Bab 89 : Janji Kita

1247 Words
Berulang kali Akram menghela napas. Bagaimana pilihannya menjadi sangat sulit untuk dijalani. Ia terhimpit keadaan yang tidak bisa ia sepelekan. "Aku nggak mau tau. Kamu harus bujuk Mia," ujar Frans setelah menunjukkan layar ponselnya. Tiga hari berselang setelah peristiwa itu, Hilmi masih terus memantau. "Sedang kuupayakan." "Kalian juga belum berpamitan dengan Bapak." "Insyaallah nanti malam kami ke rumah." Frans mengangguk kecil. Artinya Akram tak melalaikan janjinya. Pemuda itu bisa dipegang omongannya. "Baiklah. Aku pulang duluan." Akram membiarkan Frans meninggalkannya. Ia masih setia dengan tatapan lurus ke depan. Menembus jendela kaca berukuran besar. Lepas tiga hari ia tak akan lagi menginjakkan kaki di sini. "Pak Akram?" "Ya?" "Ini ada paket untuk anda." Salah satu pekerja memberikan apa yang ia bawa untuk Akram. "Makasih, Pak." "Baik, Pak." Setelah pekerja itu undur diri, Akram tersenyum simpul. Apa yang ia pesan khusus untuk Mia, tiba lebih cepat dari prediksinya. Akram pun merogoh ponsel di saku celananya. "Lagi apa, Mi?" tanyanya langsung ke inti. "Assalamualaikum ...." "Ya, waalaikumsalam. Lagi apa?" "Lagi siap-siap. Lagian nggak pulang dulu, Mas." Mia mulai mengeluhkan permintaan suaminya. Meski badan belum sempurna bugar, masih memaksa bekerja. "Sorry. Kamu jadi repot ya." "Nggak juga. Ya udah aku jalan, nih, Mas." "Serius jalan?" "Iya." "Wah, kapan nyampainya," kelakar Akram. "Maksudnya?" "Katanya jalan?" "Naik ojol," sahut Mia ketus. Akram terkekeh. Digoda semacam itu Mia selalu tidak terima. "Hati-hati di jalan, ya." "Siap!" Panggilan itu terputus. Akram mengakhirinya duluan. Mungkin, ke depannya tak akan ada lagi panggilan-panggilan semacam ini. Akram kembali memandang keluar lewat jendela besar itu. Seandainya ia tidak bermain api lebih dulu tak akan ada hal semacam ini. * Mia sudah lebih dulu sampai di rumah orangtuanya. Ia membawa beberapa potong baju milik Akram, karena mereka berencana menginap. "Mana suamimu? Lama sekali?" tanya Sufi saat melihat langit sudah semakin gelap. "Nggak tau ini, Bu. Padahal udah janjian sama Mia." "Coba ditelpun. Takutnya ada apa-apa." "Iya, Bu." Mia melihat kembali ponselnya yang memang sedari tadi sudah ia bawa. Nomor Akram tentu menjadi tujuan utama. "Eh, itu!" seru Sufi. Tampak motor Akram mulai melintasi gerbang. "Alhamdulillah," ujar Mia seraya membatalkan panggilannya. "Sore, Bu. Maaf, saya terlambat." "Sore, Kram. Iya kok lama. Katanya tadi jam tiga pada nyampe sini." "Macet, Bu," jawab Akram singkat. "Ya sudah kita tunggu di dalem, ya." Akram mengangguk. Iya mengulas senyum pada Mia yang masih setia menunggunya. "Tolong," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bingkisan. "Apaan?" "Nanti aja kalau di dalam." Mia pun mengangguk. Dengan sabar ia menanti Akram selesai memarkirkan motor di garasi. Ia tak penasaran tentang bingkisan itu. "Ayo!" seru Akram seraya mengajak Mia masuk ke dalam rumah gedong itu. Akram tak terlalu kaget saat di ruang makan sudah ada Frans dan juga ayah mertuanya. Ia paham betul bagaimana Frans berharap agar ia bisa membicarakan perihal izin kepergian Mia pada ayah mereka. "Eh, sini, Kram." Agit melambaikan tangan. Akram mengangguk kecil. Terlebih dulu ia menyalami Agit untuk kemudian Frans. "Belum makan, kan?" "Belum, Pak." "Pas kalau begitu. Ambil piring, Bu!" seru Agit. Akram tak menolak. Seharian ini, ia memang enggan menyantap makanan bahkan untuk sepotong roti. Rasa laparnya menguap di udara mengingat apa yang harus terjadi di depannya nanti. "Lauk apa, Mas?" tanya Mia. Sebagai istri ia memastikan pilihannya sesuai. "Ngikut kamu saja, Mi." "Hmmmm, ngikut," kelakar Agit. "Iya, Pak. Apa pun pilihan Mia, Akram akan terus mendukungnya, Pak." "Apa pun?" sahut Frans. Akram menelan ludah. Mungkin sudah waktunya mereka membahas. "Iya, Kak." "Termasuk kalau Mia mau sekolah lagi?" Deg! "Sekolah lagi? Mia?" tanya Agit tak percaya. "Kata Akram tadi kan apa pun, Pak. Ya misal kalau Mia beneran pengen ikut Frans kaya dulu-dulu berarti Akram gak bisa nglarang." Agit beralih menatap putrinya yang terpaku pada detik itu. Benarkah sang putri menginginkannya lagi? "Jelas diizinkan, kan Kram?" ulang Frans sebagai bentuk penegasan. "Kak," sela Mia. "Kapan pun kamu mau berangkat, kakak siap loh Mi." "Bentar, bentar. Ini ada apa sebenarnya? Mia beneran mau ikut kamu?" "Iya, Pak. Mia udah bilang lama ke Frans. Cuma dia takut aja kalau misal Akram nggak ngijinin. Nah, mumpung di sini dibahas sekalian saja, Pak." "Mia...." "Iya, Pak?" "Beneran?" tanya Agit semakin heran. "Mia sempat bilang ke Akram, Pak. Cuma Mia bilang takut bapak tidak mengizinkan. Kalau, Akram selagi Mia mau, Akram tidak akan melarang." Jelas ini kesempatan bagus bagi Akram untuk memulainya. Tanpa harus berpusing ria memikirkan awalnya. Frans sangat membantunya. "Mia...." Mia tak bisa mengelak. Awalnya ia memang ingin pergi dan hanya butuh izin dari ayahnya saja. Ia tahu, Akram sejak pertama bahkan memintanya pergi selagi bisa. "Sudah, sudah. Kita bahas soal sekolah Mia nanti saja. Sekarang yang penting makan." Sufi yang datang membawa lauk tambahan menengahi perbincangan itu. Ia sangat paham mengingat ia tahu lebih banyak dibandingkan suaminya. "Lepas ini, temui Bapak di ruang kerja." "Nggih, Pak." *** Ada rasa tak nyaman di hati Akram saat melihat Mia keluar dari ruang kerja mertuanya. Tanpa perlu bertanya ia bisa menyimpulkan seperti apa suasana di dalam sana. Namun, Akram tetap berusaha menampakkan kepeduliannya di detik akhir kebersamaan. "Kenapa? Dimarahin?" tanya Akram sambil meraih jemari Mia. Gadis itu menggeleng. Sebenarnya dari raut wajah saja sudah mewakili isi hati, tetapi ia mengelak dengan menggeleng. "Bapak kaget." "Pasti. Wajar banget itu." Mia mengangguk kecil. Ia melepaskan genggaman Akram. "Kenapa?" "Mas beneran mau aku pergi?" tanya Mia dengan harapan Akram tidak menjawab iya. Akram mengangguk kecil. Ia sudah berjanji, pantang baginya mengingkari. Mia semakin kecewa. Ia membalikkan badan dan merasa kesal. "Hey ...." Mia tak peduli. Ia terus berjalan menaiki anak tangga. Ia harus menenangkan diri sebelum bulir bulir bening itu berjatuhan tepat di depan suaminya. "Mia," panggil Akram seraya mengimbangi langkah perempuan itu. "Ayo aku temenin," ucapnya kembali meraih jemari Mia dan menautkan dengan miliknya. Mia pasrah. Ia biarkan Akram menariknya hingga mereka tiba di kamar masa kecil Mia. Akram terus memberikan perhatian. Sampai-sampai membantu Mia duduk di tepian ranjang. "Aku punya sesuatu buat kamu." "Apa?" "Tapi janji dulu sama aku." Mia mengerjap. "Apa?" "Bingkisan yang aku titip di mana?" "Itu!" Mia menunjuk meja belajarnya. Akram pun berjalan untuk mengambilnya. Ia tersenyum kecil seraya menekuk lututnya. "Janji satu hal sama aku." "Janji apa, Mas?" "Apa pun yang terjadi kamu harus berangkat sesuai rencana." Mia mendongak. Ia tidak mau tangis itu kian menjadi. "Mia ...." "Mas ...." "Jangan kecewakan banyak orang, Mia. Terlebih dirimu sendiri. Kamu akan menyesal jika gagal mencobanya." Akram menatap penuh harap. Mia menggeleng. Hidungnya memerah. Air mata tak bisa ia hentikan begitu saja. "Sejak awal kamu ingin membuktikan apa di antara kita benar-benar ada rasa. Maka ini kesempatan terbaik yang mungkin datangnya tidak sampai dua kali. Lakukan selagi kamu merencanakannya, tunaikan rasa penasaran itu hingga kamu menemukan jawaban." Mia terus menggeleng. Ia mulai menyusut hidungnya. Ia tidak ingin pergi setelah apa yang mereka lalui beberapa hari ini. "Pergilah, dan pulanglah setelah kamu lulus dari sana. Aku akan menunggu." "Mas ...." "Buka, Mi." Mia melihat bingkisan di pangkuannya. "Hadiah spesial buat perjalanan kamu." "Nggak perlu gini, Mas." "Perlu. Bapak kasin izin, kan?" Mia mengangguk. Ayahnya setuju bahkan menyambut baik niatnya. Namun, kecewa karena Mia tidak memberitahu sejak awal. "Apa ini, Mas?" "Cantik kan? Kayaknya cocok di punggung kamu." Akram berusaha membesarkan hati Mia. "Dipakai terus biar kerasa deketnya." Sebenarnya Akram pun mencoba menahan sekuat-kuatnya agar ia tak menitikkan air mata. Mungkin, ke depan tak akan lagi ada hadiah-hadiah kecil yang bisa ia berikan untuk Miana Agya. "Makasih, Mas." Mia menghambur ke pelukan Akram. Sontak membuat pria itu nyaris terjungkal. Beruntung, Akram mampu menahannya. "Sama-sama, Sayang." Akram mengusap lembut kepala Mia. Ia tahu ini akan segera berakhir, maka ia mengukir memori indah di hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD