Frans cukup kebingungan harus memulai kebohongan dari mana. Mia sudah menerornya terus menerus sampai ia tak bisa lagi membuat alasan. Hingga malam menjelang, ia memutuskan membawa pulang Akram ke rumah. Ia tak bisa merekayasa lebih banyak insiden itu.
“Nggak salah?” tanya Danang yang tak setuju dengan pendapat Frans. Seharusnya Akram menginap dulu barang satu malam.
“Mia khawatir di rumah. Repot kalau dia yang ke sini.” Frans mencoba menjelaskan alasannya membawa Akram .
“Lantas kamu membawa Akram pulang?”
Frans mengangguk. Tidak ad acara lain lagi. “Lagian Akram juga setuju.”
“Benar, Kram? Apa kamu mau?”
Akram mengangguk juga. Ia memang lebih senang jika langsung pulang dibandingkan harus pindah rumah sakit. “Lebih aman dan anti ribet, Mas. Aku Nitip Rios, Mas.”
“Siap. Kamu nggak usah khawatir. Kamu focus ke lukamu dulu. Ilang gantengnya,” goda Danang. Di mana pun selalu bisa mencairkan suasana.
“Iya, Mas. Makasih.” Akram pun mulai berjalan mengekori Frans. Ia tak memedulikan keberadaan Nasha yang jelas-jelas ada di rumah sakit itu juga. Ia belum siap bertemu lagi dengan gadis itu.
“Nggak dilihat dulu?” tanya Danang saat mereka melewati tempat Nasha dirawat. Tatapan mata Akram mengisayaratkan yang berbeda.
“Lain kali saja, Mas. Akum mau pulang.”
“Ya, benar. Lagian Mia juga udah nunggu.”
Danang mendecih. Frans sangat ikut camput. Tampak jelas dari caranya memperlakukan Akram dan Mia. Tipe ipar laknat.
“Hati-hati, Kram. Jangan sampai kamu kenapa-napa di jalan. Atau malah diantar ke kuburan.”
“Kau!” sentak Frans.
“Canda guys!”
Mendengar celoteh Danang sontak membuat mata Frans membulat. Ia pun menyeret langkahnya dengan cepat. Sengaja meninggalkan Akram.
“Kak Frans!” seru Zaki yang kebetulan sedang ada di sekitaran rumah sakit itu.
“Eh, Zak, kamu? Ngapain di sini?”
Frans dan Zaki bersalaman. Sementara Akram hanya mengangguk kecil.
“Jalan-jalan, Mas. Eh itu jatuh apa berantem?” tanya Zaki langsung ke inti. Wajah bengkak Akram menjelaskan semuanya.
“Yang kedua, Zak,” sambar Frans. Di depan Zaki ia memang sering terbuka.
“Wah parah. Harus jujur nih sama istri. Nggak bisa bilangnya kecelakaan.”
“Betul,” kelakar Frans.
“Ini mau pulang berarti, Kak?”
“Iya, Zak. Nganter dia dulu.”
“Baliknya?”
“Ya, sendiri, Zak,” jawab Frans menyesali situasinya.
“Aku ikut aja, Kak. Sekalian ketemu Mia.”
“Kan udah waktu itu?” Frans mengingatkan momen Zaki ke rumah mereka.
“Nggak lama, Kak. Sampai lupa kalau mau kasih buku.”
“Oh, ya? Kamu ke sini naik apa tadi?”
“Ojol, Kak. Lumayan kan gratis baliknya. Searah juga.”
“Ya udah ayo.”
Tanpa merasa canggung, Zaki langsung duduk di bangku penumpang bagian depan. Kedekatannya dengan Frans membuatnya percaya diri melakukan itu. Sementara Akram yang hanya bisa menahan sakit serta geram diam saja. Ia tidak mau membuat masalah.
Sesampainya di rumah, Mia menyambut kedatangan mereka. Tentu Mia tersentak melihat kondisi Akram dengan wajah tak beraturan seperti itu.
“Mas, kok bisa?” tanya Mia penasaran. Ia memeriksa detail wajah suaminya.
“Panjang ceritanya. Aku capek Mi mau istirahat. Kalau perlu usir tamunya juga.” Akram berbicara dengan keras. Ia sengaja mengusir Frans dan Zaki agar tidak terlalu lama. Ia butuh istirahat.
“Eh, kok gitu, Mas?”
“Udah kamu anter aja ke dalem. Kita di sini,” ujar Zaki. Ia harus memberikan buku untuk Mia. Namun, Frans menolak saran itu.
“Kita langsung aja, Mi. Kamu istirahat sama Akram.” Frans tida mungkin menutup mata. Ia bisa dengan jelas melihat wajah sembab adiknya. Terlebih sebelum semua ini terjadi mereka sempat bersitegang. Frans menjadi sangat canggung.
“Nggak minum dulu, Kak?”
“Nggak usah.”
“Eh, tapi aku aus, Kak.”
“Udah lain kali aja.”
“Buk….”
Belum selesai Zaki bicara, Frans sudah menarik keluar pria muda itu. Mengingat ke depan Mia dan Akram harus berpisah, Frans tak sampai hati menganggu mereka.
Sepeninggal Zaki dan Frans, Mia menutup rapat pintu rumahnya. Ia bergegas menyusul suaminya ke kamar tamu tapi tak ada. Mia pun mencari-cari di mana Akram.
“Mas…Mas!” panggil Mia seraya berjalan ke lantai dua. Sepertinya Akram ada di sana.
Mia pun mendorong pintu kamarnya dan mendapati sang suami tengah terbaring lemah. Mia mengayunkan langkah. Ia mendekat dan menatap lekat wajah babak belur Akram.
Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Mia tak berani mengungkapkannya karena ia takut menganggu Akram. Ia pun berdiri kembali dan akan menanyakannya lain kali. Namun, lagi-lagi Akram menariknya seperti yang sudah-sudah. Mia terdiam. Ia tak menolaknya. Sementara Akram berusaha untuk duduk.
“Temani aku,” kata Akram sambil meminta Mia bergeser.
“Ya, Mas.”
Keduanya saling diam. Mia tidak ingin bertanya meski sangat penasaran. Sekuat hati ia menahan.
“Apa sakit, Mas?”
Akram mengangguk.
Apa menyenangkan berkelahi, Mas?
Lanjut Mia di dalam hatinya. Ia memang tak akan menanyakan lebih banyak. Ia paham bisa saja Akram habis menghajar Rios. Begitu pikirnya. Akram pun menggeser tubuhnya. Ia menjadikan pangkuan Mia sebagai tempat pulang untuk pertama kalinya.
*
Sejak subuh, Mia sudah sibuk di dapur. Ia harus memikirkan menu yang cocok untuk Akram yang sedang tidak enak badan. Kemampuan Mia dalam memasak memang tidak begitu baik, tapi ia mencoba sebisanya. Dengan panduan resep dari google, Mia mengeksekusi menu bubur ayam dengan bahan seadanya.
“Bismillah semoga suka.” Mia pun melepas appronenya. Ia bersiap memanggil Akram di kamarnya. Namun, suara bel pintu rumah menghentikan langkahnya.
“Siapa yang bertamu jam enam pagi?” tanya Mia sambil mengganti arahnya berjalan. Ia terpaksa membuka pintu utama dulu.
“Ya, sebentar,” ujar Mia sambil menarik kenop pintu.
“Pagi, Mi. Gimana kondisi Akram?”
Mia terpana melihat siapa yang datang. Sepagi ini dengan penampilan yang tergolong rapid an menawan.
“Ya, Sha, Hai,” jawab Mia canggung.
“Aku dengar Akram kelahi sama Rios, Mi. Jadi aku pastikan ke sini. Nih aku bawain buryam.”
“Buryam?”
“Iya. Bubur ayam langganan aku sama Akram dulu. Diterima ya, Mi.” Nasha menyorongkan wadah bubur ayam itu.
“Ah, ya. Makasih banyak.”
“Ya udah kalau gitu salam buat Akram, Mi. Kalau ada apa-apa kabarin aja. Aku kan tetangga kalian.” Nasha berusaha tersenyum meski wajahnya masih tampak pucat. Semalam ia juga nekat pulang meski disarankan menginap. Dan pagi ini ia mendapat pesan tak terduga dari Akram.
Mia terbengong. Dari mana Nasha tahu soal pertikaian Akram dan Rios? Lalu tentang bubur ayam? Mengapa harus sekarang? Mia menenteng wadah itu dengan malas seraya membawanya ke dapur.
“Udah turun, Mas?”
“Udah. Tadi denger bel bunyi.”
“Ah, iya. Ada yang antar buryam.”
“Buryam? Siapa yang antar, Mi?”
“Tetangga, Mas.”
“Tetangga? Tetangga yang mana?”
“Sebelah,” jawab Mia malas. Ia letakkan wadah itu di atas meja tanpa membukanya. Ia menuju panci tempatnya membuat bubur.
“Wah, ini kok kaya buryam langgananku, ya. Siapa yang antar, Mi?”
Deg!
Akram menyadari wadah itu. Artinya Akram akan lebih senang menyantap yang memang menjadi makanan favoritnya.
“Nasha, Mas,” ujar Mia sambil menaruh bubur ayam buatannya di atas meja.
“Wah, pasti enak. Aku makan yang ini aja, ya.” Akram mengambil wadah itu seraya membukanya.
“Hemmmm, wangi banget,” imbuhnya.
Mia cukup meradang menyaksikan bagaimana Akram semangat menyantap bubur ayam. Seharusnya Akram menghargai usahanya yang sudah bersusah payah memasak. Namun, justru sebaliknya.
“Aku bawa ke depan ya, Mi. Sambil nonton ty.” Akram beranjak dari dapur dan menikmati bubur ayam itu seorang diri.
Hati Mia mencelos. Apa artinya ini semua? Ia pandangi bubur ayam buatannya. Ia ambil satu sendok dan melahapnya sendirian. Pagi yang sangat tidak ia harapkan.
Akram memakan bubur ayam itu dengan lahap. Meski tidak berselera akibat dari bengkak di wajah, ia berpura bahwa bubur ayam di depannya sangat istimewa. Ia harus mulai membuat Mia terbakar dan kalau perlu meninggalkannya mengingat waktu yang tidak banyak tersedia. Setelah memastikan Mia tak memerhatikannya, Akram mengetik sebuah pesan untuk Nasha.
[Akram ; Thanks, Sha.]
Nasha yang mendapat pesan itu hanya bisa menahan air mata. Ia tak mengira saat sebelum subuh Akram menghubunginya hanya untuk menyusun rencana. Nasha memang mendengar dan melihat langsung bagaimana Akram melindungi orang terdekatnya dari Hilmi.
[Nasha : You’re welcome Kram.]
Nasha menantikan balasan selanjutnya namun sampai beberapa menit berlalu tak kunjung tiba. Ia pun melempar ponselnya asal dan merasa hatinya kesal. Tak seharusnya Akram melakukan itu semua. Tak seharunya orang-orang menderita karenanya. Nasha semakin menyesal. Ia menjadi pesakitan yang merepotkan banyak orang.
“Pergi kau! Pergi! Kau tidak seharusnya di sini. Kau membunuh ayahmu!”
Pyarrrrr!
Nasha menutup telinga. Ia tersiksa saat sang ibu mulai berteriak seperti itu. Setiap hari ia harus menghadapi ketidastabilan mental ibunya akibat dari kematian sang ayah. Nasha cukup menderita. Ia mau tak mau harus menjadi orang pertama yang mengurus ibunya. Beberapa bulan ke belakang, sang ibu mendapat perawatan medis. Tabungan yang diberikan ayahnya cukup untuk membiayai itu semua tapi tidak lama. Terkadang, ia juga mendapat uluran tangan dari Hilmi.
“Anak tidak tahu diri! Bikin ayahmu mati. Kalau tidak karena kamu. Dia masih hidup di sini!”
Teriakan itu semakin kencang. Kali ini ditambah gedoran di pintu kamarnya. Nasha benar-benar frustrasi menghadapi sang ibu.
“Sudah, Bu. Sudah. Non Nasha lagi belajar,” ujar asisten rumah tangganya yang sampai sekarang masih setia. Nasha setiap hari juga harus memikirkan akan membayar dengan apa. Kehidupan Nasha berubah drastic. Ia goyah begitu penopang hidupnya patah. Ia menjadi sangat lemah.
Nasha duduk di sudut kamarnya sambil menekuk lutut. Ia tak berdaya atas takdir yang menimpanya. Sekarang, bahkan bebannya bertambah. Ia tak bisa mengabaikan Akram yang menyelamatkannya dari kebejatan Hilmi. Hampir saja hal paling berharga dalam dirinya koyak. Terlambat barang sedikit, ia tak tahu bagaimana nasib tubunya. Nasha menunduk dalam. Ia biarkan air matanya jatuh tak tertahan. Luka yang setiap hari tumbuh, semakin membawanya jauh dari kehidupan yang dulu. Kini, ia seorang diri. Meratapi nasib dan kemalangan yang menimpa dengan begitu mudahnya.