Bab 81 : Sajadah Cinta

1082 Words
Bisa dibilang pagi ini adalah pagi yang special bagi Mia. Saat ia membuka mata, ada Akram di sampingnya. Satu hal yang tak pernah ia sanggup bayangkan. Mia mengamati wajah suaminya itu. Bagaimana pria yang memang sejak lama sudah menjadi pujaan hatinya mampu membuatnya melayang hingga ke nirwana. Meski sempat kecewa karena Akram tak hapal doa yang seharusnya dibaca ia berusaha memaklumi. Kedepannya pun mereka akan mengulangnya dan ia tak akan bosan mengingatkan. Mia tersenyum sendiri sambal terus mengamati wajah tampan Akram. “Jangan dilihat terus, nanti aku tambah ganteng,” celetuk Akram. Sebenarnya ia sudah bangun, hanya saja berpura memejamkan mata. Mia pun membekam mulutnya. Ia cukup malu saat Akram justru sudah sadar. Refleks Mia menutup wajahnya juga. “Ngapain? Semalam juga dibuka,” kelakar Akram. Ia ingat betul bagaimana mesranya mereka. Mia menggeleng. Ini sangat memalukan. Ia pun bergegas menegakkan badan namun Akram dengan cepat menariknya. “Mas,” protes Mia. Jelas sudah terlambat jika mereka tak segera bangun untuk membersihkan diri. “Bentar lagi. Peluk aja,” ucap Akram. Mata Mia membulat. Ia tak suka dengan maksud terselubung suaminya. Peluk yang berujung pada hal lain. Bagitu piker Mia. “Subuhnya nanti kelewat,” ujar Mia mengingatkan. “Setengah jam, Mi. Masih nyukup.” Mia menggeleng. “Enggak, Mas.” “Nolak suami dosa loh.” “Mas!” pekik Mia. Jelas Akram curang saat menggunakan dalil itu untuk kepentingan dirinya. Sangat tidak sesuai dengan kondisi mereka. Akram terkekeh. Ia cukup senang karena berhasil membuat istrinya marah. Akram pun mendekap erat tubuh mungil itu seraya mengecup rambut legam yang tergerai indah. “Makasih, yang.” Mia menjadi semakin melayang. Bisa jadi per pagi ini panggilan itu resmi diberikan untuknya. “Bangun dulu, Mas,” timpal Mia sambal tersipu malu. “Dari tadi udah bangun malah.” Mia pun semakin berusaha melepaskan diri. Ia tidak bisa jika harus mengulangnya sekali lagi. Pasti waktu subuhnya akan habis karena Akram. Sementara Akram yang menyaksikan Mia melompat dari ranjang tanpa sehelai pun benang hanya tersenyum senang. Ia menyaksikan sendiri istrinya memungut baju dan mengenakan secara asal. Meski sangat ingin mengulangi lagi, ia tak akan nekat mengingat sebentar lagi fajar menyingsing. Ia pun kembali memejamkan mata. Sejenak untuk mengusir lelahnya. “Aku nyusul, ya,” ujar Akram sambal menutup matanya dengan lengan. “Enggak, Mas!” seru Mia sambil berlalu. Ada yang bilang keharmonisan rumah tangga tercipta karena adanya banyak faktor yang memengaruhi. Salah satunya adalah interaksi mereka di ranah pribadi. Bahkan, tak sedikit yang menjadikan itu sebagai prioritas utama. Sambil membersihkan diri, Mia terus memikirkan bagaimana cinta mereka akhirnya berlayar. Ia percaya setelah ini cinta mereka akan tumbuh semakin banyak. Saling mengisi dan melengkapi kelemahan diri. Mia menggosok punggung sebelah kirinya. Ia teringat bagaimana Akram tak menyinggung sama sekali tentang bekas luka itu. Akram bahkan tak ragu untuk terus memberikan sentuhan di sana. Dalam hati Mia bersyukur. Ketakutan terbesarnya selama ini teratasi dengan baik. Akram menerima fisiknya apa adanya. Pemuda itu tak menganggap bekas luka yang ia miliki sebagai sebuah cela. Dulu ia sempat ragu untuk jatuh cinta mengingat ia tak sempurna. Namun, sejak pertama melihat Akram dan mengalami insiden di gudang sekolah, ia berjanji tak akan melabuhkan cinta ke lain hati. Janji itu kini tunai sudah. Meski sempat pesimis, pada akhirnya ia dan pangeran berkuda yang selalu ada dalam imajinya bersua dalam takdir terbaik. Tok! Tok! Tok! “Ya, Mas?” seru Mia dari dalam. “Lama amat? Gantian, Yang.” “Aku belum selesai. Mas pakai kamar mandi atas aja.” “Hmmmm hobi banget nyuruh aku ke sana,” jawab Akram. “Sejak awal harusnya memang di sana,” sahut Mia. Akram pun terdiam. Ia sepakat dengan jawaban istrinya. “Ya udah nggak lama-lama, ya. Kita jamaah bareng.” Hati Mia membuncah. Setela urusan penting dalam rumah tangganya terselesaikan, Akram mengajaknya solat bersama. Salah satu hal yang juga ia dambakan. Maka Mia pun mempercepat gerakannya. Ia pastikan sudah bersuci dan bersiap menguntai doa pertama mereka. * Sajadah cinta milik Akram dan Mia terbentang. Keduanya bersimpuh di atasnya untuk bermunajat pada Sang Maha Cinta. Debar bahagia sudah pasti menyelimuti hati mereka. Namun, yang paling mereka syukuri adalah mereka sadar sebelum terlambat. Mia mencium punggung tangan Akram. Mulai subuh ini hal itu akan menjadi rutinitas wajibnya. Jika sebelumnya Akram selalu menolak, untuk sekarang dan ke depan jelas tak ada lagi penghalang. Akram menyunggingkan senyum. Ia tak hanya puas secara lahir saja, batin serta rohaninya juga terpenuhi. Cukup lama ia tak melakuan rutinitas sebagai hamba dengan benar. Biasanya ia hanya sekadar menggugurkan kewajiban. “Makasih, Yang.” Mia menatap heran. Mengapa Akram berterima kasih padanya? “Terima kasih sudah membawaku kembali ke jalan yang benar.” “Maksud, Mas?” “Lama sekali aku tidak merasakan ini, Mi.” Akram menatap langit-langit mushola kecil di rumah mereka. Ia mendapatkan kedamaian yang tiada tara. Mungkin, selama ini ia sudah cukup menjauh dari pemilik hatinya yang sebenarnya. Mia menggeleng. Ia tidak setuju dengan pendapat Akram. Seseorang mendapatkan hidayah murni karena kasih saying Allah S.W.T. Tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Manusia hanya sebagai perantara. “Semoga Mas istiqomah di jalan ini. Tidak lagi belok hanya karena kekecewaan atau kesedihan. Semoga Mas lurus terus imannya sampai bisa membawa keluarga kecil kita, ke surga kelak.” Akram mengangguk seraya tersenyum. Doa istrinya sangat mendamaikan. Bagaimana Mia berhasil menuntutnya untuk kembali taat seperti sebelumnya. “Makasih, ya, Mi.” “Alhamdulillah. Makasih sama Allah yang sudah buat kita seperti ini, Mas.” “Iya, iya. Alhamdulillah.” Mia menyunggingkan senyum. Ia juga rindu rumah kecil mereka disinari oleh cahaya al-qur’an. Keduanya saling menyimak dan memerhatikan bacaan mereka. “Sadaqallahuladzim,” ujar Akram setelah selesai membaca kitab suci itu. Mia terus menyungingkan senyum. Ia bahagia tak terkira. Selama ini ia kerap memimpikan hal semacam ini. Kesabarannya pun berbuah manis. “Lanjut lagi ya, habis ini,” goda Akram pada Mia saat mereka akan ke dapur. “Lanjut lagi?” tanya Mia tak percaya. “Canda, Yang,” kelakar Akram. Mia pun berjalan maju. Ia harus menyiapkan minuman serta sarapan untuk suaminya. Pertama keli setelah mereka sedekat ini. “Kopi, Mi.” “Oh, kopi?” Akram mengangguk. “Aku lebih seneng kalau pagi minum kopi sebenarnya.” “Kok nggak bilang, Mas?” “Kamu nggak nanya.” “Terus kalau aku buatkan teh kok nggak protes?” Akram hanya diam. Ia tak mau memperpanjangnya karena seperti yang ia tahu perempuan tak akan terima jika disalahkan. Terlebih tentang makanan dan minuman. Akram beralih memainkan ponsel. Sekadar untuk menghindari pertanyaan Mia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD