Hari pun berganti. Akram kembali disibukkan dengan kegiatan mengurus toko. Bahkan waktunya hampir habis di sana karena ulah Frans. Namun, di akhir pekan ini ia tak mau tertipu dan menyempatkan diri pulang lebih awal.
"Karyawan belum pada pulang, kok Bosnya pulang," kelakar Frans. Ia tahu sejak tadi Akram sudah tidak tenang.
"Namanya juga Bos," timpal Akram.
"Bos beneran?"
Akram mendecih. Ia tahu, ia bukanlah pemilik sebenarnya. Toko ini tetap milik Mia. Namun, demi menjaga keharmonisan dua keluarga yang menjadi satu karena sebuah ikatan pernikahan, ia tetap menjalani dengan baik perannya. Akram pun berlalu tanpa lagi peduli dengan teriakan Frans.
Sebelum menjejakkan kaki di rumah, Akram membawa motornya ke suatu tempat. Beberapa hari ini ia nyaris tak mendapatkan kesempatan mendekati Mia. Di rumah, kadang ia sudah lelah. Energinya habis untuk segala macam kegiatan di toko sedangkan Mia seperti biasanya tidak pernah menuntut. Maka sore ini Akram ingin melakukan hal lain.
"Weh, ada juragan," kelakar Danang saat melihat Akram datang.
"Kuli, Mas. Bukan juragan." Akram mendudukkan diri di salah satu kursi tinggi di kafe itu.
"Walah merendah buat meroket aja, kamu."
Akram tersenyum samar. "Enggak, kok, Mas."
"Ya lah, ya. Senyamannya kamu saja."
Mas Danang kembali mengelap piring beserta gelas yang biasa digunakan di tempat itu untuk menyiapkan hidangan. Meski bertindak sebagai atasan, ia tak segan melakukan hal-hal semacam itu.
"Rios belum dateng, Mas?" tanya Akram menyadari belum melihat sahabatnya.
"Rios udah nggak di sini, Kram."
"Loh, keluar, Mas? Sejak kapan?"
"Udah seminggu. Katanya mau fokus di Betamart, aja. Waktunya habis kalau sibuk sana sini."
"Oh, Akram malah baru tau."
"Emangnya nggak ngubungin?"
Akram menggeleng. "Sekarang jarang banget, Mas."
Danang menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas berat mengingat alasan Rios keluar dari kegiatan paruh waktunya.
"Kenapa, Mas?" tanya Akram melihat sikap Danang.
Danang pun menggeleng. "Enggak apa-apa, Kram. Eh, kamu tadi pesen apa?"
"Waffle, Mas. Coklat sama strowberi."
"Bentar, ya, kayanya udah mateng."
"Oke, Mas."
Sambil menunggu pesanan itu datang, Akram mengedarkan pandangan. Di akhir pekan tempat tongkrongan seperti ini menjadi cukup ramai. Muda mudi tampak asyik bercengkrama di beberapa meja. Ada yang tampak begitu mesra. Akram pun begidig melihatnya.
"Pasti belum nikah," celetuk Akram.
"Nih, ready, Kram." Danang keluar dari dapur kafe sambil membawa dua kantong kertas.
"Makasih, Mas."
"Daripada dipesenin gini, sekali-kali ajak Mia ke sini. Biar romantis kalian," bisik Danang. Matanya mengarah pada pasangan muda mudi yang sejak tadi bergandengan tangan.
Akram tersenyum samar. "Kapan-kapan, Mas."
Akram berlalu dari kafe itu sambil memikirkan saran mantan atasannya.
Apa aku ajak sekarang? Pikirnya.
*
Di rumah, Mia disibukkan dengan kegiatan memahami bahasa inggris. Sebelum nanti ia belajar bahasa negara lain, bahasa inggris menjadi lebih utama. Ia tidak terlalu memikirkan ucapan Akram. Nyatanya, satu minggu ini semua berjalan seperti biasa.
"Apa Mas Akram cuma nggertak aku aja?" tanyanya pada cermin.
Suara bel pintu membuat Mia terlonjak. Ia pun bangkit dari duduknya dan segera melangkah turun ke lantai satu. Akram, sudah hampir satu minggu ini juga tidak mau membawa kunci sendiri. Ia bilang, saat ia pulang, Mia harus membukakan pintu untuknya.
"Udah pulang, Mas?" tanya Mia setelah pintu itu terbuka.
Akram mengangguk sambil berjalan masuk. "Capek lah, kalau sampe malam terus."
"Emangnya dibolehin sama Kak Frans?" Mia sedikit tahu bagaimana Frans memperlakukan suaminya di toko. Ia mendapatkan bocoran cerita dari ibunya.
"Aku tadi nggak pamit alias bolos," jawab Akram. Ia meletakkan dua kantong kertas itu di atas meja makan. "Ambilin piring, Mi," ujarnya.
"Bolos? Potong gaji, nggak, Mas?" seloroh Mia sambil bergegas memehuni permintaan Akram.
"Kamu nggak keberatan, kan?" timpal Akram. "Urusan keuangan biasanya yang protes istri."
Mia terkekeh. Candaannya ditimpali dengan baik oleh suaminya. "Nih, Mas."
"Aku tanya beneran, keberatan nggak?"
"Apaan, Mas. Bercanda aku."
"Pengennya full tiap bulan?" Akram semakin menggoda Mia.
"Udah, Mas, udah."
Akram terkekeh. Ia pun mengeluarkan makanan yang ia pesan dari Mas Danang. Begitu ia berhasil memindahkannya ke piring, ia tercengang.
"Kok diem, Mas?" tanya Mia heran. Ia tak terlalu memerhatikan karena beralih menyeduh teh untuk Akram.
"Eh, sejak kapan waffle topingnya begini?" tanya Akram pada dua waffle itu.
Mia pun berpindah. Ia melirik sekilas dan tersenyum mendapati kebingungan Akram. Ia sendiri cukup heran dengan tampilan waffle yang dibeli suaminya.
"Mas mandi dulu, aja. Ini tak bawa depan tv."
"Eh, iya." Akram pun dibuat salah tingkah dengan waffle itu.
Mia menekan tombol remote TV. Ia biarkan layar pipih itu menampilkan gambar bergerak. Meski, tak disukainya tetap ia biarkan menyala demi membuat keramaian di rumah itu. Setiap harinya rumah berlantai dua yang ia tempati, setia dengan keheningan. Mungkin, jika ada anak-anak di rumah, suasananya akan berbeda. Mia menepis angan-angannya. Terlalu jauh untuk saat ini.
"Belum dimakan?" tanya Akram setelah selesai membersihkan diri. Refleks Mia menoleh. Rambut Akram yang sudah sedikit panjang dan belum dirapikan membuat ujung-ujungnya tampak sangat basah. Akram semakin menawan.
"Kasihan, Mas."
"Kasihan?" tanya Akram sambil duduk di sofa.
Mia mengangguk. "Yang strowberi cantik banget topingnya, yang coklat manis banget pesannya."
Akram pun menggeleng, ia benar-benar tidak tahu Mas Danang akan membuatkan untuknya seperti itu. Terkesan itu hasil dari permintaanny.
I love you, Sweety.
Ah, terlalu manis bagi Akram dan Mia.
"Udah, nggak apa-apa. Kita makan aja." Akram mencondongkan badan. Ia mengambil sendok dan mulai memotong ujungnya. Mia juga mengikutinya.
"Gimana?" tanya Akram menanti reaksi Mia.
Sambil mengunyah, Mia mengangkat ibu jarinya. "Ini beli di mana, Mas?"
Akram tersenyum puas. "Beli di Mas Danang."
"Mas Danang? Mas Danang jualan?"
Akram mengangguk. "Lebih tepatnya punya kafe."
"Oh, gitu, Mas. Baru tau aku."
"Iya. Mas Danang kalau malem buka kafe. Enak tempatnya. Kapan-kapan aku ajak, ke sana."
"Wah beneran?"
Akram mengangguk lagi. "Iya. Udah lama itu kafenya."
"Memaksimalkan peluang, ya, Mas."
"Iya. Nggak tau tuh mau buat apa. Orang Mas Danang masih sendiri." Akram terus mengunyah.
"Buat modal nikah kali, Mas."
"Kali, ya," timpal Akram. Ia terus mengambil potongan waffle dan hampir menghabiskannnya sendiri. "Astaghfirulloh," ujarnya.
Mia terkikik. Sejak tadi Akram lahap sekali. "Laper, Mas?"
Akram mengulum senyum. Niatnya membelikan buat Mia tapi malah menghabiskan sendiri.
"Sorry, Mi."
Mia menggeleng. Baginya tak masalah. Ia malah senang. "Masih ada yang coklat," timpal Mia.
Mia mendekatkan piring itu. Ia pandangi tulisan yang ada sambil terus tersenyum. Benar-benar manis sesuai dengan rasanya. Akram menanti akan seperti apa respons Mia sambil terus memerhatikannya.
"Bismillah, aku potong ya, kamu," ujarnya. Ia mulai menyuapi mulutnya dengan waffle rasa coklat.
"Emmmmm, ini tambah enak," ucapnya. Sontak membuat Akram tersenyum melihat tingkah Mia yang menggemaskan.
Mia pun mengambil potongan kedua. Kali ini lebih besar dari sebelumnya. Ia nikmati lagi seorang diri.
"Sini, deh," ujar Akram.
"Apa, Mas?"
Akram menggeser posisi. Jika sebelumnya ia duduk di sofa, sekarang bersama Mia, ia duduk di karpet. Akram cabut satu tisu dari wadahnya.
"Belepotan," ujar Akram sambil menempelkan tisu ke bibir Mia.
Refleks Mia menjauh, namun Akram menariknya. Dengan telaten ia membersihkannya. Mia bergeming. Mau dulu atau sekarang, berdekatan dengan Akram selalu membuat hatinya berdebar. Ia memang jatuh cinta pada pemuda ini sejak pandangan pertama.
"Besok pagi kita jalan-jalan, ya," ujar Akram masih setia dengan aktivitasnya.
Mia pun mengerjap. "Ya? Ke mana, Mas?"
"Kamu maunya ke mana?" tanya Akram. Meski sudah bersih, tetap saja ia bersihkan. Rasa coklat di bibir Mia cukup membuatnya tertarik.
"Ehmmmm, ke mana, ya?"
"Masa nggak ada," timpal Akram. Makin diperhatikan, ia semakin menginginkan.
"Ehmmmmmmm." Mia tidak punya tempat tujuan pasti. Ia memang lebih senang di rumah. "Ke mana?"
"Malah nanya."
"Bingung, Mas."
"Ya udah habisin dulu honey sweetynya," ucap Akram sambil terus menatap Mia. Meski sangat ingin merasai coklat dari bibir itu, ia mencoba menepisnya. Ia tak mau terburu-buru, terlebih ia sudah mengutarakan niatnya.
Mia pun mengalihkan pandangan dengan melihat ke arah waffle. Sangat manis ucapan itu, sampai ia takut tak bisa menghabiskannya.
Besok ke mana?