Be My Love

2013 Words
       Pulang sekolah, aku langsung menuju kotak obat untuk mencari obat sakit kepala. Kupikir aku hanya pusing karena rapat dengan durasi paling lama dalam sejarah tadi, tapi ternyata sampai rumah pun belum berkurang sakitnya. Setelah itu, aku menuju dapur untuk mengambil segelas air putih dingin sebagai pengantar minum obat. Suara gemericik air yang menimpa dasar gelas menjadi satu-satunya suara di dalam rumah sebesar ini. Kulihat Dani dengan santainya menikmati makan siang sambil kaki diangkat ke kursi. "Heh... tuh kaos kaki bau, dilepas dulu kek, baru makan. Bisa ya makan, campur sedapnya kaos kaki." "Bacot aja... nih sini makan." ajaknya. Aku sama dia emang nggak pernah berangkat dan pulang sekolah bareng, dia naik motor sedangkan aku pilih naik angkot aja. Karena kalau naik angkot aku bisa bersandar pas ngantuk atau capek banget, sedangkan motor bersandar kemana, jadi kalaupun aku pingin pergi keluar aku lebih pilih taxi online daripada ojek online. Beberapa kali dia nawarin buat bareng, tapi aku selalu nolak, nggak nyaman aja dilihat temen-temen. Kalaupun kita saudara namun sejak kecil nggak pernah akur dan jarang ketemu, Karena aku tinggal di Surabaya. Aku juga takut di bully mereka, kalau sampai tau aku numpang di rumah Dani karena ekonomi orang tuaku collapse. "Ehh tuh didalam tas ada baju buat kita dari mama, buat ntar malem ke nikahannya Aurel." "Ohhh ya, coba kulihat." Jadi mama nya Dani itu punya usaha kaya butik baju-baju pengantin, Bridesmaid dan semacamnya gitu lah, kalau musim nikahan gini jadi banyak banget orderan, bahkan banyak yang minta satu keluarga satu tema gitu, jadi ya mama Dani jarang pulang musim-musim gini. Pergi pagi pulang sampai pagi, terus berangkat lagi. Kaya gak pernah dirumah, kalau Papa nya Dani kerja kantoran, lebih tepatnya bagian audit pajak gitu. Aku ambil tas yang dimaksud Dani, didalamnya ada 4 pcs baju berwarna senada, silver yang sangat cantik. Ada buat Dani, aku dan sepasang buat om sama Tante. "Jadi kak Aurel konsepnya kaya gini, padahal waktu itu, sama aku ngomong ke Tante dia pingin rose gold looh." "Aku mana ngerti hal-hal gituan." "Aku juga nggak nanya kan." sahutku. "Jadi pingin nyobain, pas nggak ya di aku, cobain dulu ah." Aku membawa gaun ku ke kamar mandi, dan kembali lagi ke tempat Dani. "Cocok nggak... cocok lah, aku kan emang udah cantik dari sononya." Dia yang sedang minum pura-pura tersedak. "Napa... mau protes, lagaknya keselek segala." "Jangan sensi mulu dong jadi cewek, aku cuma mau bilang iyaaa kamu emang cantik, makanya aku suka sama kamu, puass?" "Lahh malah itu lagi." ucapku sambil memperhatikan pantulan diriku didepan cermin besar yang ada di ruang makan. "Mana punyaku? aku juga mau coba." "Tuh didalam tas, punya om yang agak gedean dikit." "Iyaa tauu." Dia langsung memakai pakaiannya tanpa melepas seragamnya lebih dulu. kemudian mendekat juga kearah cermin. "Pas sih mama emang keren deh, bisa bikin baju tanpa ngukur kita dulu, ya kan." kata Dani mengandung pujian untuk mamanya, yang aku setujui. "Iya the best lah... foto yuk, aku mau kirim gambarnya ke Tante." ajakku. "Boleh..." kata dia. Aku mengambil ponsel ku dari dalam tas kemudian membuka menu kamera lalu mengarahkan ke cermin yang memantulkan gambar kami. Klik.. satu kali foto udah jadi dan aku kirim ke Tante, dan aku menunggu reply dari Tante Maya. "Ngeblur kata Tante, minta sekali lagi, kamu sih jangan banyak gerak Dan..." "Iya-iya kumat lagi bawelnya." ucapnya. Dia mendekat ke arahku sedemikian rupa. "Nggak gini juga, jangan deket-deket." "Kenapa? takut baper?" suaranya yang bass, berbisik di telingaku benar-benar membuat pertahanan hatiku runtuh, namun aku berusaha menutupinya. "Paansiihh... ya kali kamu yang baper." Bukannya menjauh dia malah makin mendekat. "Udah kubilang jangan gerak nanti ngeblur, ulang lagi, di hitungan ketiga ya." "Iyaaa..." jawabnya. "Okeee satu... dua ... tiga.." ucapku menghitung dengan ekspresi aku buat semenarik mungkin di kamera. Ehh bersamaan dengan bunyi klik dia cium pipi ku. "Dannn... apaansiih, rese banget jadi anak." ucapku kesal. Namun aku tertegun sejenak saat melihat hasil fotonya. "Tuh kann keren banget jadinya." katanya. "Napa diem? Baper? atau mau take lagi." ocehnya. "Baper... baper.. ya nggak lahh." sahutku. "Foto itu mau kamu kirim ke Mama?" tanya dia kemudian. "Ya nggak lah gila kali, baru juga mau aku hapus." "Ehh jangan." dia merebut ponselku lalu mengirim foto tersebut ke kontak wa dia. "Nih..." dia balikin hp ku dengan senyuman nya yang ya lumayan manis. Setelah itu beranjak meninggalkan ruang makan untuk pergi ke kamarnya di lantai dua. Kamarku juga berada tepat disamping kamar Dani, bahkan kami berbagi balkon yang sama. Namun tak pernah sekalipun kulihat dia keluar untuk sekedar santai di balkon. Kerjaannya hanya bikin sarang di kamar. Aku masuk kekamar, merapikan buku yang tadi pagi sempat jatuh berserakan karena berangkat kesiangan, buru-buru mengambil buku yang kebetulan berada ditengah. Dan begitulah jadinya. Setelah itu kurebahkan diri diatas kasur empuk yang selalu setia menyambut kepenatan ku. Baru aja aku telungkup kudengar hujan turun dengan derasnya. Dengan malas kutarik selimut dan bersembunyi lagi dibaliknya. Tapi sepertinya bisa jadi relax kalau liatin hujan sambil minum teh di balkon. Aku bergegas ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat, lalu kembali ke kamar. Saat aku keluar di balkon, kulihat Dani udah ada diluar duduk di lantai bersandar pagar balkon dengan gitar bututnya. Kepalang tanggung kalau mau putar balik juga yang ada malah aku yg dikerjain. Aku duduk di kursi rotan yang ada didepan kamar, kursi itu berada di tengah karena pintu kami berdua berada di bagian tepi bangunan kamar. Dani nyusul aku duduk di kursi namun diujung, aku tau sih dia mungkin saja nervous juga kalau cuma berdua kaya gini. Hah aku ngerasa menang dong, karena dia gak akan usil. Atau aku sama sekali salah, baru aja aku mau minum teh ku, dia udah ngelempar-lempar kerikil hias yang ada di vas bunga yang tertata rapi di dinding ke arahku. "Dan... pliss jangan bikin kesel." Kalau dilarang terus berhenti bukan Dani namanya. Semakin dilarang semakin menjadi. Dan salah satu kerikil tadi berhasil masuk ke cangkirku. Aku hanya melotot kearahnya dengan sabar aku ambil dan kembalikan kerikil itu kedalam vas. Sepertinya dia sama sekali nggak bosan cari masalah. Dia mengambil beberapa kerikil dan melemparnya secara bersamaan. Aku berdiri kuambil semua kerikil yang berjatuhan tadi lalu aku berjalan kearahnya, ingin rasanya kubalas semua perbuatannya. Namun sialnya bekas percikan air hujan masuk sampai jauh disekitar kami, lantai jadi licin dan aku hampir aja terjatuh dengan tidak elegan kalau saja Dani telat barang sedetik buat nangkap aku. Aku berpegangan pada lengannya, dengan jantungku yang terpompa lebih cepat karena kadar kejut yang baru saja diterimanya. Gila dia malah memanfaatkan kesempatan buat ngelus pipi aku dengan punggung tangannya. Buru-buru aku berdiri dan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh lagi. "Udah duduk aja, lagian mau kemana sih." Dia menarikku untuk duduk di sampingnya. Dan entah sejak kapan aku kehilangan kemampuan bicaraku. rasanya deg deg an tadi bukan hanya karena terjatuh deh, kayanya karena duduk dekat dia juga. "Kalau cuma pegangan tangan gini aja boleh kali ya." dia memegang jemariku. "Kamu punya pacar gak sih?" "Emang kenapa?" "Ya nggak papa sih nanya aja, tapi kayanya enggak ada deh, soalnya aku nggak pernah liat kamu kencan atau jalan di malam Minggu." "Emang aku harus laporan dulu sama kamu?" aku berusaha melepaskan tanganku darinya. "Kalau kamu lepasin, aku bisa ngelakuin lebih nih." "Udah deh.... jangan selalu bikin aku marah napa?." aku menarik tanganku dengan paksa. Kemudian berhasil dan tanpa menunggu lebih lama aku berlari masuk kamarku. "Gila tuh anak, berani-beraninya kaya gitu ke aku. Nggak sadar apa, kita tuh sodara mau diembat juga." aku menggosok-gosok pergelangan tanganku yang terasa panas. "Baper sih... tapi mau gimana lagi." aku bermonolog. Kuraih ponsel dan kutelepon nomer mama. Sama seperti sebelumya sama sekali tidak ada jawaban. Mungkin mereka benar-benar sibuk, aku tau mereka tidak mungkin mengabaikan ku. Aku scroll-scroll story' di wa dan nemuin punya Dani. Dia up foto kami berdua di depan cermin tadi dengan pakaian yang semacam itulah juga dia cium pipi aku, untungnya dia masih punya hati nurani dengan nempelin stiker di mukaku. Nggak ada caption apa-apa sih, cuman setelah itu semua status teman-teman sekelas dan anak-anak OSIS yang ada dikontakku pada nge capture story Dani dan menjadikannya story mereka dengan berbagai caption. "Danii... dannn buka pintunya." aku menggedor-gedor pintu kamar Dani dari luar. Beberapa saat kemudian dia keluar dengan bermalas-malasan. "Apa lagi... baru juga mau merem ini mata, ribut mulu." "Lihattt nih karena ke alay an kamu bikin story, jadi trending di mana-mana." "Terus masalahnya dimana? mereka nggak tau, siapa cewek difoto itu kan." "Iya juga sih.." "Udah kamu tenang aja, nggak usah heboh gitu napa." "Nyesel aku masuk kesini, berasa ngomong sama mbak-mbak Ramayana yang gak mau kalah debat." aku pergi dengan perasaan kesal bertumpuk-tumpuk. Baru aja aku menjangkau handle pintu namun tangan dia udah duluan memutar kunci dan menyimpannya di saku celana. "Loohh kamu mau ngapain, bukainn Dan..." "Kamu bilang, aku buaya kan, nahh sekalinya masuk sarang buaya, ya udah kamu gak bakalan bisa keluar." Aku berlari ke pintu keluar yang ada disisi depan kamar, ternyata terkunci juga. Aku berusaha menjaga kewarasan mentalku. "Dan.. aku mau keluar, bukain pintunya, kalau tau aku ada disini Tante Maya bisa salah paham, plisss kamu ngerti kan maksudku." Tiba-tiba dari luar terdengar pintu diketuk. "Dan..." panggil mamanya. "Tuhh kannn kamu dicariin." bisik ku "Iya ma bentar, lagi ganti baju." "Waktu kamu cuma sedikit, sekarang jawab, kamu mau jadi pacar aku atau nggak?" "Kamu gilaa Dan... kita sodara, nggak mungkin pacaran." "Lahh kenapa, nikah aja hukumnya halal kok, sama sepupu." "Danii... lain cerita kalau dikeluarga kita yang awam." kami saling berbisik-bisik agar tidak terdengar dari luar. "Dan... udah belum, mama ada perlu bentar aja kok?" tanya mama nya lagi. "Iya ma bentar lagi." "Kamu mau pintunya aku buka dan mama liat kamu disini?" "Jangan-jangan..."pintaku. "Ya udah, buruan, aku butuh jawaban kamu sekarang." dia mengeluarkan kunci dari saku celananya dan mulai berjalan mendekat kearah pintu. "Iya udah.. ok ok, aku mau." "Yess..." ucapnya, dia kembali kepadaku untuk membuka pintu menuju ke balkon. "Tapi... aku mohon jangan sampai mereka semua tau, mereka pasti akan kecewa banget sama aku, udah numpang gak tau diri." ucapku. "Beresss..." "Dan teman-teman juga." "Iyaaa-iya aku bisa jamin untuk itu. Udah jangan bawel." katanya sambil membuka pintu. Aku segera berlari keluar dan masuk ke kamarku. "Bener nggak sih, aku kasih jawaban ke Dani tadi?" "Halahhh bodoamat toh kalau liat cewek bening aja matanya udah kek mau copot, paling juga lupa bentar lagi sama aku, jadi aman deh." Aku mengambil ponselku dan melihat kembali foto kami. Dan nggak tau kenapa aku bisa senyum-senyum sendiri. Pasti otak ku udah gesrek kalau aku beneran bahagia karena mau jadi pacar Dani. Anganku melayang kemasa kecil kami, saat aku dan dia bermain di playground dekat rumahku. Saat dia berkunjung karena libur sekolah. Aku menangis karena terjatuh saat jalan dan tertabrak ayunan yang swing begitu kencang. Dani langsung ngedorong anak yang ada diatas ayunan sampai jatuh. "Cowok kok main ayunan, kenceng banget lagi, kamu nggak liat adikku jatuh karena kamu." Dan dia ngajak aku pulang yang dalam keadaan nangis Bombay. Karena nggak bisa diem, akhirnya dia jongkok dan minta aku naik kepunggungnya untuk digendong. Dan benar aja begitu udah digendong rasa panik dan ketakutan luar biasa yang aku rasain hilang gitu aja, dan aku bisa diem gak nangis lagi. Sampai diteras rumah dia turunin aku dan bertanya apakah ada yang terluka. Aku hanya menggelengkan kepala. "Kalau main terus mereka nakal ke kamu, bilang ke mereka aku bakalan mukul mereka, dan anak cowok itu nggak boleh kasar-kasar ke anak cewek." "Iya makasih Dan." "Harusnya kamu panggil aku kakak, soalnya aku Abang kamu." "Tapi nggak papa, senyaman kamu aja." lanjutnya kemudian Dan sepertinya aku beruntung tidak pernah panggil dia kakak sejak hari itu, Kalau nggak, ngerubah dari kakak ke pacar pasti sulit banget rasanya. Ngebayangin aja jadi pingin ketawa sendiri, entahlah antara aku harus bahagia atau bingung. Jujur perasaanku berbalas, bahkan kami jadian, tapi... aku sadar aku siapa, kami bersaudara, orang tuaku jatuh miskin, dan aku bisa aja di bully sejagat raya kalau tahu mencintai kakak ku sendiri. Kadang aku merasa ingin Tuhan memeriksa takdirku sekali lagi, apakah tidak ada yang salah ketika menggariskan, aku harus lahir sebagai saudara Dani, apakah tidak ada yang salah kenapa aku bisa mencintai saudaraku sendiri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD