis sedikit terangkat dengan senyum yang makin lebar. Shafira meruncingkan bibir. "Halah, aku nggak pernah dengar apapun tuh tentang dia, katamu hot?" ujar Shafira sengit. "Itu karena kamu aja yang nggak update, baby... lagi pula kan' selama ini, hanya kamu orang terakhir yang mengetahui berita apapun di kantor," balas Zahra tak mau kalah. Shafira tersenyum kecut. "Karena aku males ngomongin hal yang enggak penting, apalagi membicarakan orang lain. Biar saja orang yang membicarakan tentang aku," tandas Shafira serius. Zahra mengangguk paham. "Orang sibuk membicarakan kamu, karena iri sama kamu. Biarkan saja, jangan dipikirkan." "Hm. Siapa juga yang mau mikirin mereka. Terserah orang lain mau berkata apa. Selama ini, aku tidak pernah minta makan ke mereka kok. Kalau aku kesusahan juga, bukan mereka yang bantu. Takut benar aku mengambil suami mereka. Padahal aku bukan janda gatel seperti yang mereka tuduhkan. Kalau memang takut, kenapa tidak di kunci saja dalam lemari. Kuncinya buang ke laut." "Bagus, biar sekalian membeku di dalam sana. Baru mereka bisa mikir. Akan tetapi pasti sudah terlambat setelah mengetahui suami mereka membusuk di lemari." Zahra nampak terpancing emosi. "Haih, kejam kamu, Ra." Shafira tertawa. "Akan tetapi, menurutku laki-laki itu memang keras kepala sih. Sekali dia dilarang, maka semakin kuat pula keinginannya untuk semakin mendekati kamu. Makin banyak cara untuk mencari celah." "Begitulah. Pria memang aneh, Ra. Kadang, kita sendiri tak paham apa yang sebenarnya dia inginkan. Sudah punya istri yang cantik, Masih saja mencari yang lebih. Alasannya, dia ingin mencari yang lebih sempurna seperti keinginannya. Aku paling anti sama sosok pria yang beranggapan tidak cocok dengan istrinya, tetapi anak sudah berderet-deret layaknya kereta api." Zahra tertawa lebar. "Barang bagus cuy! Mau busuk juga tetap saja diembat. Bagi mereka, yang terpenting adalah keiginannya tercapai." Zahra membuka kaca mobil. Sesekali menatap jalanan yang padat kendaraan berlalu lalang. "Lelaki buaya darat. Aduh! Aku tertipu lagi!" Shafira mulai bernyanyi, hanya nada dan liriknya dirubah sesuai keinginan hati. "Syukurlah suamiku bukan tipe seperti itu. Semoga saja dia tetap setia sampai akhir sama aku. Dan kita bisa terus sehidup se surga kelak," harap Zahra dengan kepala tertunduk. "Dapat suami yang baik, di jaga. Jangan kamu yang malah berbuat aneh-aneh. Karena jenis laki seperti ini yang jadi incaran pelakor. Paham?" Pasalnya, bukan hanya pria saja yang mampu berbuat serong. Selama ada kesempatan, dan kurangnya kepercayaan dalam rumah tangga, dengan bisikan setan, tentu wanita pun bisa selingkuh. Hanya saja, kisah suami yang selingkuh lebih mendominasi Masyarakat kita. Maklum saja, seorang wanita tentu lebih heboh jika mengetahui suaminya main hati dengan wanita lain. Baru sebentar saja, namanya sudah terkenal di media sosial. Berbeda dengan pria, yang mungkin Masih ada rasa malu jika mengetahui istrinya selingkuh. Banyak yang tidak ingin mengunggah Masalahnya sampai ke muka umum. "Ih, jangan salah! Aku selalu memantaunya!" balas Zahra. Mendengar jawaban Zahra, Shafira hanya tersenyum kecil. Ah, dia punya rasa takut juga ternyata. Baguslah! Setidaknya dia tidak harus mengalami seperti yang apa yang menimpa dirinya. Selama ini yang dia tahu, akar dari permasalahan rumah tangganya adalah tidak pernah ada kesepakatan. Iya, tiap kali mengadakan diskusi apapun tak pernah sampai pada titik temu yang jelas. Layaknya cuaca tanpa kesepakatan, suasana langit yang terang, namun butiran gerimis berjatuhan tak berarah. Begitulah yang terjadi di dalam keluarganya. Semua serba abu-abu. Kali ini, pada akhirnya dia terbebas dari belenggu yang hampir membuatnya gila. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD