Chapter 4 - Rumah Pohon

2215 Words
Chapter 4 - Rumah Pohon Sudah hampir sepuluh menit Merlin dan Fabio di sana. Mereka terdiam, tidak sedikitpun mereka mengeluarkan suara. Hening menyelimuti suasana keduanya saat ini. Mereka sedang sibuk dalam pikiran masing-masing. Merlin bingung, kenapa ia membawa Fabio ketempat rahasianya? Padahal, Gloria dan Novia saja tidak tahu tempat ini. Habisnya, Merlin bingung mau bawa ke mana si Fabio ini. Situasinya mepet pula. Kan jadi susah buat mikir dulu. Jadi apa saja yang terlintas di pikiran Merlin, ia lakukan. Tadi yang terlintas justru rumah pohon ini. Padahal sudah jelas. Rumah pohon ini adalah area terlarang bagi siapapun, kecuali Merlin. Betapa bodohnya Merlin malah membawa Fabio ke sini. Sudah tidak aman lagi nih, tempat rahasia Merlin. Ternyata jadi aktor itu susah susah gampang yah. Kalau ke banyakan fans juga repot kaya gini jadinya. Repot juga, kalau terus di kejar-kejar fans. Apalagi kalau fans fanatik. Mereka bisa melakukan apa saja, demi bertemu idolanya. Merlin sungguh sangat menyesal, kenapa ia membawa Fabio ke sini. Tempat rahasianya kini sudah tidak aman lagi. "Kamu suka ke sini yah? Tempat ini bagus banget, " tebak Fabio memecahkan keheningan di antara mereka. Fabio melihat ke sekitarnya. Rumah pohonnya tampak unik dan lucu. "Jangan sok tau deh! Lagian, ko bisa lo jadi aktor? Padahal tampang lo bisa aja!" glek muji apa nyindir nih Merlin? Fabio meneguk salivanya. Pasalnya pertanyaan ini bukan pujian. Melainkan sebuah ejekan. "Aku juga engga tahu. Hidup aku mengalir gitu aja. Padahal sebelumnya aku pengen jadi dokter sama kaya papah. Papah aku itu seorang dokter. Dia dokter hebat. Bangga aja gitu, kalau jadi dokter. Dia bisa menyelamatkan hidup seseorang. Apalagi sampai sembuh. Yaah.. Sayangnya, takdir berkata lain. Aku harus mengikuti jejak mama. Jadi seorang aktor. Mama aku model. Ya ga beda jauh lah. Masih di dunia entertain," curhat Fabio. "Oh jadi. Jadi aktor itu bukan ke mauan lo? Ya udah, ga usah jadi aktor kalo kaya gitu. Kan repot kalo di uber terus fans fanatik macam tadi. Gue juga yang repot," saran Merlin tidak bermutu. Heran. Merlin sepertinya tidak suka pada Fabio. Sejak pertemuan pertamanya, memang tidak menujukan rasa persahabatan di antara mereka. Bukannya menanggapi curhat Fabio. Merlin malah ngomel ga jelas. "Yuk turun ah! Lagian ini udah mau selesai jam istirahatnya. Dan inget! Lo engga boleh kasih tau siapapun tempat ini! Kalo engga gue bunuh lo!" ancamnya kejam. Wihh bahaya juga nih, kalau Merlin sudah mengancam. "Wes! Serem amet. Iya aku janji. Sekali lagi makasih yah udah selamatin aku," ucapnya tulus. Ada sedikit rasa lega di wajah Fabio. Tanpa mengiyakan ucapan Fabio. Merlin turun dari rumah pohon dengan lincahnya. Fabio mengekor di atasnya. Mereka berdua berjalan ke arah kelas. Ada perasaan terharu di dalam hati Fabio. Secara engga langsung, sekarang Fabio tau. Tempat rahasia Merlin. Yang pastinya, tidak semua orang tau. Di depan kelas terlihat sudah sepi. Sepertinya jam perlajaran sudah di mulai. Bisa gawat, kalau sampai terlambat. "Mati gue! Ini pelajaran matematika. Bu Anggi pasti marah besar, kalo muridnya telat!" pekik Merlin sambil menepok jidatnya. Di sisi lain Fabio hanya senyam senyum, melihat tingkah laku cewek super ajaib seperti Merlin. "Ngapain lo senyam senyum, gawat nih. Kita bisa di jemur di tengah lapangan. Atau di suruh bersihin toilet lagi kaya kemaren," Merlin mulai panik. "Oh jadi yang hukum kamu bersihin toilet kemarin itu bu Anggi?" terka Fabio. Ia mengikat kejadian saat pertama kali mereka bertemu. Kejadian lucu yang pernah terjadi selama dalam hidup Fabio. Fabio justru bersyukur. Dengan kejadian itu, ia bisa bertemu Merlin. Entah kenapa ada perasaan yang berbeda menyelusup, ke dalam hati Fabio. Apa itu cinta? Entahlah. "Iya," singkat Merlin. Fabio mengenggam tangan Merlin. "Tenang aja ada aku. Yuk!" Fabio menuntun langkah Merlin menuju kelas. "E..eehh!" ****** Siang ini matahari begitu terik. Terangnya mentari tidak bersahabat. Membuat orang-orang yang melintas di hadapnya bersembunyi di bawah bayangan apapun yang ada di sisinya. Panasnya sangat mencubit. Rasanya enggan untuk pergi berkeliaran di bawah terik matahari kali ini. Tapi, di bawah sana. Tepatnya di tengah lapangan. Ada dua murid yang sedang menjalani hukumannya. Ya, tentu mereka. Fabio dan Merlin. Mereka menghormat pada bendera yang ada di hadapannya. Hukuman itu berakhir sampai jam pelajaran matematika selesai. Pelajarannya ibu Anggi. Betul saja mereka di hukum. Gara-gara Fabio sih yang nekat masuk di tengah pelajaran ibu Anggi. Udah tau ibu Anggi itu, hobi sekali menghukum murid yang terlambat. "Gara-gara lo sih! Harusnya kita engga masuk aja pas pelajaran bu Anggi. Di hukum kan kita. Apa lo engga takut reputasi lo sebagai aktor, ancur gara-gara di hukum kaya gini?" dumal Merlin pada Fabio. "Mer, kita harus tanggung jawab dong sama apa yang kita perbuat. Sorry kalo aku narik kamu ke dalam masalah ini. Dan soal reputasi. Aku engga takut ko. Malah ini keren! Aku sebelumnya, belum pernah merasakan sensasi di hukum. Makasih yah Mer," ini si Fabio koslet apa gimana sih? Di hukum ko malah terimakasih sama Merlin. Fabio malah girang. Sesenang itu kah dia si hukum? Dasar aneh. "Terserah lo deh!" Tttteeeeeettt Bel pelajaran ibu Anggi berakhir. Itu tandanya hukuman mereka selesai. Merlin menurunkan tangannya yang sudah pegal. Bayangkan saja dua jam menghormat bendera. Di tengah terik matahari pula. Memang sempat di turunkan tangan Merlin, saat ibu Anggi masuk kelas. Tapi ibu Anggi ini memang cerdik. Ia terus memantau hukuman Merlin dan Fabio. Sementara murid-murid yang ada di kelasnya, ia berikan tugas seabrek. Memang kejam nih guru. "Ingat kalian tidak boleh terlambat lagi, dalam pelajaran saya. Kalau sampai terlambat lagi. Kalian akan dapat nilai nol besar di rapot kalian. Dan kamu Fabio! Jangan mentang-mentang kamu artis. Hukuman yang saya berikan tidak pandang siapapun!" ujar ibu Anggi. "Iya maaf bu," ucap Merlin dan Fabio bebarengan. Mereka saling berpandangan sejenak. Cie bisa kompak kaya gitu. "Dan kamu Merlin! Apa tidak bosan saya hukum terus? Kamu saya kasih hukuman tambahan sama Fabio juga. Kerjakan soal matematika halaman 56. Sepulang sekolah harus sudah di kumpulkan," ibu Anggi ini memang kejamnya melebihi kepala sekolah. Guru paling tegas dan paling di takuti. Kepala sekolah mah lewat lah. Masih lebih kejam ibu Anggi.1 "Tapi bu.." "Jangan membantah Merlin! Kerjakan saja!" perintahnya. Setelah itu ibu Anggi berlalu. Novia dan Gloria menghampiri Merlin. Malang sekali nasib sahabatnya itu. Dua hari berturut-turut mendapatkan hukuman dari ibu Anggi. "Mer, gue ada info nih. Sore ini ada chasting di Kemang. Lo coba deh ke sana," ujar Gloria tanpa basa basi. "Iya Mer, tapi engga apa-apa kan kali ini perannya jadi pembantu?" tambah Novia membenarkan ucapan kembarannya. "Kamu mau jadi artis?" tanya Fabio. Merespon percakapan Novia dan Gloria. "Bukan urusan lo!" timpal Merlin galak sambil mengajak Gloria dan Novia menjauhi Fabio. "Kalian itu yah. Kalo ngomong soal chasting jangan di depan si Fabio itu. Malu kan gue. Perannya pembantu pula. Bisa ketawa puas dia, kalo tau gue cuma artis abal-abal yang masih cetek. Kalian tau kan, dia itu aktor. Malu gue," protes Merlin. "Sorry sorry, ya maaf. Gue kan engga tau. Tadi gue baru dapet infonya noh di internet. Siapa tau lo ke pilih kali ini. Meskipun jadi pembantu. Itu peran utama loh!" sesal Gloria. "Kalo kamu beneran pengen jadi artis. Aku bisa bantu loh," ucap Fabio yang ternyata mengikuti mereka tadi. Ini orang selain aktor. Penguntit juga kali yah? Merlin dan si kembar terperanjat kaget melihat kehadiran Fabio. Perasaan tadi mereka sudah menjauh deh. Ternyata Fabio ini kepo juga. Terkadang penyakit kepo itu menyebalkan juga yah. "Gimana Mer?" ulang Fabio. Merlin mendekat pada Fabio. "Heh aktor so kecakepan! Gue engga butuh belas kasihan dari lo! Gue mau jadi artis dengan hasil gue sendiri. Sorry gue engga butuh bantuan lo!" tandasnya ketus. Merlin memang paling tidak suka di kasihani. Paling benci. Biarpun Merlin miskin. Tapi, Merlin tidak haus popularitas. Merlin lebih suka berjuang sendiri tanpa bantuan orang lain. "Eh jangan gitu Mer, terima aja tawaran Fabio. Lumayan loh! Siapa tau lo bisa jadi artis lebih cepet. Fabio kan aktor Mer!" dukung Novia penuh semangat. "Iya Mer, dari pada ngandelin chasting-chasting terus. Yang ada apa? Nihil kan?" tambah Gloria. Memang ada betulnya juga pendapat Gloria dan Novia ini. Toh Fabio sendiri yang menawarkan pada Merlin. Bukan berarti memanfaatkan Fabio sebagai aktor. Ini murni ketulusan dari Fabio. "Sorry gue engga berminat!" ujar Merlin sambil pergi meninggalkan mereka. "Duh sorry yah, Fab. Merlin emang kaya gitu. Keras kepala banget," sesal Novia. Jelas-jelas Merlin yang salah. Malah Novia yang minta maaf. Yah itulah gunanya sahabat. Selalu meminta maaf mewakili sahabatnya. Meskipun ia tidak salah. "Fabio, jangan sedih. Nanti kita bantu rayu dia deh. Tapi lo serius kan mau bantuin Merlin?" tanya Gloria. Fabio mengangguk mantap. "Eh iya. Fabio selfie yuk!" lah ujung-ujungnya ngajak selfie lagi. "Ayo!" seru Fabio, seraya menyunggingkan senyum semanis madu. ***** Rumah kontrakan di pesisian ibu kota Jakarta, terlihat sangat padat. Rumah yang berderet saling desak-desakan menambah kesan kumuh desa itu. Rumah semi permanen itu di buat penduduk dengan asal-asalan. Ada yang menggunakan bahan matrial kayu dan ada pula yang hanya berlapis kerdus saja. Di pesisian ibu kota memang sangat banyak rumah semi permanen seperti ini. Terkadang kasihan juga, kalau rumah mereka harus kena gusuran pemerintah. Karena tidak punya hak paten atas rumah yang mereka tinggali. Apalah daya, mereka hanya ingin punya tempat untuk berteduh. Jerih payah telah mereka lakukan dengan sekuat tenaga. Jangankan untuk membeli rumah, untuk makan sehari-haripun. Terasa sulit bagi mereka. Mereka harus berjuang. Bercucuran keringat untuk mencari sesuap nasi. Demi kebutuhan perut mereka. Bahkan ada yang rela melakukan hal apapun. Demi mendapatkan makam. Bukan karena Tuhan membenci atau mengutuk mereka. Namun karena takdirlah yang bermain. Merlin berjalan menyusuri rumah penduduk yang berdesak-desakan. Sepertinya dia sudah terbiasa dan bisa beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Merlin masuk ke sebuah rusun alias rumah susun. Ia menaiki anak tangga satu demi satu. Dan sampailah ke lantai empat. Melin membuka pintu rumahnya. "Makanya cari duit yang banyak! Gua judi buat kalian juga!" timpal sorang bapak-bapak setengah baya sambil menunjuk seorang wanita yang paruh baya juga. "Ada apa ini?" tanya Merlin. Sebetulnya Merlin, sudah terbiasa menyaksikan kejadian ini. Pasti bapaknya sedang menyiksa lagi ibunya. "Cukup pak! Harusnya bapak yang cari duit jangan kerjaannya judi aja!" bentak Merlin. "Eh anak kurang ajar yah kamu!" bapaknya Merlin mendekati Merlin. Tapi ibunya Merlin mencegahnya. "Cukup pak! Jangan!" cegah Laras. "Sini kalo berani sama Merlin!" tantangnya. Bapaknya Merlin mendekati lagi. Saat tangan bapaknya Merlin akan menampar Merlin. Merlin memutar tangan ayahnya ke belakang. "Aauuuww," pekik bapaknya Merlin. "Bapak bisa nyakitin ibu. Tapi aku engga akan bisa pak. Cepet minta maaf sama ibu!" perintah Merlin. Belum tahu, kalau Merlin ini memang juara karate di sekolahnya. "Iya, iya lepasin gua dulu!" ucapnya sambil meringis. Merlin melepaskan tangan bapaknya yang di pelintir ke belakang. "Bu, maafin bapak. Ya udah bapak keluar dulu. Mau cari kerja," "Jangan pulang sampe dapet kerjaan!" teriak Merlin agar terdengar bapaknya. Merlin terkekeh. Pasanya wajah bapaknya berubah takut. Setelah Merlin pelintir tangannya ke belakang. Untungnya Merlin belajar karate. Kalau tidak, mungkin nasibnya akan sama seperti ibunya. Yang hanya diam ketika di aniaya. "Engga boleh gitu loh sama bapak," tegur Laras ibunya Merlin. "Bu, bapak itu emang kali-kali harus di gituin biar kapok. Duh ini di pukul sama bapak lagi?" tanya Merlin sambil memegangi pipi ibunya yang sudah lebam. Laras mengangguk tanpa berkata. "Bu mau sampe kapan sih ibu di sakitin bapak terus? Kenapa ibu engga pisah aja dari bapak. Jelas-jelas bapak nyakitin ibu terus," Merlin mendengus kesal. "Mer, jangan gitu ah. Gitu-gitu juga bapak kamu. Oh iya denger-denger di sekolahmu ada murid baru yah? Emm.. Aktor kalo engga salah ibu dengar. Siapa namanya?" tanya Laras mengalihkan pembicaraan. Dari dulu kalau membicarakan soal pisah dengan bapaknya Merlin. Laras selalu mengelak dan selalu tidak mau membahasnya. Merlin mengerti, mungkin ibunya ini terlalu sayang sama bapaknya. Tapi, kasihan juga kan, kalo di siksa terus seperti ini. Cinta sih cinta. Tapi apa sanggup, kalau terus tersakiti seperti ini? "Fabio bu, ibu tau dari siapa sih?" dengan malas Merlin menyebut namanya. Cepat sekali gosip Fabio masuk sekolahan Merlin. Setenar itukah dia? Sampai-sampai ibunya Merlin saja tahu, kalau Fabio satu sekolahan dengan Merlin. "Nah kalo gitu kebetulan. Mendingan kamu deketin dia deh. Siapa tahu kamu bisa jadi artis. Kaya impian kamu. Ya, mau yah Mer! Ibu pengen banget liat kamu jadi artis. Buat dia jatuh cinta sama kamu. Kayanya dia orang baik-baik, Mer. Anak cantik ibu pasti bisa dong menaklukan hati aktor seganteng itu," rayu Laras. "Ibu! Duh apaan sih bu. Memang Merlin pengen banget jadi artis. Tapi engga dengan cara kaya gitu. Bu, Merlin pengen dengan usaha Merlin sendiri. Itu picik namanya," tandas Merlin. "Pokoknya ibu engga mau tahu! Kamu harus bisa jadi pacarnya Fabio! Titik!" Petaka apa lagi ini? Ibu memang selalu memaksakan kehendaknya. Merlin tahu maksud ibunya baik agar karirnya berkembang. Tapi haruskah dengan cara bantuan Fabio? "Ya udah. Merlin pikirin lagi. Tapi, kalo jadi pacarnya kayanya engga deh," elak Merlin. "Harus Mer! Harus! Ibu setuju, kalo calon suamimu itu Fabio. Kalo engga ibu bunuh diri lagi nih," ancamnya seperti biasa. Jurus andalan Laras, mengancam anaknya dengan cara bunuh diri memang ampuh. Laras beberapa kali mencoba bunuh diri, karena Merlin tidak mau mengikuti keinginannya. Merlin selalu tertekan dengan keinginan ibunya yang aneh-aneh. Dari pada hal itu terjadi. Mendingan, Merlin iyakan saja kemauan ibunya. Laras Camira, ibu Merlin yang super matre. Ia ingin sekali Merlin punya pacar orang kaya. Alasanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Merlin selalu mencoba pacaran dengan sesorang. Tapi yang ada mereka, semua kabur karena kelakuannya yang persis preman. Mana tahan, kalo salah sedikit saja. Merlin langsung adu jotos atau berantem menggunakan fisik. Entah itu di tinjok, di tendang atau di pukul. Sepertinya sifat preman ini di warisi dari ayahnya. Heheehe "Iya, iya, iya," merlin pasrah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD