Hari Yang Menyebalkan

947 Words
Happy read guys Aqila menaruh tas kecilnya di atas meja, dari ekor matanya sempat menangkap sekelebat bayangan putrinya memasuki kamar. Wanita baya itu beranjak menghampiri. Nampak Alexa duduk dengan kepala merunduk menekuri setiap ubin yang dipijaknya. Sebelah tangan memegang sebuah foto yang dia paham tanpa harus bertanya siapa yang di dalam foto tersebut. "Sayang, belum mau tidur?" sapa nya. Alexa menoleh sejenak, kemudian menunduk. Aqila meraih foto dalam genggaman Alexa, menaruhnya di atas nakas hitam. Wajah Alexa di tatapnya penuh kasih, membawa dalam pelukan hangat seorang ibu. "Kamu butuh perjuangan besar untuk mampu merebut hak sendiri, sayang. Terutama cinta dari pria yang kamu suka. Jangan sampai berhenti di sini saja, jalan kamu masih panjang dan berliku." "Dia orang yang keras, ma. Bahkan sepertinya telah menutup hati untukku. Alexa yakin telah ada hati yang berhasil mengisi ruang kosong itu. Tapi Lexa masih sangat mencintainya, ma." "Sabar sayang. Memperjuangkan cinta tak semudah membalik telapak tangan, kamu butuh waktu untuk memperbaiki semuanya," sahut Aqila yakin. Alexa mengangguk dalam diam. Setengah hatinya masih belum bisa sepenuhnya yakin dengan ucapan sang mama. Perjuangannya selama hampir dua tahun ini nyatanya sia-sia saja. Bayu masih tetap diam, sama sekali tidak menunjukkan perjuangan untuk terus bersama. Gadis itu hampir menyerah dengan keadaan. Menelan obat penenang sampai percobaan bunuh diri sudah dia lakukan untuk bisa menaklukkan kembali hati Bayu yang beku. Tetapi justru pria itu makin menjauh dan tidak menunjukkan reaksi apapun. "Mama sudah bicara dengan Mel?" tanya Alexa. "Bicara soal?" Aqila balik bertanya. Keningnya berkerut, namun hal itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. "Untuk menjauh dari semua pria di Paris ini, khususnya yang dekat dengan Lexa," sahut gadis bermata coklat itu serius. Sebenarnya dia terlalu tega jika harus menjauhkan semua pemuda dari sisi Melati. Tetapi, apa pedulinya? Selama ini gadis itu sok tebar pesona sampai tidak ada lagi pemuda yang mau dekat dengannya. Tidak salah jika dia harus waspada dan menutup pagar rapat-rapat. "Aku yakin, suatu saat Bayu pasti akan mengenal Mel dan dekat dengannya, Ma. Kalau sampai hal itu terjadi, tidak akan ada lagi kesempatan Lexa." Aqila terdiam. Mengingat sikap Melati kepadanya tadi, sebenarnya dia tak berhak melarang keponakannya sendiri untuk dekat dengan siapapun. Bukankah setiap orang sudah memiliki garis takdirnya masing-masing? Alexa hanya terlalu mencintai satu pemuda dan merasa harus memperjuangkannya. Sama seperti saat dirinya mencintai Reno dahulu. *** Melati menaruh buku di atas meja, kemudian beranjak dari ruangannya menuju balkon. Matanya memandang ke area gedung fakultas bisnis yang dibagikan tengahnya terdapat lapangan basket. Sepi. Tentu saja ini baru menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas. Biasanya tim basket kampus baru akan memulai latihan pada pukul dua siang, tepat setelah jam istirahat makan. Gadis itu memicingkan matanya, seperti memastikan sesuatu. Sekelebat bayangan sosok pemuda dengan hoodie berwarna coklat gelap nampak berlari kecil menuju salah satu ruangan di kelas musik. Sosok itu mirip seseorang, mungkin dia si cowok misterius dalam foto. Melati menutup mulutnya beberapa saat sebelum akhirnya memilih untuk mengejar si pemuda. Barangkali benar dugaannya. Cowok misterius itu satu kampus dengannya. Menuju gedung fakultas bisnis harus melewati lorong kecil penghubung antara satu gedung dengan gedung yang lainnya. Lorong tersebut sangat sempit, hanya bisa dilewati satu atau dua orang saja. Biasanya di jam tertentu beberapa mahasiswa akan nongkrong di sana, menghabiskan waktu sambil membaca buku atau sekadar bersantai. Begitu sampai di tangga menuju kelas musik, Melati mengembuskan napas sejenak. Kaki rasanya kram. Sejak tadi dia harus berlari melewati beberapa kelas dengan menahan malu. "Quelqu'un peut-il aider, mademoiselle?" Melati menolehkan kepala. Tiba-tiba merasa kikuk, bingung harus menjawab apa. Sementara wajah lelaki bertubuh tinggi itu terus menatapnya seolah mengintrogasi. Terang saja, karena beliau salah satu dosen di kelas musik. "Rien monsieur. Je cherche juste quelqu'un. Excuse-moi," jawab Melati dengan gugup. Semoga saja jawabannya benar. Bahasa Prancisnya memang kurang begitu fasih. Salah sendiri, ditawari mengikuti les bahasa Prancis saat SMP, dia menolak. "D'accord. Si vous n'avez rien d'autre à faire, dépêchez-vous et entrez dans la classe. La cloche sonnera bientôt." Melati gegas melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan. Benar saja. Sebentar lagi memasuki jam pertama. Jika hari ini dia ketinggalan lagi, tentu tidak diperkenankan memasuki kelas. Kalau sampai hal itu terjadi lagi, bukan tidak mungkin Papanya akan marah besar dan menghukumnya. Melati mengangguk dan sedikit membungkukkan badan, kemudian pamit untuk meninggalkan balkon kelas musik. Padahal napasnya saja belum begitu teratur. Sekarang dirinya harus kembali menuruni anak tangga dan berjalan cukup jauh menuju ruang kelasnya sendiri. Benar-benar hari yang menyebalkan. *** Memasuki jam istirahat, Melati duduk di taman kampus menikmati sandwich yang baru saja dibelinya di kantin. Rasanya jauh lebih nikmat saat makan sandwich di alam terbuka, bukannya berdesakan di dalam kantin. Baru saja mulutnya terbuka, hendak memakan sepotong sandwich tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. "Désolé, je pensais ... que tu es quelqu'un que je connais." Pemuda itu membuka penutup hoodie nya kemudian duduk di sebelah Melati. Melati menolehkan kepalanya, terkejut. Pemuda di sebelahnya begitu mirip dengan seseorang yang sering tertangkap lensa kameranya. Benar dugaannya, dia satu kampus dengannya. "Eh, maaf saya ...." Melati membungkam mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Apa yang barusan dia katakan? Pemuda itu terkejut. "Kamu orang Indonesia?" tanyanya. Melati tak kalah terkejut. "I-iya. Jadi, kamu dari Indonesia juga?" "Iya. Namaku, Bayu. Senang bertemu dengan saudara dari Negara sendiri," katanya mengenalkan nama. Melati membalas jabatan tangan Bayu. "Saya Melati, tapi orang-orang memanggilku Mel." Mereka saling tertawa. Sama sekali tidak menyangka akan bertemu kembali dalam suasana yang berbeda. Menurut Melati, Bayu orang yang baik dan mudah bersahabat. Walau sedikit pendiam dan pemurung. Dari gaya bicaranya seperti korban broken home. "Baiklah nona. Saya masih harus mengikuti kelas. Lain kali jika ada kesempatan semoga kita bisa saling bertukar cerita," pamit Bayu. Melati mengangguk. Setidaknya hari yang menyebalkan sedikit terobati dengan bertemu dan berkenalan dengan pemuda misterius itu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD