Chapter 01: Untold Things

1266 Words
New York, tulisan ke 1579. Ada sebuah kenyataan yang membawaku sampai ke batas di antara hidup dan mati. Menenggelamkanku ke dasar lautan lepas yang mana aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Terkadang aku heran sendiri, bagaimana bisa mereka menyebutnya sebagai takdir?  Sementara semua yang sudah aku alami selama ini tak lebih dari rasa sakit dan ketidak beruntungan. Apakah ini cara Tuhan membuktikan bahwa diri-Nya adil? Lantas bagaimana caraku menjelaskan semua kekacauan ini? Bukankah ini lucu, aku bicara pada diriku sendiri sambil menyalahkan Tuhan lagi. Demi Tuhan, Ellen, kau harus berhenti. Ketika aku sudah melakukan semuanya dengan baik, kenapa mereka sama sekali tidak mau melihat? Padahal ada sebuah aksi nyata yang kulakukan demi membuktikan kualitasku sebagai seorang pemain peran. Kalau semua ini semata-mata hanya untuk menunjukkan betapa buruknya hidupku, mengapa kalian tidak membunuhku saja sekalian? Tahukah kalian, betapa berat bagiku, bahkan hanya untuk melangkah, di saat semua orang menatapku dengan tatapan hina itu? Aku tahu sejak awal kalau hidupku tidak akan pernah mudah. Ya, aku tahu betul sampai-sampai merutuki nasib sialku di setiap acara televisi. Bukan kemauanku terlibat banyak skandal dengan para produser kaya. Pun bukannya aku sengaja menggoda mereka demi sebuah peran. Walau begitu, semua orang tak akan peduli. Tidak akan ada yang bersedia mendengar suaraku yang tak seberapa ini. Mereka hanya butuh bahan berita, topik hangat pembicaraan, dan sebuah gosip yang sanggup mendongkrak penjualan. Sementara aku … cuma boneka yang terpaksa memberikan itu semua agar namaku tetap dikenal luas. Tapi … ini adalah mimpiku. Impian yang sudah kubangun sejak dulu. Orang bilang, impian berbanding lurus dengan resikonya.  Aku … ingin meninggalkan New York dan kehidupan sialan ini, apakah masih mungkin? Eleanor Thyra, 02:00 a.m ◇•◇•◇ Rasanya sudah lama sekali Ellen tidak merasakan kenyamanan super saat berbaring di tempat tidur. Pasalnya sudah hampir setahun terakhir aktris pendatang baru itu tidak pernah menikmati waktu tidur sedikit pun. Pekerjaan tanpa henti serta setumpuk naskah yang harus dihafal merenggut waktu tidurnya dengan semena-mena. Sebagai aktris yang baru naik daun, Ellen paham bahwa kerja kerasnya masih belum bisa dibandingkan dengan para senior. Tapi ada yang lain dari biasanya. Ellen tahu bahwa matahari sudah tinggi. Terbukti dari cahaya kemerahan masuk, dan menembus kelopak mata yang sengaja ia pejamkan. Seharusnya Keith sudah marah-marah, mengguncang-guncang selimut, atau mencubit-cubit gemas pipi Ellen untuk membangunkannya. Terlebih, kalau wanita itu melihat Ellen masih bergelung malas dibalik  selimut. Setelahnya Keith juga akan membacakan daftar panjang sederet pekerjaan yang harus diselesaikan. “Tuan Putri, Anda sudah merasa lebih baik?” Ellen bertanya-tanya dalam hati, mengapa Keith bersikap sangat manis hari ini? Apa dia membuat kesalahan saat mabuk semalam?  “Keith, apa kau membuat kesalahan semalam?” Ellen bertanya tanpa membuka matanya. “Kenapa sikapmu aneh sekali? Sampai memanggil Tuan Putri segala ….” “Maafkan saya, Putri, tapi nama saya bukan Keith.” suara itu menjawab pelan, “Apa Anda lebih nyaman kalau saya panggil Nona Thyra?” Dahi Ellen mengernyit, Keith sudah bersamanya lebih dari lima tahun dan tidak pernah menyebut nama keluarganya seperti itu. Sejujurnya sang Aktris kurang menyukai nama keluarga yang tersemat di belakang nama Eleanor. Bukan karena apa, melainkan tidak ada lagi nama lain dengan marga Thyra selain dirinya sendiri. Kenyataan bahwa ia sebatang kara, Ellen benar-benar tidak menyukainya. “Keith sejak kapan kau memanggilku seperti itu, huh?” Ellen sontak membuka mata lebar-lebar. “Kau tahu, ‘kan, aku tidak suka dipanggil seperti itu?” Kemudian netranya menangkap sosok seorang gadis bergaun hitam polos tiga per empat dengan apron putih yang menutupi hampir seluruh bagian depan gaunnya. Ia membawa nampan berisi dua butir telur, sepotong roti dan daging asap, serta segelas s**u. “Astaga, siapa kau?!” Ellen berteriak panik, “Dimana Keith, dan apa yang kau lakukan di kamarku?!” Perempuan itu terlonjak, kemudian menundukan kepalanya dalam-dalam karena sedikit kaget. “Ma-maafkan saya, Tuan Putri, tapi saya tidak mengerti maksud Anda.” Bola mata karamel milik Ellen menatap penuh selidik pada perempuan di depannya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu, akan tetapi ia sama sekali tak berani menatap Ellen. “Nama saya Frita, Nyonya Margareth memerintahkan saya agar membawakan makanan untuk Anda, Tuan Putri.” Gadis pelayan itu berucap pelan, hampir mencicit. “Tapi saya tidak tahu dimana Keith berada, karena saya tidak mengenalnya, Putri.” lanjutnya. Mulut Ellen terkatup rapat dan kerongkongannya mendadak kering. Saliva yang tersangkut sulit sekali ditelan, dan ia mengerjap beberapa kali untuk memastikan kejadian sebenarnya. Sepersekian detik berikutnya Ellen menyadari banyak kejanggalan dari ruangan yang kini ia tempati. Mulai dari warna dinding, arsitektur, hingga interior. Ruangan bertema european style itu terlihat simpel, tapi mewah sekaligus elegan. Jauh berbeda dengan desain minimalis apartemen Ellen di New York. “Tuan Putri, Anda tidak apa-apa?” Frita bertanya sekali lagi, memastikan bahwa Tuan Putrinya baik-baik saja. Ellen menarik napas, kemudian memelototi gadis pelayan yang masih berdiri dengan nampan penuh makanan.  “Boleh tanya sesuatu?” Ellen menarik napas sebelum menatap pelayan itu lekat-lekat. “Di mana aku sekarang?” Bola mata Frita membulat sempurna, seiring dengan mimik wajahnya yang tahu-tahu berubah ketakutan dan pucat pasi. “Nyonya Margareth, Putri Mahkota hilang ingatan!” Seruan panik itu memecah keheningan, vokal soprannya beradu dengan bunyi gaduh. Prang! Pelayan wanita itu tiba-tiba melepaskan nampan yang dia pegang, kemudian menutup mulut dengan tangan sambil berlari panik keluar.  “Hei, tunggu! Aku baik-baik saja, Frita!” Ellen meratapi makanan yang berhamburan di lantai, dan sejurus kemudian Frita  kembali dan membawa lebih banyak orang bersamanya. “Tuan Putri, bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa ada yang sakit?”  Seorang pria paruh baya masuk ke tengah-tengah kerumunan. Tubuh gempalnya menggeser para pelayan, sorot mata penasaran itu menyasar Ellen sebagai objeknya. Dia mengenakan kaus hitam berlengan panjang dan mantel putih yang ujungnya menjuntai sampai ke betis. Tangan keriputnya merapikan topi fedora yang menutupi kepala setengah botak itu. Ellen mengernyit heran, memangnya sakit apa dia sampai harus diperlakukan bak orang sekarat begini. “Aku baik-baik saja, oke? Tolong jangan berlebihan.” Ellen berucap penuh penekanan, terheran-heran pada kejadian yang menimpanya. “Ada yang bisa menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?”  “Anda tidak ingat, Putri?” Margareth, salah seorang pelayan yang terlihat lebih senior maju selangkah. “Anda baru saja menikah dengan Putra Mahkota kemarin, dan jatuh pingsan beberapa jam yang lalu saat hendak memberi salam pada Yang Mulia Raja.” Hening. Ellen langsung dihujani perasaan bingung yang melanda tiba-tiba. Pun sedikit rasa pening mampir di kepalanya, masih samar, semoga saja tidak semakin menjadi-jadi karena hal ini. “Putri? Menikah? Putra Mahkota? Raja…?!” Ellen tidak habis pikir dengan penjelasan tak masuk akal yang baru saja dia dengar. “Omong kosong macam apa ini? Ngomong-ngomong, mana Keith? Kenapa Keith tidak ada di sini?” Giliran para pelayan yang kebingungan. “Maafkan saya, Putri, tapi siapakah Keith?” Margareth mengernyit bingung. “Kalian mengerjaiku, ya?” Ellen mengernyit kesal. “Dari stasiun televisi mana?” Kini giliran wanita bernama Margareth itu yang bingung. “Maksud Anda, Tuan Putri?” Lebih dari tiga pasang mata menatap Ellen keheranan, sontak hal itu semakin membuatnya bingung. Pertama, mereka semua tidak mengenal Keith. Kedua, dia tidak berada di apartemennya, dan sejauh mata memandang Ellen sama sekali tidak menemukan New York-nya di balik kaca jendela. Ketiga, semua orang di sini hanya menjelaskan hal-hal gila padanya. Ah, kepalaku sudah cukup sakit karena mabuk semalam, dan mereka akan tetap seperti ini? Yang benar saja!   -TBC- ◇•◇•◇ Hai, gimana, gimana? Nah lho, Ellen tahu-tahu udah enggak di New York lagi. Apa yang sebenarnya terjadi ya? Yuk, ikuti terus kisahnya dan jangan lupa tekan LOVE untuk mendukung Ellen, Ravi, dan Yonathan. See you in the next chapter~!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD