Bab 71: Tantangan Tiga Puluh Hari

1281 Words
Di tempat lain, Frans sibuk menyiapkan berkas. Mulai dari paspor Mia hingga beberapa administrasi lainnya. Frans cukup tersentak saat akhirnya Mia memutuskan pergi ke Irlandia bukan ke Swiss seperti yang dipikirkannya. "Ada satu tempat yang pengen Mia kunjungi. Kakak tau betul tempat apa itu." Ucapan Mia tentang alasan mengapa harus Irlandia kembali terngiang. "Katamu akan pergi dengan orang tersayang. Kalau perlu buat bulan madu. Kamu yakin?" Kala itu Mia mengangguk. Ia sudah yakin karena dari semua tempat yang ada, hatinya lebih condong ke sana. Ia akan tinggal di sebuah pondok dengan perbukitan yang indah. Frans pun menutup memori itu. Ia tak boleh terlalu dalam memikirkannya karena ia ada untuk membahagiakan adiknya. Maka ia tak bisa melarang meski menyayangkan sikap Mia. Seharusnya Mia pergi ke sana dengan seorang yang benar-benar disayang. Bukan malah dengannya. Frans menyimpan rapi berkas-berkas itu di laci kerjanya dan tersentak saat mendapati sang ibu sudah berdiri di belakangnya. "Ibu," ucap Frans kaget. "Lagi mikirin apa? Dari tadi ndak denger ibu ngetuk pintu." "Ah, maaf, Bu. Frans terlalu fokus." Sufi melirik ke dalam laci. Ia tak bodoh untuk sekadar membaca judul berkas apa yang disiapkan Frans. Namun, ia tak sampai hati jika meminta Frans menunjukkan secara langsung. "Apa itu permintaan adikmu? Apa sebenarnya pernikahan mereka tidak baik-baik saja?" tanya Sufi, teringat akan ucapan Mia yang ingin kuliah ke luar negri. "Maksud Ibu?" "Adikmu bilang pengen kuliah. Anehnya pengen kuliah yang kaya kamu. Bukannya itu terlalu mendadak?" "Mia udah bilang ke ibu?" tanya Frans kaget. Rencananya mereka hanya akan bicara setelah semuanya beres. Sufi mengangguk. "Baru pengantar. Mia seperti mencari tau dulu kira-kira bagaimana respons Ibu." "Ibu jawab apa?" Frans juga penasaran mengingat ia belum membahasnya dengan orangtua mereka. Sufi mengangkat bahu. Rasanya aneh saat putrinya menanyakan hal itu ditambah sorot mata yang tampak putus asa. "Apa kamu tau sesuatu, Frans? Apa ada yang salah dengan mereka?" Sufi justru memberi Frans sebuah pertanyaan. Kekhawatirannya yang belum sempat tersampaikan pada siapa-siapa lepas di depan putranya. Frans berdiri. Ia paham tabiat sang ibu jika sudah begini. Frans pun menepuk lengan Sufi, pelan. "Mungkin Mia sedang ingin mengembangkan diri, Bu. Mia sedang perlu melihat kembali bakat yang sebenarnya ia miliki." "Tapi Frans, itu udah lama sekali dan Mia sepertinya sudah tidak minat lagi. Aneh, Frans." Frans tersenyum samar. Ia tahu betul alasan adiknya ingin kuliah di luar negri. Mia hanya sedang berusaha menghindari Akram. "Lagian aneh kalau sampai Akram ngebolehin, Frans. Mereka mau LDM? Ibu bayangin aja nggak bisa." Sufi semakin dibuat ketar ketir. Frans tersenyum lagi. Ia perhatikan raut wajah Sufi yang semakin hari semakin berkerut. Perempuan yang sudah merawatnya layaknya seperti anak sendiri. "Positif thinking, Bu. Mia tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan pasti. Pesan Frans kalau memang nanti Akram mengizinkan dan tidak keberatan, Ibu harus dukung Mia. Jangan sampai Mia kehilangan kesempatan lagi." Sufi pun terdiam. Ucapan putranya ada benarnya. Namun, ia ragu hal itu akan berdampak baik bagi kehidupan pernikahan putrinya. Hari ini ia mendengar kabar tak sedap perihal perceraian kakak kandung Akram. Hal tersebut membuatnya memikirkan banyak hal termasuk bagaimana kehidupan rumah tangga putrinya berjalan. "Ayo kita turun, Bu," ajak Frans. Ia tahu sudah waktunya makan malam. Ayahnya pasti sedang menunggu. * Sejak siang Akram menjadi tak tenang. Hingga malam menjelang ia sibuk dengan kegiatannya membereskan kamar tamu dan enggan bertemu dengan Mia. Setelah membersihkan diri, Akram menutup pintu kamar itu dengan kasar. Ia marah akibat dari obrolannya bersama Mia. Ia berusaha mengabaikannya namun justru obrolan itu kian mendominasi. "Satu bulan lagi katanya? Yang benar saja," gerutu Akram. Segera ia mencari ponselnya untuk menemukan informasi. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Akram membuka laman pencarian di ponsel tersebut dan mengetikan nama sebuah negara. IRLANDIA. Setelah beberapa penjelasan dari mesin pencarian muncul, Akram membacanya satu per satu. Sayangnya bukan ketenangan yang ia dapatkan, melainkan kekesalan yang semakin memuncak. Akram pun tak kuasa menahan itu semua. Ia harus menanyakan langsung pada sumbernya. "Ya, Mas?" ujar Mia dari dalam kamar. Akram kembali mengetuk pintu itu. "Keluar bentar. Kita makan." Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Sudah cukup terlambat bagi mereka. Mia yang baru akan menyantap menu pesanannya dari sebuah aplikasi pun berhenti. Ia bawa mangkuk itu sambil meninggalkan kamar. "Ada apa, Mas?" tanya Mia santai. "Turun." Mia mengernyit. "Turun?" Akram mengangguk. Segera ia ambil alih mangkuk itu dengan tangan kanan dan menarik tangan Mia. "Mas," ucap Mia. Akram cukup kasar. "Kita makan di bawah." Mia tak berani membantah. Ia ikuti langkah Akram yang cukup cepat. Meski ia harus terseok. Dapur menjadi tempat Mia mendudukkan diri setelah Akram memaksanya. Di atas meja rupanya sudah ada satu menu yang juga sama seperti miliknya. Mia pun menatap Akram. "Temani aku makan. Aku juga baru mau makan," terang Akram. "Mas pesen juga?" "Iya. Kenapa pakai pesen sendiri?" "Maaf," ucap Mia. Ia belum memeriksa dapur dan malah main pesan makanan seenak sendiri. "Sebagai gantinya temani di sini." Mia pun mengangguk kecil. Ia mulai memegang kembali sendoknya dan meneruskan makan malamnya. Ada kekhawatiran mengingat wajah Akram terlihat merah padam. "Apa kamu sudah bilang Bapak dan Ibu? Apa mereka mengizinkan?" tanya Akram. Ia menjadi tak sabaran. "Belum, Mas. Baru mau bilang setelah Mas izinkan." "Kalau aku tidak mengizinkan, apa kamu tetap akan berangkat?" Mia pun tersentak, ia nyaris tersedak. "Mas," ucapnya. "Kamu hanya berdua dengan kakak angkatmu. Kalian bahkan nggak ada hubungan darah. Kalian bisa aja melakukan hal yang macam-macam." Akram tak mampu menahan diri. Ia kehilangan kendali. "Mas!" pekik Mia. Tuduhan itu sudah sangat tidak pantas untuknya. "Seandainya aku melarang, apa kamu bakal nurut? Apa kamu bakal batalin rencana itu?" tanya Akram lagi. Ia menjadi tak bisa mengontrol diri karena emosi. "Beberapa hal sudah kusiapkan, Mas. Mana mungkin dibatalkan." "Seandainya," ulang Akram. Mia menggeleng. Sulit baginya menarik kembali niat itu di saat ia sudah ingin melakukannya. "Satu bulan lagi? Iya?" tanya Akram kembali mempertegas semuanya. Mia mengangguk. "Iya, Mas. Ada beberapa hal yang masih kurang." "Kalau begitu aku mau ajak kamu bikin tantangan." "Tantangan?" tanya Mia. "Kita mulai semua dari awal dalam waktu satu bulan. Kalau dalam kurun waktu itu perasaan kita tetap sama, maksudku sesuai dengan apa yang kamu ucapkan di kamar tadi siang, aku bakal ijinin kamu pergi. Tapi, kalau kita ternyata sepakat untuk menjalani hal yang berbeda, kamu dilarang pergi." Mia terperangah. Ucapan Akram sangat kontraproduktif dengan apa yang disampaikan saat di kamar. Hal ini membuat Mia sulit untuk memahaminya. "Intinya gini, per hari ini kita jadian. Kita jalanin layaknya orang ngejalin hubungan. Kita lihat perkembangan satu bulan itu. Jika memang tak ada rasa seperti yang kamu bilang, aku siap nglepas kamu." Mia tak mampu bekomentar. Jadian? "Aku pengen semuanya jelas, Mi. Aku nggak mau ada di posisi buram lagi," imbuh Akram. Mia bergeming. Ia tak bisa menimpalinya. Apakah Akram tengah menyatakan perasaannya? Mia semakin dibuat bimbang. "Sekarang, kita makan dulu. Suami istri udah sewajarnya makan bersama kayak gini. Nggak ada istilahnya makan sama tidur sendiri-sendiri." Sebuah senyum Akram terbitkan. Ia tak bisa lagi menahannya. Jika memang itu benih-benih cinta, ia akan mulai menyemai hingga tumbuh dengan baik. Mia tertegun. Apa artinya Akram mengakui bahwa perasaannya sebenarnya terbalas? Atau ini hanya akal-akalan pria itu agar ia tidak jadi pergi. Mia menggeleng kecil. Benar dan tidak ia hanya perlu menjalani. Melihat bagaimana perkembangan hubungan mereka satu bulan nantinya. "Gimana? Deal?" "Apanya yang deal, Mas?" "Kamu terima tantangan aku?" "Em...." Mia berpikir sejenak. Semua serba mendadak. "Oke. Diam berarti iya." "Eh, kok gitu?" Sekarang waktunya makan. "Aaaaaaaa...." Akram menyodorkan sendoknya dan berusaha menyuapi gadis itu. "Apaan, Mas?" "Terima aja. Kamu hanya perlu menerimanya." Akram mendekatkan kembali sendok itu. "Good," ujarnya saat Mia mau menerima suapan pertama mereka. Akram mengulum senyum. Hanya dengan mendekati langsung sumbernya, kemarahan dalam dirinya pun mereda. Semburat rona merah di pipi Mia tak pelak membuatnya semakin yakin dengan ide absurd dadakannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD