Bab 84 : Bukan Mauku

1002 Words
Frans langsung pergi dari tempat pertemuannya dengan Hilmi. Meski sesak karena ancaman pemuda itu, ia mencoba menenangkan diri. Frans pun memacu mobilnya dengan kencang. Rumah Akram dan Mia menjadi tujuannya. "Ke mana mereka?" gerutu Frans saat melihat gerbang rumah Mia tertutup rapat. Ia menjadi tak sabaran. Ponsel miliknya kembali dikeluarkan. Nomor Mia menjadi sasaran. Namun, lagi-lagi ia hanya diminta menunggu. "Tolong!!!" seru seseorang dari samping rumah Mia. Sontak Frans menolah. "Jangan, Bu! Jangan!" suara itu semakin jelas terdengar. "Pergi kau! Pergi dari sini!" teriak perempuan lain dari dalam rumah megah itu. Rasa penasaran Frans membumbung tinggi. Ia memberanikan dirinya melihat ke arah sumber suara. "Mbak Nasha pergi saja. Biar saya yang urus Ibu!" seru perempuan lain. Frans yang menyaksikan dengan jelas kejadian itu terlolong. Perempuan yang tadi dipanggil dengan sebutan Mbak Nasha oleh orang yang lebih tua berlari menuju gerbang. "Maaf, maaf," ujar Nasha terbata. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Frans saat melihat perempuan itu berlinang air mata. Nasha mengangguk. Ia tidak apa-apa. Hanya saja batinnya terluka saat ibunya memperlakukannya seperti itu. Melihat Nasha diam saja, refleks Frans membantunya berjalan. Menjauh dari halaman rumah megah itu. "Sha!" seru seseorang dari mobil yang baru saja berhenti di depan gerbang rumah megah itu. "Hilmi?" ucap Frans tertahan. "Ikut aku sekarang." Hilmi sigap memapah Nasha. Ia harus mengamankan kekasihnya itu secepat mungkin. "Makasih, Hil." Hilmi mengangguk. Ia bawa Nasha ke dalam mobilnya. Sementara Frans hanya terdiam menatap dua peristiwa yang terjadi begitu cepat. Beberapa detik berlalu, Frans masih berada pada posisinya hingga ia tersadar saat melihat sebuah mobil melintas. Segera Frans kembali ke halaman rumah adiknya. Ia teringat akan maksudnya sebelumnya. "Kak Frans!" seru Mia saat melihat Frans langsung memukuli Akram. "Kurang ajar, kau! b*****h!" umpat Frans marah-marah. Sementara Akram tak sempat membalas dan hanya memegangi dagunya yang terluka. "Pengecut kau! Tidak tahu diri!" "Kak!" sergah Mia seraya mencegah perbuatan Frans lebih berbahaya lagi. "Kamu nggak apa-apa, Mas?" Akram meringis kesakitan. "Kita masuk dulu, Mas." Mia menatap jengah pada Frans. Ia kesal bukan kepalang. Tak seharusnya kakaknya main pukul begitu saja. Sementara Frans membalas tatapan itu dan menyayangkan sikap Mia. Namun, ia mengekor di belakangnya. "Ada apa ini, Kak? Kenapa main pukul begitu saja?" tanya Akram setelah mereka berada di dalam. Untuk pertama kali ia memanggil Frans dengan benar. "Kamu nggak bisa egois. Sekarang kamu mau pilih mana. Aku bongkar semuanya atau kamu izinkan Mia pergi ke Irlandia!" seru Frans. "Apa maksudnya, Kak? Kenapa harus begitu?" tanya Mia kebingungan. Mengapa Frans mengungkitnya. "Apa maksudnya, Kak. Jelaskan pelan-pelan," ucap Akram. "Kau, kau tidak boleh menghalangi Mia pergi dari sini. Kau harus mengizinkan dia pergi," tegas Frans. "Siapa yang menghalangi, Kak? Saya tidak paham." Akram memang belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia dan Mia bahkan belum membahasnya. "Kamu tidak mengatakannya?" tanya Frans beralih pada Mia. Seharusnya adiknya memberitahukan itu. "Kak. Kenapa kakak...." "Aku tegaskan sekali lagi. Mia tetap akan ke Irlandia apa pun yang terjadi. Jika tidak, hancur semua keluarga kita." Akram dan Mia membelalak bersama. "Maksudnya?" Frans menghela napas berat. Ia sodorkan ponsel miliknya di depan Mia dan Akram. Sontak hal itu membuat Akram tersentak. "Bagaimana bisa?" Mia hanya terdiam. Ia lebih dulu tahu tentang hal itu. Tak seharusnya kakak angkatnya juga mengetahuinya. "Dari mana Kakak tau?" tanya Mia setelah berhasil meredam air matanya. "Kau sudah tau, Mi?" Mia mengangguk kecil. "Ini urusan rumah tanggaku, Kak. Kakak nggak berhak ikut campur." "Kamu tau sejak awal? Dan kamu diam saja?" tanya Frans terperangah. Mia menghindari tatapan kakaknya. Ia tidak mau semua orang tahu tentang hal itu. "Jawab, Mia!" sentak Frans tak terima. Jika memang Mia tahu sejak awal seharusnya ia tidak diam saja. "Kak...." "Kau! Selama ini kau hianatin Mia sampai seperti itu? Selama ini bahkan kau berzina, Kram?" teriak Frans. Ia benar-benar tak tahan. "Kak!" pekik Mia. Akram yang mendengar cerita dari Frans hanya terdiam. Apa mungkin perbuatannya waktu itu saat bersama Nasha diketahui banyak orang termasuk istrinya? Memori kemesraannya dengan Nasha pun terlintas. Namun, ia tidak sampai melakukan perzinaan. Akram menggeleng. Ia tidak mungkin melakukan hal keji itu. Pasti ada yang keliru. "Siapa yang bilang, Kak? Siapa?" "Siapa? Kamu masih tanya siapa?" "Saya, sekalipun tidak pernah melakukan hubungan badan selain dengan istri saya," sentak Akram. Ia tidak pernah berbohong tentang hal itu. "Istri? Maksud kamu Mia?" "Siapa lagi, Kak. Istri saya hanya Mia." Frans menatap nanar pada adiknya. Mereka sudah melakukannya? Mia yang tidak ingin kekaucauan ini terjadi hanya bisa menitikkan air mata. Ia memang sempat akan meninggalkan Akram. Ia juga setuju dengan rencana yang dibuat Frans bersamanya. Namun, ia tak bisa mengabaikan isi hati. Ia sangat mencintai suaminya. "Kalian?" Frans mengulang pertanyaannya. "Maaf, Kak. Mia rasa Mia tidak bisa pergi," ucap Mia menyesali keputusannya. "Akan kau abaikan lagi? Demi pria seperti ini?" Mia mulai sesenggukkan. Tentu Frans tidak terima jika ia terlalu mengagungkan cintanya untuk Akram. "Maaf," lirih Mia. Frans semakin frustrasi. Dua berita besar telah mengguncangnya. Semua sulit untuk dipercaya. Frans tak bisa lagi berakata-kata. "Dengerin dulu, Kak," ujar Mia berusaha menahan Frans. Namun, Frans menepisnya. "Kakak kecewa sama kamu." Frans pergi begitu saja. Tubuh Mia luruh ke lantai. Mendapati fakta kakaknya teramat kecewa membuatnya tak mampu lagi tegak berdiri. Ia menangisi keadaan yang tak sesuai dengan keinginannya itu. "Mi," lirih Akram mendekat pada Mia. Mia terus tergugu. "Maaf, Mi," ujar Akram merasakan kesalahannya. Mia menggeleng. Semua ini bukan karena suaminya. Ia sendiri yang tidak bisa memahami perasaan orang-orang terdekatnya. "Aku yang salah, Mi. Aku yang tidak baik di sini." "Enggak, Mas. Aku yang salah." "Semua itu terjadi sebelum aku tau siapa kamu, Mi. Aku melakukannya karena aku kira tak bisa jatuh hati lagi." Mia mengangguk. Setelah tiga minggu ini ia memang memahami bagaimana Akram berusaha dengan sangat keras. Ia mengakuinya. "Sumpah, Mi. Aku berani bersumpah aku tidak pernah melakukannya selain dengan kamu. Aku tak sebejat itu." Akram berusaha membersihkan namanya. Ia tidak mau Mia berprasangka buruk seperti Frans. Mia mengangguk kecil. Ia percaya sepenuhnya tentang hal itu. Ia yakin Akram tak sampai menghianatinya. Namun, kemarahan Frans tentu menjadi penyesalan tersendiri bagi Mia. Ia berharap kakak angkatnya bisa menerima Akram dan memahami perasaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD