1. Flashback

1390 Words
Dua tahun lebih enam bulan lalu Shafira mendengkus kesal. Tristan ditatapnya tajam. Sudah jelas dia bersalah, tetapi pria itu tetap tak mau mengakuinya. Bahkan terang-terangan dia membawa wanita lain dalam istana yang mereka bina tanpa rasa bersalah sedikit pun. Entah, jenis pria macam apa Tristan itu? "Halah! Memang mas saja yang gatal. Kamu Masih beristri, tetapi berani main api dengan wanita lain, dan lagi mas pasti sering mencari celah. Katakan saja, sudah berapa bulan kalian berhubungan? Aku yakin, kamu approach dia lebih dulu, kan?" Kalimat itu terdengar lembut, tetapi cukup menghunjam. Jika pria itu Masih memiliki sedikit saja rasa malu, mungkin akan menyadari kesalahannya. Namun, dia bersikap biasa saja di tengah amukan istri saat dia ketahuan selingkuh. "Kamu jangan mengada-ada dan mengambinghitamkan  orang lain. Memang kamu saja yang tidak becus mengurus suami. Kamu terlalu sibuk bekerja, sampai aku mencari daun muda untuk sekadar menyenangkan hatiku," balasnya tak mau kalah. Dia terus mengandalkan keras kepala dan ambisinya. Shafira menarik napas, jengah. d**a terasa sesak, hati seolah tertusuk sembilu. Sakitnya jangan lagi ditanya. Sudah lama dia mencoba bertahan atas sikap suami yang mulai berubah. Akan tetapi kekuatan itu terkikis pula oleh keangkuhan dan sikap keras kepala pria yang telah menikahinya selama hampir sepuluh tahun itu. "Iya, kamu selalu menyalahkan aku atas semua Masalah yang ada. Lalu wanita itu, kurasa dia mungkin sudah tak laku. Makanya, mencoba mendekati pria beristri. Agar hidupnya terjamin. Begitu, kan?" tantang Shafira sekali lagi. Geram setiap kali pria itu diajaknya bicara, selalu berusaha mengelak. Padahal jelas-jelas dia bersalah. Wanita berkerudung orange itu menunduk, mencoba menenangkan hati dan pikirannya sendiri. Lelah berkutat dengan pekerjaan di kantor, lalu ditambah pula dengan Masalah rumah tangga yang semakin hari tak kunjung mendapat titik terang. "Fira!" jerit Tristan dengan wajah memerah menahan amarah yang mulai membuncah. Ditatapnya sekali lagi wajah istrinya yang tertunduk. Dia tak rela, jika Sofia sampai mendapat hinaan sekeji itu. Apa hak Shafira menghina calon istri barunya? "Kenapa, apa salah yang tadi Shafira ucapkan, Mas?" balas Shafira. "Jangan salahkan orang lain, untuk kesalahan yang kamu perbuat sendiri. Bukankah semua ini tidak akan terjadi, kalau kamu tidak berkeras kepala dengan menentang poligami?" Tristan Masih mencoba membela diri. Shafira mengurut d**a, mencoba menghilangkan sesak yang terasa semakin menghunjam. Apa pun yang dia katakan, seolah tak pernah ada benarnya. "Oh! Memang, selalu Fira saja yang bersalah. Kamu mau menikah dengan wanita itu, juga kesalahan Shafira? Benar, aku memang selalu salah di matamu!" "Kalau aku menikahi Sofia, tak ada yang salah, karena aku mampu. Lagi pula dalam Islam, poligami itu diperbolehkan. pria boleh menikahi empat wanita sekaligus." Tristan membela diri dan meninggikan hak nya sebagai seorang pria. Shafira tergelak. Mau poligami saja, sampai harus menyebut-nyebut tentang agama. Sepertinya, pria itu lupa. Sajadah di Musholla kecil dalam rumah saja, hanya sesekali di ciumnya, lantai Masjid entah berapa kali dalam setahun dipijaknya. Memang benar kata orang, seorang pria ketika memiliki segalanya akan melupakan apa pun, yang ada dalam pikiran hanya kebahagiaan dan wanita, untuk memuaskan nafsu birahinya semata. Naudzubillah. "Mampu?" Shafira tertawa. "Mungkin Mas lupa, siapa yang selama ini memenuhi kebutuhan keluarga, anak-anak, kesehatan, semua itu aku yang tanggung. Lagi pula, kalau hanya ikut sunnah dalam berpoligami takkan ada gunanya, kalau tanggung jawab hilang entah kemana! Islam memperbolehkan poligami bagi yang mampu memikul tanggung jawab dan berlaku adil. Akan tetapi, apa Mas mampu?" sindirnya pedas. Jangan mengungkit hal yang tak terlalu penting, Fira! Apa gunanya kamu bekerja jika tidak ikhlas untuk membantu suami. Bahkan pekerjaan itu justru yang membuatmu lupa pada kewajiban sebagai seorang istri." Tristan berujar lantang. Hanya itu kalimat yang sering terlontar dari bibirnya untuk membela diri. Kalimat itu pula yang membuat maruahnya sebagai suami hilang begitu saja. "Membantu? Apa Mas pikir, selama ini Shafira bekerja untuk membantu suami? Tidak. Fira justru menanggung tanggung jawab menafkahi dan menghidupi anak-anak. Selama ini, Fira bertahan demi mereka, anak-anak kita. Akan tetapi, apa balasan dari yang kulakukan untuk keluarga kita. Uang habis entah kemana. Digunakan untuk foya-foya, bahkan mungkin sudah habis, Masuk dalam perut perempuan-perempuan simpanan Mas itu!" Shafira berujar tegas. Sungguh geram dan sesak dadanya. Dia tumpahkan kekesalannya hari itu juga. "Apa yang telah terjadi ini, semua karena salahmu sendiri. Kamu yang tak becus menjadi istri. Melupakan tanggung jawab sebagai wanita bersuami. Kamu menolak keinginanku. Jadi, jangan salahkan aku kalau membawa wanita lain. Aku ini seorang pria waras, Fira. Aku Masih punya keinginan." Shafira mencebik. Dia tertawa dalam hati, tetapi tawa yang justru semakin membuat hatinya terluka lebih lebar. Oh, kenapa tak Kau ambil saja nyawanya detik ini juga? Tidak. Shafira lebih memikirkan nasib kedua buah hatinya. Jika dirinya tiada, bagaimana nasib kedua putra putrinya? "Keinginan? Mas hanya memikirkan ego dan nafsu saja. Kesalahanku, selalu nampak nyata di matamu. Tapi, apa Mas juga pernah melihat dan menyadari kesalahan sendiri? Coba, Mas pikir. Selama bertahun-tahun pernikahan kita, pernah tidak, Mas menjalankan tanggung jawab dengan sempurna? Kalau Mas tak mengabaikan tanggung jawab pada Fira dan anak-anak, aku pasti akan lebih ikhlas menjalankan tugas melayani Mas. Tapi selama ini, Mas telah membuatku memikul tanggung jawab besar, untuk mencari nafkah. Bahkan, Mas tak menganggap anak-anak kita itu ada. Mas tak pernah memikirkan tentang, makanan yang akan kami makan, ketika kami sakit pun Mas tak pernah memikirkannya, kan'? Uang gaji Mas selama ini lenyap ntah kemana. Masalah rumah tangga, semua Fira sendiri yang tanggung. Kalau Shafira tak bekerja, entah apa yang terjadi pada keluarga ini. Mungkin anak-anak dan aku akan mati kelaparan!" ucap Shafira lantang. Dilepaskannya semua amarah yang telah lama terpendam. Tristan tak habis-habisnya mengungkit tentang keinginannya yang belum juga terlaksana. Tapi, Tristan tak pernah memikirkan tentang lelahnya Shafira yang selama ini memikul semua tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga. Tristan seolah tak peduli. Setiap kali dirinya cerita tentang kelelahannya, balasan yang dia peroleh hanya menyakitkan hati saja. Cara terbaik yang dia lakukan, adalah dengan memprotes dan mengabaikan keinginan Tristan untuk poligami. Dia sadar, kalau itu tidak benar. Tapi, semua dilakukan agar suaminya sadar bahwa dirinya bukan sekadar patung atau pajangan yang tak memiliki perasaan. Tristan mendengus. Tak habis-habisnya Shafira mengungkit kegagalannya menjalankan tanggung jawab pada keluarga! Dia bosan mendengarnya. "Aku tak peduli. Aku akan tetap menikahi Sofia. Sofia itu beda, tak sepertimu. Sofia seorang yang lemah lembut, manja dan pandai melayaniku. Dialah sosok istri yang selama ini aku inginkan. Dan aku yakin, dia mampu memberi kebahagiaan lebih untukku!" Tegasnya. Tak peduli Shafira akan memberikannya izin atau tidak, dia tetap akan menikah dengan wanita itu. Toh, ia sudah berjanji pada Sofia. Mendengar pujian yang dilemparkan Tristan pada kekasih gelapnya itu, Shafira menghela napas. d**a terasa semakin berat dan sesak, diurutnya perlahan. Berusaha meredakan sakit. Tak betah untuk terus berdebat dengan suami, yang bakal menambah sakit di hatinya, wanita itu bangkit dari kursi. Air mata yang telah berdesak di seka dengan ujung jilbab, kemudian melangkah ke arah tangga menuju kamar. Dia tak ingin terlihat lemah di depan Tristan. Dia tak mau menjadi wanita yang tak memiliki harga diri di hadapan suami sendiri. Tidak, dia tidak akan mengiba bahkan merayu. Dia tak ingin menjadi wanita yang dunianya terhenti hanya karena suami egois. Perceraian adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Sudah cukup selama ini usahanya mempertahankan mahligai pernikahan, kini dirinya telah sampai pada satu titik keputusasaan. Seandainya ini adalah akhir dari ikatan yang telah bertahun-tahun terbina, dia rela. Dia harus kuat, sekuat baja! Bisiknya menguatkan diri sendiri. Ya, biarlah dirinya menjanda, daripada hidup bersama pria seperti Tristan. Ada suami tapi hidup tersiksa, apa gunanya? Lebih baik dia sendiri, dari pada makan hati. Miris. "Kamu pikir, aku akan menceraikanmu? Tidak. Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Shafira! Aku ingin kamu tahu dan merasakan, sakitnya hidup di gantung tanpa tali pengikat!" Langkah Shafira terhenti. Tubuh memutar kembali menatap Tristan. Wajah bengis yang tak berperasaan itu ditatapnya tanpa kata. Segitu kejamnya Tristan sampai menindas dirinya? Tristan ingin dia diam saja dan pasrah menerima keadaan? Sorry! Jika selama ini dia diam dan sering mengalah, tapi tidak untuk kali ini. "Mas pikir aku takut? Tidak. Shafira tetap pada pendirian semula. Mas ingin menikahi wanita itu, silakan. Tetapi, Shafira akan menuntut hakku. Fira akan mendapat kebebasan, dan jalan terakhir yang aku pilih hanya perpisahan!" tekadnya. Negara ada undang-undang. Tristan mungkin berpikir kalau selama ini dirinya wanita bodoh. Biarlah dia akan terus berjuang untuk mempertahankan haknya. Untuk apa dia harus tunduk di kaki Tristan. Tidak sekali pun. Ada Allah, dan dia percaya kalau Allah selalu bersamanya. Shafira melanjutkan kembali langkah kakinya yang sempat tertunda, menaiki anak tangga, seolah meniti jalan kehidupan yang baru.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD