Pembawa Sial?

1027 Words
Hari ini ada pertemuan kolega bisnis, hal itu tentu saja membuat Melati harus rela tinggal sendiri di apartemen, karena mamanya tidak mungkin ditinggal. Papanya memang sosok yang romantis, untuk acara sepenting apapun, jika hal itu menyangkut perusahaan pasti mengajak mamanya. Terutama pertemuan kolega bisnis yang sudah seperti acara reuni, dan diadakan setiap setahun sekali. Sebenarnya Melati bisa saja ikut, bahkan Reno sang ayah sudah sering mengajaknya. Hanya saja dia tak pernah mau ikut. Membosankan bertemu para ibu dan bapak yang sudah tua itu. Obrolan mereka pasti tak jauh-jauh dari masalah perjodohan dan bisnis. Di kampus sudah cukup dirinya disibukkan dengan materi kuliah, khususnya materi bisnis. Itu sudah cukup membuat kepala terbakar. "Mel, di sana kamu bisa kenalan sama cowok ganteng loh. Mereka semua putra pebisnis ulung. Selain itu ada juga yang sudah memiliki perusahaan sendiri dan kamu bisa belajar dari mereka." Begitu kata papanya suatu hari dan hanya mendapat anggukan dari Melati. Yasmin malah tertawa setelah melihat wajah serius suaminya berubah heran dan bingung. Ketukan pintu diikuti bel yang berbunyi nyaring memaksa kaki Melati untuk keluar dari kamar. Padahal dia berencana ingin mandi, dan refreshing di dalam bak mandi. Akan tetapi dia terpaksa harus mengurungkan niatnya. Diayunkan kakinya menuju ruang tamu di lantai bawah. Gadis itu menuruni tangga dengan sedikit tergesa, kemudian membuka handle pintu. "Tante Aqila," bisiknya lirih tepat setelah pintu terbuka dan menampilkan sesosok wanita paruh baya berdiri di depannya. "Iya, ini Tante. Di mana mama dan papa kamu?" "Em, Tante tumben banget datang. Kebetulan sekali hari ini mama dan papa sedang ada urusan. Beliau mengikuti acara pertemuan kolega, biasanya satu Minggu baru pulang." "Oh." Nampak sekali aura kekecewaan di wajah Aqila. Wanita itu menunduk, menatap setiap ubin yang dipijaknya. "Sebenarnya Tante datang bukan untuk bertemu mereka, tapi kamu. Tante datang untuk memberikan kamu peringatan, untuk tidak lagi mendekati Alexa. Karena kamu selalu membawa aura negatif yang bisa membuat hidup anak Tante berantakan. Kamu pasti paham, kan'?" Melati mengerling, heran dan bingung. Sebenarnya apa salahnya sampai harus disalahkan dalam hal ini. "Apa maksud tante? Yang membuat hubungan kita menjauh itu anak Tante sendiri, dan juga Tante. Kalian bahkan sama sekali tak pernah mau menganggap kami saudara. Padahal kami sama sekali tak pernah mengusik hidup kalian, kami hanya mau hubungan kita tidak semakin menjauh. Kita ini keluarga Tante." "Kamu anak kecil paham apa sih? Tante cuma minta kamu jauhi anak saya, jangan lagi membuat hidupnya kacau. Terutama masalah cowok. Kamu itu hanya pembawa sial!" Aqila membalik badan hendak meninggalkan apartemen. Namun, langkah kakinya terhenti tepat saat Melati berteriak memanggilnya. "Tante salah. Setiap manusia yang hidup di dunia ini tak pernah ada yang membawa kesialan dalam hidupnya, yang ada membawa keberkahan. Kalau Tante menganggap saya hanya pembawa sial untuk Alexa, seharusnya dari awal jangan pernah mengajak Alexa kuliah di kampus yang sama dengan saya. Pindahkan saja anak Tante sekarang juga. Karena biar bagaimana juga, kita satu kampus. Tetap bisa bertemu meski tak saling bertegur sapa." Berkata demikian, Melati beranjak memasuki ruang kamarnya di lantai atas setelah menutup pintu dan menguncinya. Air matanya jatuh lirih membasahi kedua pipinya yang merah. Benteng pertahanannya benar-benar runtuh bahkan hancur berkeping-keping. *** Bayu Permana Aji Santoso, melambatkan laju kendaraannya kemudian memutar kemudi ke sisi kanan memasuki halaman apartemen bergaya Eropa. Seorang pemuda seusianya berdiri di depan pintu, menunggu dirinya sudah hampir tiga jam. "Aduh, kemana saja sih bro. Gue udah lumutan nungguin di sini," ujarnya seraya mengikuti langkah kaki Bayi yang memasuki apartemen. Pemuda bermata biru itu membanting tas ranselnya ke atas sofa, kemudian duduk dan membuka kulkas di sebelahnya. "Ada apa lagi? Bukankah tadi sudah bertemu di kampus," balas Bayu seraya mengeluarkan sebotol softdrink dan meneguknya. Denis meneguk ludahnya sendiri, kesal. Padahal sejak tadi dia sudah kepanasan menunggu di depan pintu, sekarang begitu yang empunya rumah datang, bukannya menawari minum malah membuat dia menganga dengan hanya menatap betapa nikmat minuman dingin itu masuk ke kerongkongannya. Membayangkan hal itu tentu membuat dirinya kesal. "Tadi lo ngilang, gue kesini mau antar materi aja. Besok jangan lupa buat copy terus lo kasih lagi nih materinya. Karena mau langsung gue balikin ke dosen," terang Denis. "Iya, thanks," sahut Bayu. "Ada lagi?" Mengingat tidak ada keperluan lain, Denis memilih untuk pamit. Lagi pula percuma saja dirinya berlama-lama di apartemen Bayu. Yang ada dirinya hanya dijadikan manekin. Hiasan rumah lebih tepatnya. Setelah Denis pergi, Bayu memilih untuk masuk kamar dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Biasanya dia akan beristirahat selama beberapa jam sebelum makan malam, yang kemudian dilanjutkan dengan membuka dan mempelajari materi kuliah sampai lewat tengah malam. Dia baru akan istirahat saat matanya benar-benar terasa mengantuk. "Kamu sudah pulang, Bay." Sebuah suara membuyarkan mimpi yang baru saja terajut. Pemuda itu membuka pintu kamar dan tersenyum menyambut wanita baya yang berdiri tepat di hadapannya itu. "Mama belum istirahat?" tanyanya. "Mama harus banyak istirahat, ingat kesehatan mama." Lidya membelai lembut puncak kepala putranya. Terasa begitu lembut. Rasanya baru kemarin dirinya memandikan buah hatinya dan sekarang sudah tumbuh menjadi sosok pemuda tampan yang juga pintar. "Nanti dulu, mama pengen lihat kamu tidur, boleh kan'? Sudah lama mama enggak menemani kamu tidur. Dulu sewaktu kecil kamu hobi banget gangguin mama masak dan minta temani tidur, meskipun kamu tahu kalau mama sibuk menyiapkan makan malam," kata Lidya mengenang. Terang saja. Sudah hampir tiga tahun dirinya sakit keras. Bahkan sampai harus dilarikan ke rumah sakit Paris, agar mendapat pengobatan yang lebih canggih. Akan tetapi sepertinya semua sia-sia belaka. Nyatanya penyakit itu masih saja bersarang ditubuh seolah tak ingin pergi sampai waktunya tiba. Dirinya menyerah dan pergi dengan tenang. "Mama bicara apa sih. Sekarang lebih baik mama istirahat, aku temani ke kamar ya?" Bayu menuntun mamanya masuk kamar yang memang tak begitu jauh dari kamarnya sendiri. Begitu masuk kamar, Bayu langsung merapikan bantal untuk mamanya sebelum membantu beliau berbaring. "Sekarang mama istirahat, sebentar lagi makan malam. Mama minum obat terus lanjut lagi istirahatnya." Bayu membenarkan selimut dan menutupi sebagian tubuh sang mama sebelum beranjak. "Kamu tidak akan meninggalkan malam, kan'. Temani mama sampai tertidur ya sayang." Bayu mengangguk. Meskipun matanya lelah dan ingin beristirahat, tetapi menuruti keinginan mama adalah suatu kewajiban. Lagi pula sudah lama sejak mamanya keluar masuk rumah sakit, tak pernah lagi dirinya bisa bertemu dan merasa dekat dengan beliau. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD