Bab 85 : Dua Pilihan

1752 Words
“Kamu tau dari mana, Mi?” tanya Akram sambil membantu Mia berdiri. “Aku mencoba bertanya pada Mas, tapi Mas diam saja.” “Maksudku dari mana rekaman itu?” Mia menggeleng. Ia tak sampai hati menceritakan detailnya. “Apa Mas tidak ingat sama sekali?” Akram diam sejenak. Ia memutar memori tentang Nasha. Di mana mereka kadang bertemu dan melakukan sedikit aksi nakal. Akram pun teringat akan satu nama. “Mungkinkah?” Mia benar-benar tak tega memberitahu Akram bahwa sahabat baiknya ternyata tak sebaik yang ia sangka. “Rios punya alasan mungkin, Mas.” “Kamu bilang Rios, Mi? Benar Rios?” “Iya, Mas. Dan Hilmi mengetahuinya.” “Hilmi?” Mia memang mengetahui tayangan itu dari Hilmi. “Pertemuan tak sengajaku, Mas.” “Sebentar, pertemuan tak sengaja?” “Iya. Waktu itu sebenarnya aku mau ketemu sama Rios.” “Rios lagi?” “Iya, Mas.” Akram pun semakin tahu akan kebenaran cerita. Ia harus segera menyelesaikannya. “Mau ke mana, Mas?” tanya Mia saat Akram tampa begitu marah. “Kamu tunggu di sini, aku harus cari Rios.” Mia menggeleng. Ia tidak akan setuju dengan niat suaminya itu. “Jangan, Mas.” “Aku harus cari tau.” “Mas!” teriak Mia. Namun, Akram tak mengindahkan. Ia beranjak dari rumahnya. Akram memilih menggunakan sepeda motornya agar perjalanan yang ia tempuh menjadi lebih singkat. Ia mencari di mana Rios berada. Pertama tentu di rumah Rios. Namun, rumah tersebut tampak sepi. Akram pun menepi sejenak untuk kemudian menghubungi nomor Rios. “Sialan. Angkat, Yos,” umpat Akram. “Halo? Kamu di mana, Yos?” tanya Akram lewat sambungan itu. Rios? Ini bukan Rios. “Kamu? Siapa kamu?” Kau tidak mengenali suaraku? “Hilmi? Mau apa, kau?” Mau bertemu denganku. Silakan datang ke tempatku. “Di mana? Aku memang ingin menemuimu dan menghajarmu. Di ujung sana, Hilmi terdengar tertawa. Pria itu seperti puas sekali bisa membuat Akram marah. Tidak usah buru-buru. Kamu akan menemui banyak hal. “Tidak usah basa-basi. Di mana Rios sekarang?” tanya Akram penuh ketegasan. Hilmi tak menjawab. Ia mematikan sambungan telepon dari Akram. Namun, sejurus kemudian satu share lokasi dari nomor Rios menjadi angin segar untuk Akram. Segera Akram mengikuti arahan dari aplikasi itu untuk menemui Rios dan Hilmi. Hati Akram semakin tak keruan saat ia mendapati fakta lainnya. Rupanya Hilmi tak hanya mengirimkan lokasi keberadaan mereka saja melainkan foto Nasha yang tampak begitu menyedihkan. Mata Akram membelalak. Bagaimana bisa? Akram pun terus mengendarai sepeda motornya hingga sampai di lokasi tujuan. “Rumah siapa?” tanya Akram saat petugas security membukakan gerbang. “Tamunya Pak Hilmi?” tanya petugas itu. Akram mengangguk. Ia mengikuti arahan petugas itu seraya berjalan masuk. Jauh dari pikiran Akram sebelumnya. Ia tak menyangka bahwa Hilmi selama ini berada di Magelang dan tinggal di kawasan elit. Ia kira pemuda itu tengah focus dengan kuliahnya dan berada di Semarang. Bangunan di depan mata Akram seakan menjadi saksi bahwa putra pemilik Betamart itu memang selalu berada di dekatnya. Akram menjadi gugup saat ia melihat motor Rios ada di halaman rumah elit tersebut. Dugaannya tentang sahabatnya yang berhianat, menjadi semakin kuat. “Silakan masuk,” ujar petugas tadi. Akram mengikutinya dengan benar. “Prok! Prok! Prok!” suara tepuk tangan menyambut kedatangan Akram. Sontak Akram mencari-cari dari mana asalnya. “Sisuit!!” Sebuah siulan terdengar dari lantai dua. Akram dan petugas security bisa mendengarnya. “Silakan ke atas, Mas,” ujar petugas tadi. Tandanya ia tidak boleh berada di ruangan itu lagi. Akram mengangguk. Ia berjalan menaiki anak tangga dengan terus waspada. Ia tidak tahu apa niat Hilmi sampai memintanya datang. Dan begitu Akram menginjakkan kaki di lantai dua, dua orang berbadan tegap menyergapnya. Hal itu membuat Akram jatuh tersungkur dengan posisi menekuk lutut. “Selamat datang, Danial Akram,” sambut Hilmi dengan gaya arogan. Akram merotasi matanya jengah. Ia sangat enggan berurusan dengan Hilmi sejak pertama bertemu. “Bagaiamana kabarmu, Danial Akram?” tanya Hilmi sebagai pembuka pertemuan mereka. “Di mana Rios?” tanya Akram tak mau terlalu mengikuti kemauan Hilmi. “Rios? Kau hanya peduli tentang Rios?” tanya Hilmi tak percaya. “Apa maksudmu? Langsung ke inti saja?” Hilmi tertawa. Ia menjadi semakin kesal dengan sikap Akram yang selalu lugas. “Ke inti saja katamu?” Akram mengangguk kecil. Ia enggan memperpanjang perkara dengan Hilmi. Ia hanya ingin menemukan Rios yang sepertinya terlibat masalah dengan Hilmi. “Yakin hanya Rios?” “Apa maksudmu? Jangan berputar-putar.” Hilmi menyeringai lebar. Akram mulai terpancing dengan permainannya. Ini yang selalu ia tunggu. Selama ini Akram terlalu tenang menghadapi siapa saja. “Kaka iparmu tidak bicara? Apa dia benar-benar abai dengan kalian?” “Jangan bawa-bawa orang lain. Urusanmu hanya denganku!” sentak Akram. Ia tak akan lagi sabar menghadapi Hilmi yang terus mengusik kehidupannya. Hilmi pun tergelak. Satu hal yang paling ia benci dari pria bernama Danial Akram adalah pria itu terlalu sombong. “Pak Bam, keluar!” seru Hilmi pada salah satu orang kepercayaannya. “Baik, Pak.” “Lakukan tugasmu dengan benar.” Pak Bam mengangguk. Segera ia memenuhi permintaan atasannya. Ia mulai menyalakan proyektor yang sejak tadi berada di dekat Hilmi. Sontak, Akram pun mengamati ke mana sorot lampu itu tertuju. “Silakan dinikmati bagaimana mesranya kalian berdua,” ucap Hilmi sambil mengejek Akram yang berhasil mendapatkan cinta pujaan hatinya. Akram menggeram. Sebelumnya ia sudah melihat tayangan itu lewat ponsel Frans. Namun, yang disajikan Hilmi benar-benar berlebihan. Adegan yang seharusnya tampa biasa menjadi sangat berlebihan. Ditambah suara tawa baik darinya dan Nasha memperjelas semuanya. “Tiga bulan yang lalu. Bukankah kalian berdua sudah punya pasangan masing-masing?” tanya Hilmi setelah menekan tombol pause. “Apa maumu sebenarnya? Apa gunanya tayangan itu?” Akram berusaha tak terpengaruh dengan kata-kata Hilmi. “Apa gunanya? Kau bilang apa gunanya?” Hilmi merotasi matanya. Kali ini ia melihat ke arah Pak Bam. “Lihat! Betapa sombong cecunguk ini!” “Dari awal, kamu sudah kalah, Hil. Tidak usah membuat masalah.” Akram semakin berani. Ia tidak mau masuk dalam permainan Himi. “Kalah kau bilang?” Hilmi menyalak buas. Ia benci setengah mati dengan pemuda di depannya itu. “Pak Bam!” “Iya, Pak.” “Kirimkan semua video itu pada Pak Agit. Sekarang!” teriak Hilmi. “Kalau perlu sebarkan di social media.” “Apa maksudmu, Hil? Apa tujuanmu sebenarnya!” timpal Akram tak kalah kerasnya. “Tujuan? Maksud?” tanya Hilmi seakan pertanyaan dari Akram sangatlah bodoh. “Jangan membawa keluarga istriku. Mereka tidak ada hubungannya dengan kita,” tegas Akram. “Apa kau setakut itu? Apa kau tak senang rahasiamu terbongkar?” “Apa maumu! Katakana segera!” ujar Akram tak tahan. Kali ini Hilmi bahkan memajang foto Mia di slide tersebut. “Hahaha! Sekarang kau memohon padaku? Seorang Danial Akram?” “Apa maumu b*****h!” umpat Akram. Ia semakin muak dengan sikap rivalnya itu. Bug! Satu pukulan mendarat di wajah Akram. “Berani kau?” ucap Hilmi sama kesalnya dengan Akram. “Pak Bam silakan tekan tombol kirim!” perintah Hilmi. “Baik, Pak.” Pak Bam siap meneruskan pesan video itu pada nomor yang menjadi tujuan utama. “Jangan! Jangan Hil. Apa maumu katakana!” teriak Akram. Ia harus mencegahnya. “Mauku katamu? Apa mauku?” Akram mengangguk. Ia tidak mau keluarga mertuanya menjadi kacau karena masalah pribadinya. Sejak dulu, keluarga itu selalu terpandang baik di mata orang-orang. “Tahan, Pak Bam!” seru Hilmi. “Baik, Pak.” “Kau benar ingin tau mauku?” Akram mengangguk. Ia sudah kalah. Ia harus mengalah demi menjaga nama baik keluarga. “Bawa dia!” perintah Hilmi pada dua penjaga yang memegangi Akram. “Siap, Pak.” Hilmi berjalan memimpin langkah. Ia membawa Akram ke sebuah kamar yang dikunci rapat olehnya. Begitu kamar itu terbuka, Akram disuguhi dengan pemandangan yang mengerikan. “Nasha,” lirih Akram. “Akram,” ucap Nasha tertahan. Ia tak menyangka akan bertemu mantan kekasihnya dengan kondisi seburuk itu. “Kau apakan dia?” tanya Akram pada Hilmi. Nasha tampak buruk sekali. “Tanya saja padanya.” “Hilmi!” sentak Akram. Hilmi hanya tersenyum melihat baju Nasha yang compang camping akibat ulahnya. Ia yang selalu ingin mencicipi tubuh itu selalu gagal karena Nasha tak pernah benar-benar rela memberikannya. Nasha selalu menyebut nama Akram di tengah permainan mereka. “Aaaa satu lagi,” ujar Hilmi sambil menunjuk lemari. “Hilmi kau gila? Kau bisa membunuhnya!” teriak Nasha menyadari ada Rios di sana. “Rios,” ucap Akram tertahan. “Tepat sekali, Kram. Sahabatmu butuh uluran tanganmu.” “Kurang ajar! Apa maumu, hah!?” “Sekarang pilihanmu hanya ada dua, Kram,” ujar Hilmi penuh penekanan. “Apa muamu, Hil!” sentak Nasha tak terima. Sekarang bahkan tangannya terikat akibat perbuatan Hilmi. “Ceraikan istrimu dan kembali menjadi pria yang tak punya apa-apa atau kau setubuhi dia di depanku dan depan kamera,” ujar Hilmi sambil menunjuk kea rah Nasha. “Hilmi! Kau gila, hah!” sentak Nasha. “Aku tidak suka saat kau perlahan menjadi mampu sepertiku. Aku benci karena sampai saat ini Nasha tak pernah bisa kuajak b******a dengan berbagai macam alasan. Dan alasan terbesar adalah karena dia sangat mencintaimu!” Ada perih di suara Hilmi saat menyebutkan kata mencintaimu. Ia tahu bahwa selama ini Nasha tak bisa melupakan Akram. “Kau gila, Hil? Psiko!” umpat Akram semakin geram. “Apa kau bilang? Psiko?” Hilmi pun menatap Akram dengan tatapan nyalang dan menendang tulang kering pemuda itu. “Arghhhh!” “Akram!” seru Nasha iba. “Pilihanmu hanya dua itu. Jangan kau coba membantahnya!” teriak Hilmi semakin dipenuhi dengan kemarahan. Akram pun meradang. Dua pilihan yang diberikan Hilmi sama beratnya. Ia tak bisa melakukan keduanya. “Mengapa kau lakukan ini, Hil? Urusanmu hanya denganku bukan dengan Akram,” ucap Nasha berusaha memengaruhi Hilmi. “Diam kau!” “Hilmi!” sentak Akram. Ia tak terima saat Nasha diperlakukan seperti itu. “Apa jawabanmu!” sentak Hilmi semakin menggila. Nasha menggeleng. Ia tatap wajah Akram dengan penuh kesedihan. Ia tidak mungkin melakukan itu di depan orang-orang tak tahu malu ini. Ia tak akan bisa. “Jika aku memilih salah satu, apa yang kau berikan untukku? Apa semua rekaman itu akan lenyap? Apa kau tak akan mengusik keluarga Mia?” tanya Akram frustrasi. Permintaan Hilmi di luar batas kemampuannya. “Kau yakin bisa memilih salah satu dari pilihan itu?” tanya Hilmi yang justru ragu akan keputusannya. Akram mengangguk. Ia tidak akan menyeret banyak orang karena masalahnya. Ia harus bertanggungjawab. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD