Chapter 02: Unrealible Truth

1408 Words
“Keith yang mengizinkan kalian melakukan ini padaku, ya?” Ellen mengacak rambutnya frustrasi. “Astaga, Keith itu benar-benar! Awas saja nanti!” Wanita itu melanjutkan, “Aku tanya sekali lagi, kalian dari stasiun televisi mana, dan ini acara apa?” Semua orang kembali menatapnya keheranan. “Putri, kalau boleh saya tahu, siapakah Keith?” Margareth mengulang pertanyaannya, sementara Ellen hanya menatapnya bingung. “Acara? Stasiun televisi? Itu sejenis apa kalau saya boleh tahu?” “Huh, like seriously?” Ellen memutar bola matanya malas. Ditengah kacaunya pikiran Ellen, tiba-tiba saja sesosok pria tinggi bertubuh tegap dan berbahu lebar masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu mengayunkan tungkainya perlahan, dengan kaki jenjang kokoh yang dibalut celana katun gelap. Ia terlihat sangat gagah dengan setelan kemeja semi formal berwarna navy, dilengkapi pengait khas kerajaan berbahan granit bercorak pastel. Netra kelamnya yang tajam bagai elang mengedarkan pandangan pada orang-orang yang berada di sana, termasuk Ellen. Nyonya Margareth, si dokter gempal bertopi, dan para pelayan kompak menundukan pandangan mereka. Ellen menatap pemuda itu tanpa berkedip, dengan hidung bangir, sorot mata tajam dan rahang yang kokoh, membuatnya tampak seperti pahatan patung Dewa Yunani. Dalam keheningan itu netra mereka bertemu. Ellen bergeming di tempatnya, tepat kala bola mata pekat pria itu menumpukan atensi pada manik karamelnya.  “Kalian semua boleh pergi.” Pria itu berucap pelan, suara baritonnya memecah keheningan. “Kemuliaan dan Kejayaan Orient bagi Putra Mahkota.” Kompak mereka menyilangkan satu kaki sambil membungkuk, memberi hormat pada Putra Mahkota sebelum mengantre keluar dari ruangan Ellen. “Bagaimana perasaanmu, Eleanor?” Pria itu masih menatapnya, kaku dan sama sekali tidak ada manis-manisnya. Ellen tidak menjawab pertanyaan pria di depannya. Otaknya sibuk bekerja, berusaha keras menggali ingatan kejadian yang terasa semakin familiar ini. Dia tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya, tapi jelas kalau ini sangat tidak masuk akal. Ellen belum lupa bahwa semalam dia masih sempat minum-minum di bar dengan Keith, manajernya. Saat itu suhunya sangat dingin untuk pertengahan musim salju di bulan Desember. Malam masih belum terlalu larut, mungkin sekitar pukul sepuluh lewat. Ellen dan Keith baru saja mengakhiri pertemuan mereka dengan seorang penulis naskah. Vodka adalah yang terakhir Ellen tenggak sebelum semuanya gelap … dan berakhir seperti ini. Sial, aku benar-benar tidak bisa mengingat kejadian semalam dengan lengkap! Tapi … kalimat tuan putri, putra mahkota, raja, pernikahan, dan semua suasana ini seperti dejavu. Juga, sosok lelaki di depannya ini, entah mengapa sangat lekat di kepala sang Aktris. Mulai dari manik kelam yang selalu menarik obsidiannya masuk, hidung bangir yang kokoh, serta surai legam yang membingkai wajah berahang tegas itu. Di mana, ya, Ellen pernah tahu ada kejadian yang mirip sekali dengan apa yang terjadi padanya saat ini? Siapa pria yang dipanggil Putra Mahkota itu? Kenapa juga ia dinyatakan sudah menikah dengan Pangeran yang kelihatan kaku begini? “Apa kau tidak bisa bicara sekarang?” Suara bariton itu memecah lamunan Ellen, membuat perempuan itu mau tak mau menanggapi lelaki kurang ajar yang sudah menyebutnya bisu. “Kau baru saja bilang aku bisu?” Ellen mengernyit kesal. Lelaki itu mendengkus kasar, “Aku cuma tanya kenapa kau diam saja.” “Hei, Tuan--” “Hei, Tuan?” Pemuda itu memotong cepat-cepat. “Kau baru saja memanggilku ‘Hei, Tuan’?” “Ya, memangnya aku harus panggil apa lagi?” Ellen membalas tatapan tajam itu, dengan sengaja ia menampilkan mimik wajah polosnya. “Kau juga bilang aku bisu.” “Oke, aku ganti pertanyaannya.” Sang Putra Mahkota akhirnya menyerah. “Kenapa kau diam saja, padahal aku bertanya padamu?” “Apa kau tidak bisa melihat?” Ellen malah membalikkan pertanyaan dengan intonasi serupa sebelumnya, kemudian menatap mata elang itu langsung pada obsidiannya. “Tadinya aku sedang berpikir. Apa orang yang sedang menggunakan otaknya harus dipaksa bicara di sini?” “Kau tidak tahu siapa aku?” Pemuda itu mendesah lelah, “Kita baru bertemu kemarin di altar.” Hening. Ellen sama sekali tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang satu itu. “Apa kau duduk di atas ranjang itu dengan tahu siapa aku?” Lelaki itu memperjelas ucapannya. Semua orang bilang kalau kau suamiku, dasar sialan!  Ellen tampak berpikir sejenak. “Jadi … kau itu suamiku?” “Kau tahu siapa suamimu?” Percakapan mereka berdua terdengar semakin aneh. Ellen tidak tahu pria kaku macam apa yang tahu-tahu sudah resmi menjadi suaminya itu. Sementara Putra Mahkota juga tak kalah heran, bagaimana bisa perempuan pendiam yang kemarin dia nikahi berubah jadi makhluk betina barbar seperti ini. Apa kepala gadis ini terbentur saat pingsan tadi? “Kau memang suka membantah, atau tidak tahu tata krama, Eleanor?” Ravi berucap pelan, tapi jelas sekali ada intonasi kesal yang masuk ke nada suaranya. Ellen terdiam lagi, potongan puzzle di kepalanya masih berusaha ia satukan. Lengkap dengan seluruh kebingungan yang membelenggu sejak saat pertama kali membuka mata. Kalau ternyata ini sekadar prank, maka gadis itu sudah pasti akan memaki kesal pada Keith nanti. Sumpah, bercandanya sangat tidak lucu, dan kepala Ellen jadi semakin berdenyut-denyut. Siapa juga yang tidak kesal kalau masih hangover tapi sudah dikerjai? “Oke, aku jawab. Putra Mahkota, ‘kan?” Ellen menggantung pertanyaannya, menyelipkan nada ejekan di dalamnya. “Memangnya kenapa juga kalau Putra Mahkota? Bukankah Putra Mahkota yang terhormat ini adalah suamiku?” Ellen mengulum senyum, kemudian menegakkan duduknya dan berakting seperti putri raja. Eh, tunggu! Bukankah di sini aku sudah jadi putri raja sungguhan? Mungkin bukan putri raja, lebih tepatnya … putri mahkota. Sang Pangeran menatapnya sambil menggelengkan kepala.  Tunggu! Jangan-jangan …. ◇•◇•◇   Tidak yakin di mana, tulisan ke 1580. Mereka bilang, seseorang yang mabuk tidak akan mengingat apa pun. Aku rasa itu benar adanya. Baru saja kemarin aku mampir ke bar setelah mengadakan sebuah pertemuan dengan seorang penulis. Itu adalah pertemuan yang kaku, bodoh, dan membosankan. Naskahnya klise, dan aku sama sekali tidak menyukai peran yang ia berikan untukku. Memangnya dia pikir aku siapa? Aku ini Eleanor Thyra, dan ia memberikan peran yang bukan peran utama. Kemarin Istri dari produser Hook mendatangiku, memaki sepuas hati sebelum suaminya datang dan menyuruh wanita itu pergi. Aku tidak tahu di mana letak kesalahanku. Produser tua itu yang memanggilku berulang kali ke ranjangnya, tapi aku yang selalu mendapat masalah. Apakah ini sejenis karma, atau apa? Memangnya kehidupan macam apa yang kumiliki di masa lalu? Aku tak mau memikirkannya, mungkin tidak bagus. Pagi ini aku membuka mata dan mendapati begitu banyak hal aneh. Tidak seperti biasanya. Jelas sekali bahwa ini sama sekali bukan apartemenku. Tempat ini sama sekali tidak mirip dengan kamarku. Yah, walau harus kuakui bahwa arsitekturnya tidak kelihatan murahan sama sekali. Meskipun begitu, di dunia yang segila ini, tidak sulit menemukan arsitektur klasik sejenis ini. Aku belum melihat Keith sama sekali. Dia akan menjadi orang pertama yang masuk dalam daftar kecurigaanku. Mungkin ini adalah salah satu reality show yang disetujui tanpa sepengetahuanku. Ah, Keith kadang bisa begitu sialan. Aku lupa, bahwa ia sering mengatur jadwalku semaunya. Tapi aku juga tak bisa menyalahkannya, Keith biasanya mempunyai perhitungan tepat saat mengambil sebuah job. Mungkin acara televisi menyebalkan ini memberikan bayaran yang tidak sedikit. Setidaknya kurasa itu masih jauh lebih baik dari pada rekanan penulis naskah yang dikenalkan Produser Hook padaku. Rubah tua itu, padahal aku sudah berbaik hati dan bersedia naik ke ranjangnya. Lantas pria b******k itu sama sekali tidak memberiku pekerjaan yang bagus. Apa susahnya menjadikanku sebagai pemeran utama film terbarunya? Apa Donna Hellberg menghabiskan lebih banyak waktu dengan rubah tua itu daripada aku? Ah, masa bodo. Semoga saja bayaran reality show ini memang besar. Anehnya, tempat ini sama sekali tidak mirip New York. Aku belum tahu pasti, akan tetapi udara yang berembus di sini jelas sekali sangat berbeda. Kota metropolitan yang kukenal itu akan terasa lebih penuh sesak, dengan menara beton di mana-mana, dan asap kendaraan bermotor yang melintasi jalan raya setiap hari. Aku tidak yakin, tapi rasanya ini seperti bukan New York. Lantas, dimanakah aku berada? Apa orang-orang ini bisa aku percaya? Eleanor Thyra, tidak tahu jam berapa. -TBC- ◇•◇•◇   Halo, aku kembali lagi dengan kisah awal Ellen yang baru menjejaki Orient. Gimana, gimana? Apakah kalian mulai penasaran? Apakah yang akan dilakukan Ellen? Di mana dia sebenarnya? Di New York, atau bukan? Ada yang mau menebak-nebak juga?  Ravi sudah mulai muncul, lho. Begitu buka mata udah jadi istri orang, pangeran, tampan, berwibawa. Ada yang mau? Sama, dong, aku juga mau soalnya, hahaha. #plakk Nah, jangan lupa tekan LOVE ya, supaya aku makin semangat meng-update cerita ini. So, See you in the next chapter~!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD