Bab 87 : Kecelakaan

1407 Words
Akram mendorong brankar yang membawa Rios dengan cemas. Bagaimana bisa sahabatnya menjadi sasaran kemarahan Hilmi dan berakhir seperti ini. Ia yang semula akan menghakimi sahabatnya itu mengurungkan niat. “Anda juga terluka, Pak. Silakan ke ruang perawatan,” saran salah satu perawat yang sedang menangani Rios. “Selamatkan sahabat saya, Dok,” ujar Akram begitu melihat tim dokter datang. “Baik, baik. Silakan luka anda juga diobati.” Akram pun kalah. Ia tidak bisa menunggu Rios lebih lama karena ia sendiri harus mendapatkan perawatan. “Mana Rios?” tanya Mas Danang yang langsung datang ke rumah sakit begitu Akram menghubungi. “Parah, Mas. Lagi ditangani.” “Kamu juga, Kram. Ada apa sebenarnya?” Akram hanya menggeleng. Di samping ia belum mau bercerita, memar dii wajahnya juga mulai terasa sakit. “Permisi, biar saya obati dulu,” ujar perawat yang datang menyela pembicaraan Akram dan Danang. “Baik, baik, Sus.” Danang pun berusaha mencari tahu. Selain Rios dan Akram, ia melihat Nasha yang sedang duduk di brankar dan ditunggui oleh seorang pria. Danang mendekat untuk mengetahui kondisinya. “Sha,” panggil Danang. “Mas Danang,” ucap Nasha sambil menangis. Apa yang ia pendam tadi kini tumpah lagi. “Kamu baik-baik aja?” Nasha mengangguk. Dibanding Rios dan Akram, lukanya cukup ringan. Hanya tamparan dari Hilmi saja yang melukai wajahnya. “Anda….” “Frans. Kakaknya Mia.” “Aaaa,” timpal Mas Danang. Namun, sejurus kemudian ia tersadar. “Mia punya kakak?” Frans mengangguk. Memang belum banyak yang tahu. “Saya Danang, kakak mereka bertiga,” ujar Danang memperkenalkan diri. Ia memang sudah menganggap Rios, Nasha, dan Akram seperti adiknya sendiri. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Danang kembali teringat akan hari ini. Frans ingin menceritakan detailnya namun ia melihat gelengan kecil Nasha. Ia pun mengurungkannya. “Mereka bertiga kecelakaan.” “Kecelakaan?” Frans mengangguk. Alasannya mendapatkan persetujuan dari Nasha. “Kalian mau ke mana kok bertiga?” todong Danang. “Reuni, Ka,” jawab Nasha singkat. Sontak hal itu membuat Danang tak percaya. “Kenapa bajumu begitu? Kenapa baju Akram utuh?” Nasha tergagap. Ia mana bisa mengelak saat Danang menodongnya seperti itu. “Namanya kecalakaan kadang memang begitu,” timpal Frans. Nasha tersenyum simpul. Ia berterima kasih sekali karena memang belum ingin banyak yang tahu soal peristiwa itu. “Ya sudah kalau begitu. Biar Mas Danang tanya ke Akram saja nanti.” Danang pun berlalu. Ia tahu ada rahasia di balik luka-luka yang diderita ketiga adiknya. “Makasih, Ka,” ujar Mia setelah Danang meninggalkan mereka. “Kenapa berbohong?” “Saya belum berhak menceritakannya.” “Kamu bukannya yang tadi di gerbang?” Nasha mengangguk. Ia memang sempat melihat Frans dan pria ini juga menolongnya. “Kau kenal Hilmi?” “Iya, Kak.” “Kalian sepasang kekasih?” Nasha pun mendongak. Ia enggan mengakui hal itu. Hilmi yang ia kenal semakin hari semakin mengerikan. “Saya terjebak,” lirih Nasha. “Kau juga mantan kekasih Akram? Perempuan yang ada di video itu?” Nasha mengangguk. Tentang ia yang mantan kekasih Akram memang benar tapi tentang apa yang seharusnya tida direkam sungguh membuatnya marah. Hening menyelindap. Nasha tak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang siapa dirinya. Hingga getar ponsel milik Frans menyelamatkannya. “Ya, Mi. Gimana?” Kakak beneran nggak tau? “Nggak tau, MI. Kakak nggak ketemu dia.” Mas Akram bilangnya mau ketemu Rios. Apa mungkin Mas Akram…. “Jangan berpikiran macam-macam. Nanti coba kakak hubungi.” Benar ya, Kak. Mia khawatir. “Iya. Kamu tetap di rumah dan kunci semua pintu.” Kenapa harus dikunci, Kak? “Demi keamanan. Dah, kakak tutup dulu teleponya.” Frans mematikan panggilan dari Mia. Ia tidak ingin adiknya itu terlalu khawatir. “Itu Mia?” tanya Nasha sedikit memberanikan diri. Frans mengangguk. “Bagaimana kabarnya?” “Kau kenal adikku?” “Iya, Ka.” “Kalau kenal seharusnya kau tanya langsung padanya.” Frans pun beranjak dari brankar Nasha. Setelah mendapatkan infus, Nasha mungkin diperbolehkan untuk pulang. Ia memilih mengurus Rios dan Akram. * “Bagaimana keadaanmu?” tanya Frans setelah melihat Akram sudah selesai diperiksa. “Hanya luka luar,” jawab Akram santai. “Apa rencanamu selanjutnya?” Akram menghela nafas. Ia menjadi teringat akan janjinya pada Frans dan Hilmi. “Lakukan sesuai rencana Kak Frans saja.” “Jika Mia menolak?” “Aku akan membujuknya.” “Apa omonganmu bisa dipegang?” Akram mengangguk mantap. Meski berat berpisah dengan Mia, ia harus melakukannya. Nyawa Rios menjadi taruhannya. “Aku akan memberi kabar pada Mia kalau kamu kecelakaan. Sebelumnya kamu harus pindah rumah sakit dulu.” “Pindah? Mengapa pindah?” “Kau tidak akan membeberkannya pada Mia bukan? Bagaimana jika Mia curiga terlebih melihat kaian ada di rumah sakit yang sama.” “Ahh iya. Hal itu ada benarnya.” “Kau mau pindah ke mana bebas.” “Ke puskesmas saja kalau bisa.” “Puskesmas? Mana ada?” “Bukankah aneh jika tiba-tiba ada di rumah sakit besar?” Frans terdiam. Ia tak terlalu menanggapi karena ia sudah punya pilihan sendiri. “Mumpung di sini aku ingin bicara.” “Ya, bicara saja.” “Mia sangat ingin ke Irlandia karena ia ingin melihat sebuah tebing.” “Tebing?” Frans mengangguk. Ia masih ingat bagaimana Mia kecil berharap bisa mengunjungi tebing itu. Entah Mia mendengar dari mana tentang tebing yang terletak cukup jauh dari tempatnya tinggal. Ia juga bertutur tentang mitos yang beredar. “Kalau ke Tebing Moher mau lompat pun tidak akan ada yang tau. Asyik bukan, Kak?” “Kenapa ingin lompat?” “Emmmm biar Mia nggak ada lagi di dunia.” Frans memejamkan mata. Ingatan tentang celoteh Mia kerap datang begitu saja. Mia kecil selalu membuatnya ingin melindungi gadis itu. “Kau tanya sendiri tebing apa. Siapa tau dengan kau membahas itu Mia tetap berminat untuk pergi.” “Bukannya Mia ingin kuliah? Bukan melihat tebing?” “Entahlah. Aku sendiri tak paham apa tujuan utamanya. Yang pasti sebagai kakak aku hanya memfasilitasi.” “Apa Mia sudah bilang Bapak?” Frans menggeleng. “Baru ibu yang tau. Makanya aku datang niatnya mau ajak kalian. Malah seperti ini.” “Maaf,” ujar Akram. “Sudah terlambat. Harusnya sejak awal kau tidak bermain dengan perasaannya.” Akram pun menunduk dalam. Ia benar-benar menyesal. “Lalu bagaimana rencanamu? Apa hanya dengan membujuk cukup? Bagaimana dengan pergi dari keluarga kami?” Akram mendesah. Ia memiliki banyak sekali hal yang harus dikerjakan. “Biar menjadi urusanku.” “Baik. Aku akan coba mempercayaimu. Waktumu hanya satu minggu.” Akram mengangguk. Demi nyawa sahabat dan keberlangsungan D and M ia akan mengupayakannya. Termasuk membuang dirinya dari kehidupan Mia. “Satu lagi, Kram.” “Ya?” “Tidak boleh ada yang tau selain kita bertiga.” Akram mengangguk. Ia jelas akan menjaganya. Dan ia percaya Rios serta Nasha pun sama. Setelah yakin Akram bisa menjaga dengan baik omongan serta perbuatannya, Frans meninggalkan tempat perawatan itu. Ia juga harus melakukan beberapa hal demi bisa menutupi ini semua dari Mia. Danang yang sejak tadi menunggu Frans pergi segera mencari tahu. Ia cukup tersentak karena mendapat info Akram harus pindah rumah sakit. “Ada apa sebenarnya, Kram?” tanya Danang tiba-tiba. Akram menggeleng. Ia tak bisa bicara. Yang ada hanya setitik air mata di pelupuk matanya. “Sakit?” tanya Danang memastikan. Akram mengangguk. Ia memang sakit sekali di dalam hatinya. Membayangkan harus menalak Mia dan berpisah setelah apa yang mereka lakukan tentu sangatlah menyakitkan. Akram menunduk dalam. Ia tergugu karena tak mampu menjaga orang-orang yang ia sayangi dengan benar. “Jangan beritahu keluargaku, Mas. Jangan.” “Kenapa begitu? Apa mereka tidak penting sampai tak boleh tau?” Akram menggeleng. Bukan itu maksudnya. Ia hanya belum siap membongohi mereka semua. “Mas Danang pasti paham.” “Apanya yang paham, Kram? Aku tanya Nasha pun dia diam saja. Apa perlu aku tanya Rios yang sedang dioprasi?” “Oprasi, Mas?” Danang mengangguk. “Ada banyak luka di tubuhnya. Tidak mungkin itu kecelakaan biasa. Itu lebih mirip penganiayaan.” “Seberapa parah, Mas?” “Sangat parah. Berdoa saja teman kamu selamat.” Akram pun tersentak. Jika begitu apa yang terjadi pada Rios sangat fatal. “Perbuatan siapa? Setidanya kamu beritahu aku jika yang lain tidak.” Akram meminta Danang untuk mendekat. Ia bisikkan satu nama di telinga mantan atasannya itu. “Hilmi?” Akram pun mengangguk mantap. Putra dari atasan Danang lah yang telah melakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD