Bab 80: Yang Pertama

1062 Words
"Loh, Mas. Ngapain?" tanya Mia saat mendapati Akram menahan pintu kamar mandi di lantai satu. "Kamu yang ngapain?" timpal Akram seraya maju beberapa langkah. Mata Mia membola. "Maksud, Mas?" "Kamar mandi kamu di atas." "Tapi ini basah. Masa aku naik dulu? Basah semua dong lantainya," bela Mia atas perbuatannya. Akram tak memedulikan alasan Mia. Ia sudah tidak bisa lagi berbasa-basi saat ia sedang ingin mengetahui banyak kejujuran. "Nggak usah naik. Kamu bersih-bersih di sini saja." Mia mengulas senyum. Ia menarik kembali pintu kamar mandi itu karena ia akan membersihkan diri setelah hujan mengguyur tubuhnya. "Bersih-bersih di sininya sama aku," imbuh Akram. Mata Mia membulat. Ia tak salah dengar? Belum sempurna ia memahami kalimat itu, Akram sudah lebih dulu mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi. Akram juga menutup pintu itu rapat-rapat. "Kamu bilang kejujuran kan, Mi?" tanya Akram tertahan. Jujur melihat Mia dengan baju basah seperti itu membuatnya ingin melakukan banyak hal. "Iya, Mas." "Lantas kenapa kamu membohongiku?" Mia tersentak. "Membohongi?" Akram mengangguk. Ia terus memperkecil jarak di antara mereka. Hatinya terbakar tiba-tiba. Satu akibat dari kekesalannya menahan semua tanya. Dua akibat dari apa yang seharusnya menjadi haknya tidak ia terima dengan baik. Dan sekarang ia sedang menginginkannya. "Kamu bilang kamu ada di rumah tapi nyatanya kamu pergi ke rumah orangtua kamu." Akram tak mau lagi menahannya. Hampir satu minggu berpura pura tidak tahu apa-apa ternyata cukup menyiksa. Mia pun terdiam. "Kamu bilang tidak ada kunci cadangan tapi ternyata kau menyimpannya, bahkan memberitahukan pada Frans. Apa maksudnya, Mi?" Akram sedikit menambahkan ketegasan pada nada bicaranya. Ia tak suka saat Mia terlalu terbuka dengan pria itu. "Mas...." "Kenapa harus meminta kejujuran kalau kamu sendiri berbohong." "Maksudku nggak...." "Nggak apa? Kamu juga ketemu Hilmi bukan? Untuk apa?" "Itu, itu nggak sengaja, Mas." "Nggak sengaja? Kenapa nggak bilang?" Mia kebingungan. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya tentang pertemuan diam-diamnya dengan Rios juga. Pasti Akram akan marah besar. "Mas sendiri bilangnya nggak ketemu siapa-siapa. Tapi ternyata Mas ketemu...." "Dari mana kamu tau?" tanya Akram penuh selidik. Ia bisa membaca arah pertanyaan Mia. Mia membuang muka. Ia tak mau menatap wajah suaminya karena pasti ia tak tahan dan bisa saja malah membeberkan semua. "Jawab, Mi," desak Akram. Mia tak punya cara lain lagi. Ia harus membungkam Akram dengan hal yang tidak pernah terbayangkan. Cup! Akram pun tersentak. "Kau?" Mia menggigit bibir. Perbuatannya itu tak ubahnya bentuk undangan bagi Akram untuk mendekatinya. Akram pun menarik tubuh Mia. Ia memiringkan wajahnya dan menyapu bersih bibir ranum istrinya itu. Mia semakin tersentak. Bisa dibilang kedekatan ini sama-sama mereka yang menginginkan. Cukup lama keduanya beradu kasih hingga Akram tersadar karena tubuh Mia mulai menggigil. "Dingin?" tanya Akram penuh perhatian. Mia mengangguk kecil. Akram menyeringai lebar. Ia puas melihat wajah gemas istrinya dengan baju basah seperti itu. "Kita lanjut nanti. Kamu mandi dulu," ujar Akram. Mia pun tergagap. Apa yang dikatakan suaminya barusan? "Biar aku mandi di kamar atas." Akram beranjak dari kamar mandi itu. Ia tak memerhatika Mia lagi karena ia pun sudah harus membersihkan diri. "Mas!" seru Mia. Akram menoleh. "Apa?" "Aku aja yang di atas. Lupa kalau belum ambil baju." Akram terperangah. Istrinya memang cukup payah. Sudah suka memaksa tapi sering melukapakan detail kecil. Akram tekekeh. "Oke." Segera Mia berlari meninggalkan lantai satu. Ia cukup malu karena terlalu bersikap bodoh di depan suaminya. * Secangkir coklat hangat Akram siapkan di atas meja. Membayangkan bagaimana aksi mereka tadi membuat ia terkikik sendiri. "Coklat," ujar Akram sambil mengangkat cangkir itu. "Makasih, Mas." "Sama-sama, Mi." Mia pun meneguk sedikit coklat itu. Ia puas dengan rasanya juga perlakuan manis dari suaminya. "Maafin aku ya, Mas." "Maaf?" "Iya, maaf karena nggak bilang soal ke rumah ibu kemarin." Akram mengangguk-angguk. Tak masalah baginya. Terlebih ia sudah mendapat kompensasi. Rasanya bahkan lebih manis dari yang ia kira. Hingga ia ingin merasakan yang lebih dari itu. "Apa sekarang mau ke sana?" tanya Akram mengalihkann pikirannya yang kacau. "Sekarang, Mas?" Mia cukup kaget dengan saran suaminya. "Kali aja kamu mau nginep. Udah lama nggak, kan?" Mia berpikir sejenak. Ya, sudah cukup lama semenjak ia pulang dari rumah sakit. "Emmmm apa nggak apa-apa, Mas?" "Nggak apa-apa. Aku nggak keberatan. Toh besok aku libur." Mia merotasi matanya. Ia pikir-pikir lagi apa perlu pergi ke sana. Terlebih saat tadi sudah hujan-hujanan. "Hatci!" Mia tak bisa menahannya meski di depan Akram. "Kamu nggak apa-apa, Mi?" Mia mengangguk kecil. Mungkin, karena efek kedinginan. "Hatci!" Akram pun meggeleng. Ia meletakkan cangkir coklatnya seraya mendekat pada Mia. "Mas," pekik Mia. "Kayaknya di rumah aja, ya, Mi. Kita nggak usah ke mana-mana." "Emmmm, Mas." Mia menggeliat. Pelukan Akram yang cukup mendadak itu terlalu erat. Cup! Satu kecupan mendarat di pipi Mia. "Mas...." Akram meraih cangkir milik Mia. Ia letakkan di atas meja. Kembali ia mendaratkan kecupan di pipi putih itu. "Mas...." "Apa lagi yang pengen kamu tau?" tanya Akram sambil menatap dalam kedua bola mata Mia. "Apa, Mas?" "Siapa tau kamu masih penasaran." "Penasaran apa?" "Apa saja. Apa yang belum membuatmu yakin." Mia kembali berusaha mengurai dekapan Akram. Ia tak bisa leluasa melihat wajah Akram jika terus didekap seperti itu. Ia juga takut tak bisa menolak pesona Akram. "Nggak ada." "Serius?" Mia mengangguk mantap. Baginya sudah tak ada. Baik ia dan suaminya sama-sama berbohong. Maka mereka sebenarnya sudah impas. "Kalau begitu boleh aku yang cari tau?" "Cari tau apa?" "Semua tentang kamu." Akram pun mengulum senyum. Dari sekian waktu kebersamaan mereka, kali ini ia tak bisa lagi menahan diri. Akram dengan gerakan yang cukup tangkas mengangkat tubuh Mia. Ia bawa istrinya ke kamar di lantai satu yang berdekatan dengan ruang televisi. Ia tak peduli meski Mia terkejut karena perlakuannya. "Hanya ada kita sekarang, Mi," lirih Akram sambil merebahkan tubuh Mia di ranjang. Mia gugup tak karuan. Di tatap Akram seperti itu membuatnya mati kutu. Ia tak bisa mengelak seperti yang sudah-sudah terlebih saat Akram sudah mengakui semuanya. "Tak ada masa lalu?" ucap Mia memberanikan diri dengan pertanyaan itu. "Tak ada." "Benar hanya ada kita?" Akram mengangguk. Ia mulai mendaratkan kecupan lagi di wajah Mia. Sungguh, kali ini ia tak ingin gagal. "Mas...." "Kamu belum berdoa." Akram mengangkat sedikit kepalanya. Mana sempat ia berpikir tentang doa. "Mas," desak Mia. "Aku belum apal doanya, Mi." "Hah? Belum apal?" Akram mengangguk. Ia pandangi wajah Mia yang sudah tidak lagi mengenakan penutup kepala. Rambutnya juga sudah tergerai. "Besok-besok aku hafalinnya. Sekarang aku nggak bisa." Akram kembali melakukan aksinya. Di kamar itu, menjelang gelap Akram dan Mia melampiaskan semuanya di atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD