Dua

3490 Words
Minggu (12.32), 14 Juni 2020 ---------------------- Aku tidak bisa tidur. Kejadian tadi siang di sekolah mengganggu pikiranku. Aku tidak menyangka ciuman kasar bisa terasa begitu nikmat dan malah membuat penasaran. Aku buru-buru menepis pikiran itu. Berkali-kali kuingatkan diriku bahwa aku sudah memiliki tunangan. Tapi pikiranku sedang tidak bisa diajak kompromi. Aku melirik jam di atas meja samping ranjang. Sudah jam satu lewat. Aku meraih Hpku lalu memandang nomor baru yang dikirim Regita tadi siang. Haruskah aku menghubungi Raymond lebih dulu untuk meminta kepastian hubungan kami? Atau mungkin hanya menelepon menanyakan kabar lalu mulai menjalin hubungan yang lebih akrab? Aku memijat pelipisku dengan frustrasi. Bagai-manapun aku hanya manusia biasa. Kalau tidak diberi pilihan dan ada kesempatan, bisa saja aku pindah ke lain hati tanpa sadar. Tapi aku tidak mau itu terjadi. Keluarga besar kami pasti kecewa. Lagi pula aku sudah berjanji bahwa aku akan mencintai Raymond di hadapan keluarga besar kami. Tapi saat ini keadaan menjadi sulit. Aku khawatir dengan keberadaan Al dan kenyataan dia bisa membangkitkan segala emosiku hanya dalam waktu singkat. Pasti tidak sulit baginya untuk memunculkan perasaan rindu pada diriku, yang nantinya berujung cinta dan yang pasti juga kehancuran. Aku menarik nafas panjang sejenak, lalu mencoba menghubungi Raymond. Aku tahu tidak sopan meng-ganggunya selarut ini. Tapi kan dia tunanganku. Lagi pula kalau menunggu besok, mungkin aku tidak lagi memiliki keberanian untuk menghubunginya. Aku menunggu dengan waswas. Pikiranku terasa kosong dan aku mulai panik. Apa yang harus kukatakan padanya. Aku bangkit lalu berjalan mondar-mandir. Aku memeras otakku untuk mencari bahan pembicaraan. Aku sudah nyaris mematikan Hpku ketika suara berat yang maskulin terdengar. “Halo!” aku meringis mendengar nada kasar dalam suaranya. Tampaknya Raymond sangat jengkel karena ada yang mengganggu tidur nyenyaknya. “Raymond?” aku mengucapkan kata pertama yang melintas dipikiranku. “Ya!!” jawabnya kasar. “Anda siapa dan ada urusan apa? Sebelum anda menjawab sebaiknya lihat dulu jam anda. Saya khawatir anda tidak sadar kalau saat ini sudah larut malam.”  Aku cemberut mendengar ucapannya yang tidak ramah. Padahal ini pertama kalinya kami saling berbicara. Tapi aku mengingatkan diri bahwa Raymond tidak tahu kalau yang berbicara adalah tunangannya. Salahku juga karena sudah mengganggu tidurnya. “Aku Dhea.” Suaraku hanya berupa bisikan. Tapi pasti Raymond mendengarnya. “Oh, Dhea siapa?” tanya Raymond sinis. Aku sangat kecewa karena dia tidak mengenaliku. Memangnya berapa banyak kenalannya yang bernama Dhea. Aku sudah membuka mulut ingin membalas nada sinisnya dengan ucapan kasar ketika kudengar suara desahan seseorang. Aku terdiam kaget karena aku yakin itu suara wanita dan suaranya sangat jelas menandakan dia berada di samping Raymond. “Siapa?” bisik suara wanita itu dengan nada mengantuk. Refleks, aku memutus sambungan telepon. Aku duduk di tengah ranjang dengan pandangan kosong. Pikiranku buntu. Tapi dadaku seolah diremas hingga rasanya aku tidak sanggup bernapas. Aku menyentuh dadaku, menekannya kuat-kuat. Berharap bisa meredakan rasa nyeri yang menusuk. Tak terasa, pandanganku mulai buram oleh air mata. Kututup wajahku dengan bantal, untuk meredam isak tangisku yang makin keras. Astaga, aku patah hati bahkan sebelum benar-benar memulai hubungan. Raymond selingkuh dariku bahkan sebelum kami saling bertemu. Tanpa bisa ditahan, aku mulai tertawa karena ironi yang kualami. Tawa yang menyedihkan karena berbaur dengan air mata. Beberapa menit berlalu, aku mulai tenang. Aku berusaha mengingatkan diriku bahwa aku gadis yang kuat. Aku harus tegar walaupun hatiku terasa remuk. Besok, aku harus bercerita pada Ibu dan Ayah. Pertunangan ini tidak boleh dilanjutkan sebelum aku makin hancur. Keluargaku pasti kecewa, tapi aku yakin mereka pasti mengerti. *** Aku tersenyum sedih menyaksikan wajahku yang tampak kuyu. Sudah dua jam aku berusaha menutupi sisa-sisa tangisku dengan make-up. Hasilnya tetap jauh dari harapan. Ditambah lagi, semalam aku tidak bisa tidur. Tapi jika tidak diperhatikan, tidak akan ada yang tahu kalau aku menangis nyaris semalaman. Pagi ini aku bertekad akan menceritakan kejadian semalam pada keluargaku dan berharap mendapat penyelesaian. Setelah menarik nafas panjang untuk menguatkan hati, aku melangkah keluar kamar. Aku mencari Ibu dan Ayah di ruang makan. Tapi ruang makan kosong padahal biasanya jam segini mereka sudah mulai sarapan. Aku keluar ke ruang depan dan mengerutkan kening dengan heran melihat dua koper besar berjejer di ruang tamu. Aku masih berdiri menyaksikan koper-koper itu ketika Ibu datang dengan senyum lebar dan mata berbinar. “Siapa yang mau menginap?” tanyaku masih sambil memperhatikan barang-barang itu. “Tidak ada yang akan menginap.” Ucap Ibu sambil menambahkan beberapa barang ke dalam tas jinjingnya. “Ibu mau pergi bulan madu kedua.” Ibu terkekeh sendiri mendengar leluconnya. Tapi raut wajahnya berubah serius ketika melihat wajahku. “Ayah dan Papa mertuamu sedang mengerjakan proyek besar di Bali. Kemungkinan memakan waktu hingga satu bulan. Ibu tidak mau ditinggal Ayah selama itu, jadi Ibu juga ikut pergi. Apa ada masalah?” Aku menggeleng dengan lesu. Rasanya tidak tega menceritakan masalahku dan merusak suasana hati Ibu yang ceria. “Tidak ada masalah.” Aku tersenyum menenangkan, “Tapi, Raymond belum jadi suamiku,” tanpa sadar, aku meringis menyebut nama itu. “Jadi jangan bilang Mr. Bastian Papa mertuaku. Aku merasa tidak nyaman.” Ibu mencermati wajahku, jelas bahwa ia merasakan suasana hatiku yang sedang buruk. “Dhea, kamu yakin tidak ada masalah?” Aku mengangguk mantap, “Iya, Dhea baik-baik saja.” Aku beranjak ke hadapan Ibu untuk mencegah pertanyaannya lagi lalu mencium punggung tangannya dan mengecup kedua pipinya. “Dhea berangkat dulu dan hati-hati di jalan.” Tanpa menunggu jawaban, aku segera keluar rumah. Seperti biasa, Pak Dirman sudah menunggu di samping mobil. Aku langsung masuk lalu duduk di kursi belakang. Pikiranku berkecamuk. Ternyata sulit mengatakan bahwa aku ingin pertunangan ini dibatalkan. Mungkin keluarga besarku akan mendukungku, tapi tetap saja mereka pasti kecewa. Aku tidak sanggup membuat mereka kecewa, terutama Ibu. Dengan frustrasi, aku menutup wajah dengan kedua tangan. Kurasakan cincin di jari manisku menyentuh wajahku. Aku menatap cincin itu penuh kebencian. Lalu aku sadar, bukan cincin ini yang aku benci melainkan pemiliknya. “Neng Dhea,” aku mendongak dan mendapati Pak Dirman sesekali melirik ke arahku dari kaca spion dalam. Jelas sekali dia agak sungkan untuk berbicara. Aku tersenyum dan menunggunya melanjutkan ucapannya. “Tuan dan Nyonya minta diantar ke Bali. Katanya lebih enak pakai mobil daripada kendaraan umum.” Pak Dirman berhenti dan menunggu responku. Aku mengerti maksudnya dan tersenyum mene-nangkan, “Iya, Dhea ngerti. Dhea bisa naik angkutan umum.” Seharusnya Ibu mengizinkanku membeli kendaraan pribadi. Kalau seperti ini kan jadi repot. Atau sebaiknya mempekerjakan sopir lagi. “Kapan mereka berangkat?” “Katanya jam sepuluh. Neng Dhea pilih-pilih kalau naik kendaraan umum. Jaman sekarang banyak orang jahat, dan jangan terlalu percaya sama orang asing.” Aku terkekeh geli mendengar nada suara Pak Dirman yang menggurui dan membuatnya tersenyum malu. “Iya Pak Dirman, Dhea pasti hati-hati.” Perjalanan selanjutnya kami lewati dengan diam. Perasaanku yang buruk akibat kejadian semalam sudah mulai berkurang. Tapi perasaan lain mulai merambah dadaku ketika mobil mulai mendekati gerbang sekolah. Astaga, setelah kejadian kemarin, rasanya aku tidak sanggup bertemu Al. Apa sebaiknya aku pindah sekolah saja? Sepertinya kalau pindah sekolah terlalu berlebihan. Aku hanya perlu bertahan dan sebisa mungkin tidak berurusan dengannya. Aku menyampirkan tasku di bahu, lalu turun dari mobil. Begitu melewati gerbang aku terpekik kaget ketika sebuah motor melintas di hadapanku dengan jarak yang cukup dekat. Aku sampai terdiam kaget selama beberapa saat. “Dhea, kamu tidak apa-apa?” Setelah debar jantungku mereda, aku mendongak dan melihat Rio, teman sekelasku, menatapku dengan cemas. Aku mengangguk perlahan menjawab pertanyaannya. “Anak baru itu memang keterlaluan! Pasti dia sengaja.” Aku melihat ke arah pandangan Rio dan ternyata benar. Al baru saja turun dari motor gede Ninja yang tadi nyaris mencelakaiku. Dari tempat parkir yang hanya berjarak sekitar 10 meter dengan gerbang sekolah, dia menatapku dengan tatapan tajamnya sambil menyampirkan tas ransel di bahunya lalu berjalan ke arah kelas kami. Aku memalingkan wajah dan dengan kesal berjalan cepat. “Dhea, kamu tidak suka jalan bersamaku?” aku memelankan langkah dan baru sadar kalau Rio berjalan disampingku. “Bukan begitu, aku hanya sedang kesal.” Aku tersenyum. “Kamu cantik sekali kalau sedang tersenyum,” aku menunduk malu mendengar pujiannya yang tiba-tiba. Aku menatap mata Rio dan tahu bahwa dia serius dengan ucapannya. “Terima kasih,” “Untuk apa?” pemuda itu bertanya dengan raut wajah sok serius. “Karena pujianku yang telah membeberkan fakta bahwa kamu cantik, atau karena aku sudah menyelamatkan nyawamu?” Aku terkekeh geli, “Kapan kamu menyelamatkan nyawaku? Kamu hanya bertanya tentang keadaanku lalu mengomel tentang si anak baru.” “Ah, iya.” Rio juga tertawa. Pemuda ini lumayan menyenangkan juga. Wajahnya tampan dan mantan Ketua Osis. Pantas kalau dia menjadi idola. “Sayang sekali kita tidak satu kelompok.” Sepertinya Rio tipe orang yang gampang mengubah topik pembicaraan. “Kelompok apa?” tanyaku bingung. “Kelompok Fisika,” aku mendahului Rio masuk ke kelas tapi berhenti beberapa meter dari tempat dudukku ketika melihat Al. Aku bersandar ke bangku yang masih kosong lalu menatap Rio. “Siapa yang satu kelompok denganku?” seharusnya aku tidak menanyakan itu karena mungkin Rio tidak memperhatikan tiap kelompok. Aku hanya mencari bahan obrolan agar tidak perlu langsung ke tempat dudukku. “Satu kelompok empat orang. Aku tidak ingat yang dua, tapi yang pasti kamu satu kelompok dengan si anak baru.” Rio menatap ke balik punggungku sambil mendengus kesal. Aku tahu siapa yang sedang dilihatnya. “Sepertinya kamu tidak terlalu suka padanya?” Rio membalas tatapanku lalu tersenyum. Dia mengerti siapa yang kumaksud, “Ya, aku tidak suka padanya. Selain sikapnya yang sok, juga kenyataan bahwa dia sangat suka mengganggumu membuatku kesal. Padahal dia masih baru di sini.“ tanpa bisa dicegah, kenangan tentang ciuman kemarin menyeruak benakku membuat pipiku memanas. Butuh beberapa saat hingga aku sadar bahwa seluruh kelas sedang memperhatikan kami. Mereka pasti heran melihatku berbincang akrab dengan Rio. Padahal biasanya aku selalu mengabaikan sekelilingku. Agar tidak menarik perhatian lagi, aku mengucapkan terima kasih pada Rio karena sudah berbagi info dan segera menuju tempat dudukku tanpa menunggu jawaban. Aku mencoba bersikap seperti biasa. Tenang dan tidak peduli dengan sekitar. Aku bersyukur karena Al juga mengabaikanku tapi entah mengapa, sikap cueknya juga menggangguku. Apalagi melihat Al begitu akrab dengan teman-teman sekelas terutama para gadis yang mulai berusaha menarik perhatiannya. Aku kaget ketika sadar ternyata aku disengat perasaan kecewa karena Al tampak tidak peduli dengan kejadian kemarin. Bahkan mungkin dia hanya menganggap itu salah satu ciuman sambil lalu yang biasa dilakukannya. Padahal bagiku itu adalah ciuman pertama. Memangnya apa yang kuharapkan. Apalagi dari anak kota yang terbiasa hidup bebas. Aku segera menghapus pikiran itu karena membuatku teringat tunanganku yang dari kota dan yang sudah membuatku merasakan patah hati untuk pertama kalinya.   Jam istirahat, Rio mencoba mengajakku ke kantin. Tapi aku menolak dengan halus dan untungnya Rio tidak memaksa. Jika mencoba, mungkin aku akan cocok berteman dengannya. Tapi hari ini aku sudah cukup menarik perhatian. Aku tidak ingin menambah bahan gosip lagi. Tak kusangka, hari ini berakhir dengan cepat. Saat itu aku sadar kalau aku belum ingin pulang. Bukan hanya karena harus naik angkot, tapi juga aku tidak punya kegiatan lain di rumah, dan itu pasti membuatku teringat kejadian semalam. Lucu juga bagaimana hidupku yang tenang bisa berubah kacau hanya dalam waktu satu hari. Aku membereskan buku dengan pelan, berusaha mengulur waktu pulang. Aku berpikir ingin menghubungi Mbak Ria dan mengajaknya keluar, lalu aku ingat dia pasti belum pulang dari kantor notaris tempatnya bekerja. Aku sudah siap pergi ketika kulihat Al masih belum beranjak dari tempat duduknya. “Kamu baik-baik saja?” butuh beberapa saat hingga aku sadar Al sedang bicara denganku. Aku berpikir sejenak apa maksudnya lalu teringat kelakuannya yang nyaris melukaiku tadi pagi. “Ya.” Desisku singkat. “Aku mau pulang, jadi bisakah kamu minggir?” Al tidak menggubris ucapanku. Dia duduk diam seperti patung dengan wajah keras. Aku cukup kagum dengan kemampuannya memainkan ekspresi dan bahasa tubuh. Dalam sekejap, dia bisa berubah dari pemuda santai dan bersahabat dengan wajah kekanakan menjadi pria keras dan misterius yang amat dingin bak predator. “Dhea, maukah kutemani ke pintu gerbang?” Aku tersentak karena tidak menyadari kehadiran Rio yang sekarang berdiri di samping Al. Sepertinya pemuda ini makin gencar mendekatiku. Mungkin dia merasa berada di atas angin karena tadi pagi aku mau menanggapinya. Aku senang dia berusaha berteman denganku. Aku hendak menjawab setuju ketika Al menyela. “Dhea harus ikut kerja kelompok. Jadi dia tidak boleh ke mana-mana selain pergi bersamaku.” Aku menatap Al tidak percaya. Berani sekali dia memutuskan sesuatu untukku tanpa bertanya padaku. “Aku bukannya mengajak Dhea pergi. Aku hanya menawarkan ingin menemaninya ke gerbang sekolah.” Aku mulai khawatir melihat kilatan amarah yang muncul di mata Rio. “Lagipula kenapa harus kamu yang menjawab. Dhea sendiri tampaknya tidak keberatan.” “Aku yang menjawab karena kebetulan aku yang mendapat tugas sebagai ketua kelompok. Jadi aku mau memastikan semuanya berjalan sesuai rencana dan tepat jadwal.” Rio tertawa dengan suara mengejek, “Hallo anak kota. Kau hanya ketua kelompok belajar, bukannya ketua sebuah perusahaan besar. Jadi jangan terlalu sok bertanggung jawab seperti itu. Santai saja!” Aku berdiri untuk meredam adu mulut yang makin memanas ini. Aku tersenyum minta maaf pada Rio, dan sedikit tidak nyaman karena Al duduk di antara kami. “Terima kasih karena mau menemaniku. Tapi sekarang aku memang harus ikut kerja kelompok.” Selama beberapa saat, Rio masih menatap Al penuh amarah. Perlahan dia mendongak dan tersenyum padaku. “Kalau begitu, mungkin lain kali. Sampai jumpa besok!” Rio berbalik dan membuatku terperangkap bersama predator dingin ini. Masih sambil berdiri, aku melipat kedua tangan di d**a dan menatap Al dengan marah. “Apa yang kamu lakukan? Kamu kira aku mau pergi bersamamu?” Al bangkit dari duduknya lalu menyampirkan tas ranselnya ke sebelah bahu. “Terserah kamu mau ikut atau tidak. Tapi yang jelas kalau kamu tidak ikut, nilai kamu nol.” Al sedikit menunduk membuat wajah kami sejajar dan hanya berjarak beberapa senti. “Dan itu juga membuktikan kalau kamu benar-benar tidak punya otak.” Aku tidak sanggup berucap karena perkataan Al tepat sasaran. Aku memejamkan mata sejenak dan sadar bahwa sebenarnya aku tidak suka dianggap bodoh. Astaga, setelah sekian tahun aku sekolah, kenapa baru sekarang aku merasa tidak ingin dianggap bodoh. Aku mengerang dengan frustrasi, meraih tas lalu berjalan mengikuti Al sambil menghentakkan kaki. Aku berdiri di luar gerbang sekolah sambil menunggu Al. Aku lupa bertanya tentang anggota kami yang lain dan di mana kami akan kerja kelompok. Hanya beberapa menit berlalu dan motor merah metalik itu sudah berada di hadapanku. “Di mana tempatnya?” tanyaku singkat. “Kamu bisa meminta sopirmu tidak perlu menjemput dan naik ke motorku.” “Aku tidak suka naik motor. Rambutku bisa berantakan dan make-upku jadi kacau.” Aku tidak bohong bahwa aku tidak suka naik motor. Tapi bukan itu alasan sebenarnya. Al tersenyum sinis dan merendahkan, “Kalau begitu, kau dan sopirmu bisa mengikutiku,” Aku menunggu selama beberapa detik sebelum mengatakan bahwa aku tidak dijemput, “Hari ini aku tidak dijemput, aku mau naik angkot.” “Apa? Kamu takut rambutmu berantakan dan make-up mu luntur jika naik motor, tapi kamu mau naik angkot yang bisa membuat kamu berkeringat kepanasan karena duduk berdesakan.” Al bersiul dengan kekaguman yang dibuat-buat. “Sebaiknya kamu naik ke motorku sekarang atau aku akan menggendongmu ke atas motorku,” bisik Al. Aku menoleh ke sekitar dengan gugup dan mendapati beberapa pasang mata tampak mencuri pandang ke arah kami. Aku menggigit bibir membayangkan apa pikiran mereka jika Al benar-benar melaksanakan ancamannya. Dengan gugup, aku naik ke belakang Al sambil bertumpu pada bahunya. Pikiranku yang ketakutan merasa motor ini terlalu tinggi. Aku juga khawatir terlempar karena harus duduk menyamping. Ingin sekali aku mengatakan padanya agar tidak ngebut, tapi aku tidak mau dia lebih menghinaku lagi. Tanpa sadar aku menjerit kecil dan mencengkeram pinggang Al ketika motor itu mulai mengikuti lalu lintas. Rupanya Al menyadari ketakutanku. Dia menepikan motornya tapi tidak mematikan mesin. “Katakan padaku, apa sebelumnya kamu pernah naik motor?” suara Al hanya samar-samar karena telingaku serasa berdengung. Aku masih mencengkeram pinggang-nya seolah hanya itu tali penyelamatku. Baru beberapa saat debar jantungku mulai mereda. Aku sedikit malu karena kami seperti sepasang kekasih yang sedang bermesraan di pinggir jalan. Aku masih merangkul pinggangnya dan kepalaku bersandar di punggungnya. Dengan posisi ini, aku bisa dengan jelas menghirup wangi tubuhnya. Baunya segar dan maskulin. Aku hendak menjauh, tidak nyaman karena kami berada di pinggir jalan dan hanya berjarak sekitar setengah kilo dari sekolah. Tapi Al menggenggam tanganku, menariknya hingga melingkari tubuhnya dan bertautan di atas perutnya yang rata dan keras penuh otot. “Kamu bisa membenamkan wajahmu di pundakku dan memejamkan mata. Aku akan mengemudi lebih pelan.” Al berbisik pelan. Aku merasakan ketulusan dalam suaranya. Aku mengangguk walaupun Al tidak bisa melihatku. Perlahan, Ninja merah itu mulai bergerak. Makin erat aku melingkari pinggangnya dan membenamkan wajahku di pundaknya. Aku berusaha mencari bahan pikiran agar melupakan kenyataan aku sedang naik motor, kendaraan yang paling ku benci dan sangat mengerikan. Pikiran pertama yang melintas di benakku adalah kenyataan betapa nyamannya dalam posisi ini. Awalnya aku menepis pikiran itu. Tapi karena tidak bisa memikirkan hal lain, aku mengizinkan pikiranku berkelana bebas. Sekarang aku mengerti kenapa beberapa tokoh perempuan dalam novel yang pernah k****a sangat suka memeluk pasangannya. Rasanya aku tidak perlu memikirkan hal lain kecuali tubuh jantan dalam pelukanku. Mungkin aku sanggup duduk diam dalam posisi ini selama berjam-jam. Aku memberanikan diri mendongak ketika laju motor mulai melambat. Rupanya kami sudah keluar dari padatnya lalu lintas. Aku lumayan takjub karena ternyata naik motor tidak begitu menakutkan jika melintas di daerah sepi yang hanya dikelilingi pepohonan. Di jalan ini, hanya beberapa kali kami berpapasan dengan kendaraan lain. “Kita mau ke mana?” seingatku, aku tidak pernah melintasi daerah ini. “Ke rumahku.” Aku terbelalak kaget tapi entah kenapa, ada perasaan antusias meliputi hatiku. Mungkin karena ini pertama kalinya aku berduaan dengan seorang pria yang bukan keluargaku. “Bukankah kita akan kerja kelompok? Atau kau berubah pikiran dan berencana menculikku?” Al terkekeh geli tapi tidak menjawab pertanyaanku. Aku cemberut dan kembali membenamkan wajahku di pundaknya. Tak lama kemudian, laju motor terhenti dan Al mematikan mesin motornya. Aku masih belum beranjak dari tempatku. “Aku tahu kamu senang memelukku. Tapi sebaiknya turun sekarang juga sebelum ada orang yang memergoki kita dan menyangka yang bukan-bukan.” Aku mendengus kesal mendengar nada sombongnya. Aku turun dari motor dan terpesona melihat keindahan rumah mungil itu. Tanahnya lumayan luas, tapi sebagian besar dijadikan halaman yang ditanami berbagai pohon buah. Di bagian depannya, tepat di sisi pagar bambu, dipenuhi berbagai jenis bunga. Rumah yang dicat putih itu menyatu dengan pagar tembok di belakang dan samping kanan rumah. Al membuka pintu dan menyuruhku masuk. Aku berdiri dengan ragu sambil menatapnya. “Sungguh Dhea, aku sama sekali tidak tertarik menculikmu.” Jelas sekali Al sangat jengkel dengan tingkahku. Tapi siapa yang bisa menyalahkanku, aku hanya bersikap waspada. “Lalu, kenapa kita di sini?” “Karena di sinilah kita akan kerja kelompok. Ahmad dan Niko akan datang beberapa saat lagi.” Oh, tidak. Kenapa hanya aku perempuannya. “Aku akan tunggu mereka di sini.” “Terserah!” Al masuk dan membiarkan pintu terbuka lebar. Aku melihat semacam gazebo kecil di halaman samping. Seluruhnya terbuat dari kayu yang dicat cokelat gelap. Aku duduk di gazebo itu sambil menghirup aroma segar buah-buahan. Aku mengerang dengan takjub ketika aroma durian membelai penciumanku. Ternyata di bagian belakang halaman ini lebih didominasi pohon durian. Ini pertama kalinya aku melihat pohon durian. Aku berdiri dan mengamati tiap pohon dengan seksama, mencoba mencari buah yang sudah matang. “Kamu suka durian?” Al sudah berdiri di belakangku. Dia mengenakan kaos hijau yang pas di badannya dan celana jeans panjang. Tanpa bisa dicegah, kerongkonganku serasa tercekat melihat penampilannya. “Hmmm, iya. Suka sekali.” “Kamu duduk saja, akan kuambilkan.” Aku kembali duduk. Al mengambil sebuah parang yang tersampir di bagian belakang gazebo. Sekali lagi aku dibuat takjub dan.....kesal karena Al memanjat sebuah pohon kelapa yang tidak jauh dari pohon durian itu dengan parang tajam terselip di ikat pinggang bagian belakangnya. Tapi melihat Al mengayunkan parang dan membuat sebuah kelapa menghantam tanah dengan keras, mengurangi rasa kesalku dan malah membuatku mengatupkan kedua tangan dengan ngeri. Suara motor memasuki halaman. Samar-samar aku melihat Ahmad dan Niko di antara pepohonan. “Di sebelah sini!” teriakku pada mereka. “Wow!” seru Ahmad takjub ketika sudah sampai di sebelahku dan melihat ke atas pohon kelapa. “Aku tidak menyangka si anak kota bisa memanjat pohon.” “Aku juga tidak menyangka. Tapi aku tidak minta kelapa. Aku ingin durian.” Aku ikut menimpali dengan kesal. Aku sedikit rileks ketika Al mulai turun. Mau tidak mau aku memunguti kelapa yang berjumlah tiga buah, tapi semakin kesal karena tidak ada yang membantu. “Apa kalian hanya akan diam saja di situ?” aku menoleh ke arah Ahmad dan Niko lalu mengerutkan kening dengan bertanya karena mereka hanya menatapku dengan aneh. “Astaga Al, kawanku! Apa yang sudah kau lakukan pada si Ratu Es ini?” ucap Niko sambil berjalan meng-hampiri Al yang sudah menjejak tanah dan berdiri beberapa langkah di belakangku. Pipiku memerah ketika Niko memeluk Al dengan gaya dramatis. Sekarang aku mengerti kenapa mereka tadi melihatku seperti itu. Al terkekeh geli sambil masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan buah durian yang masih utuh di tangannya. Refleks aku melompat gembira. Tapi begitu aku melihat Niko dan Ahmad yang semakin melihatku dengan pandangan aneh, pipiku jadi makin merona malu. “Selama tiga tahun mengenalnya, aku tidak pernah melihat dia benar-benar mengobrol dengan seseorang.” Ahmad menggelengkan kepala sambil memunguti kelapa dan membawanya ke hadapan Al. Aku hanya berdiri memandang mereka bertiga dengan kesal. “Mantra apa yang kamu pakai untuk menjinakkannya?” serentak mereka bertiga tertawa. Aku berjalan sambil menghentakkan kaki. Aku duduk di samping Al yang mulai membelah durian. “Oke, silahkan!” kataku ketus. “Ejek aku sesuka hati kalian.” “Ayolah, sayang. Tidak ada yang mengejekmu.” Aku cemberut mendengar panggilan Niko. Itu membuatku teringat kalau Niko terkenal sebagai playboy di kelas kami. Aku sama sekali tidak marah. Malahan aku sangat menikmati obrolan kami. Seingatku, ini pertama kalinya aku bercanda dengan bebas selain dengan keluargaku. Rasanya menyenangkan. Aku juga bisa tertawa dengan lepas. Kalau boleh jujur, aku sangat suka bersama Al. Ternyata dugaanku tepat. Tidak butuh waktu lama bagi Al untuk membuatku terpikat padanya. Aku bahkan merasa sudah lama mengenal Al, bukannya baru dua hari. Jika pada akhirnya perasaanku berubah makin dalam seperti kisah di novel roman, aku hanya berharap hal itu tidak akan melukai siapapun.    ----------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD