Satu

4116 Words
Sabtu (14.25), 13 Juni 2020 ----------------------- Aku turun dari mobil dengan perasaan jenuh seperti biasa. Aku tidak suka diantar sopir. Tapi seperti inilah peraturan di SMK 1. Maklum, sekolah di desa. Rata-rata ekonomi masyarakatnya menengah ke bawah. Siswa – siswinya dilarang bawa mobil agar tidak menimbulkan iri, walau aku tidak peduli kalau ada yang iri padaku. Entah kenapa aku selalu kesulitan bersosialisasi di daerah ini. Masyarakat di sini terbiasa saling bertukar sapa jika bertemu meski hanya berpapasan di jalan. Aku tidak tahu bagaimana memulai sapaan kepada orang yang tidak terlalu mengenalku. Jadilah aku hanya menunggu disapa dulu baru menyahut, tidak pernah memulai duluan. Ternyata hal itu membuatku di anggap sebagai gadis sombong karena cantik dan kaya. Awalnya aku risih dengan anggapan itu, tapi lama kelamaan aku tidak lagi peduli malah mulai bersikap acuh. Aku pernah mengusulkan pada orang tuaku agar bisa bersekolah di kota, tapi mereka menolak. Alasannya karena tidak ada sanak saudara di kota dan menurut mereka kehidupan  di kota amat keras. Tidak ada yang bisa membantu jika terjadi sesuatu karena biasanya orang kota lebih suka hidup sendiri – sendiri tanpa peduli sekitarnya. Dalam hati aku mengatakan bahwa itulah yang aku cari. Membayangkan hidup di kota, aku jadi teringat tunanganku. Aku pernah berkhayal dia adalah pangeran yang akan menyelamatkanku dari tempat terpencil ini. Aku tersenyum mengingat khayalan konyolku itu. Tentu saja Raymond adalah pangeran versi modern dengan setelan jas dan menunggang mobil mewah. Dan tentu saja setelah menikah nanti dia pasti mengajakku tinggal bersamanya di kota. Aku tersenyum sambil mengelus cincin yang telah menemaniku sejak dua bulan lalu. Lamunanku terhenti ketika seseorang menyenggol bahuku dengan keras, “Aduh!” aku memekik kaget sambil memegang bahuku yang terasa ngilu. “Maaf,” sebuah suara yang dalam dan berat menyahut. Aku mengalihkan pandangan dan langsung bertatapan dengan sepasang mata cokelat yang lumayan indah. Setelah mengucapkan maaf yang tampak tidak tulus, pria itu langsung berbalik dan pergi. Aku sampai tertegun sejenak karena tingkahnya yang tidak tahu sopan santun itu. Tapi setelah memperhatikan penampilannya aku jadi tidak heran dengan tingkahnya. Dari jauh pun aku bisa menilai kalau dia merupakan pria berantakan yang tidak bisa mengurus diri. Rambutnya panjang sebahu dan jelas sekali tidak disisir. Seragamnya kusut seolah dipakai untuk tidur. Aku melanjutkan langkahku sambil cemberut. Indonesia tidak akan pernah maju jika generasi penerusnya sekacau orang itu, pikirku masam. Seandainya semua pria di Indonesia ini seperti Raymond, pasti negeri ini bisa menjadi nomor satu di dunia. Senyumku merekah ketika bayangan Raymond yang selalu rapi dan elegan melintas di benakku. Ruang kelas masih tampak sepi walau bel masuk tinggal 10 menit lagi. Beberapa siswa yang sudah hadir tampak berkumpul dalam beberapa kelompok untuk saling bertukar cerita. Aku mengabaikan mereka dan berjalan ke bangkuku sambil menegakkan tubuh dan mengangkat dagu. Salah satu teknik berjalan ala bangsawan yang sedang kukembangkan untuk menunjukkan bahwa aku masih bisa eksis walau mereka mengabaikanku. Tempat dudukku ada di pojok belakang. Aku sengaja memilihnya demi ketenangan. Dan aku bersyukur karena siswa di kelas ini ganjil sehingga aku tidak perlu memiliki teman sebangku. Setelah duduk, aku mengeluarkan novel romantis dari tasku dan mulai menikmati alur ceritanya. Novel adalah salah satu syarat wajib yang harus kubawa ke sekolah, karena jujur saja, aku tidak terlalu tertarik dengan semua mata pelajaran. Aku mendesah mendengar bel masuk yang mengganggu aktivitasku. Kumasukkan kembali novelku dan bersiap untuk mendengarkan materi yang amat membosankan. Kedatangan Bu Ani, guru fisika di kelasku, di sambut riuh teman – temanku. Aku heran karena biasanya kedatangan guru membuat mereka diam. Aku ikut memperhatikan belakang Bu Ani. Ternyata kami kedatangan murid baru. Aku menggeram dengan kesal setelah yakin si murid baru adalah pria tidak tahu sopan santun yang tadi menyenggolku. Aku memejamkan mata dan menggosok pelipisku dengan frustrasi karena tentu saja, si anak baru akan duduk di sebelahku. Satu– satunya tempat duduk di kelas ini yang masih kosong. “Anak–anak, hari ini kita kedatangan murid baru,” Bu Ani mengumumkan seperti berbicara dengan anak SD. “Namanya Al, dia pindahan dari SMK Wijaya di Jakarta.” Wow, orang kota, pikirku kaget. Kembali aku menelusuri sosok murid baru itu. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan gaya orang kota. Tapi kalau dipikir lagi, aku selalu menganggap orang kota harus berpenampilan seperti tunanganku dan keluarganya. Padahal banyak juga yang penampilannya urakan dan tidak terurus seperti si anak baru yang sekarang sedang memasang tampang ceria dan bersahabat. “Al, mungkin ada yang ingin kamu sampaikan!” lanjut Bu Ani. Al menatap sekeliling lalu pandangannya berhenti padaku, mungkin dia ingat padaku karena insiden tadi, “Saya rasa tidak ada yang perlu disampaikan. Toh, setelah ini kita akan menjadi teman.” Suara beratnya memenuhi ruangan lalu disambut tepuk tangan seluruh kelas tanda mereka menerimanya. Aku mendengar decak kagum terutama dari para siswi. Bahkan aku mendengar kata–kata seperti keren dan ganteng. Aku sampai ternganga kaget. Apa sih kerennya orang berantakan seperti itu? Tentu saja karena selera mereka selera kampungan, pikirku sinis. Aku tidak lagi memperhatikan sekeliling dan memalingkan pandangan ke jendela besar yang tepat di sampingku. Aku mendengar suara kursi di geser dari sampingku. Aku tidak menoleh. Untuk apa sok ramah pada orang yang dari awal jumpa sudah tidak kusukai? Aku baru memalingkan pandangan ketika Bu Ani memulai materi. Aku melipat tanganku di atas bangku, dan duduk lebih tegak. Pandanganku fokus ke papan tulis walau tidak ada satu hal pun yang tertulis di sana yang bisa ditangkap memoriku. “Wow, hebat sekali!” Al bergumam. Aku menoleh tapi Al sedang fokus pada penjelasan Bu Ani dan sesekali mencatat. Aku menunggu penjelasan dari kalimatnya yang terdengar mencemooh itu. “Kau tadi bicara padaku?” tanyaku tak sabar. “Kamu hebat sekali. Hanya memperhatikan papan tanpa perlu mencatat. Pasti kamu punya daya ingat yang tinggi.” Ucapnya tanpa menoleh. Aku ternganga oleh kelancangannya. Selama aku sekolah tidak ada yang pernah mengkritikku seperti itu, bahkan orang tuaku pun tidak. Toh, aku juga tidak peduli walau aku tidak bisa menguasai materi. Aku tidak butuh nilai bagus karena aku tidak tertarik melanjutkan kuliah. Aku juga tidak butuh bekerja karena setelah lulus SMK nanti aku akan langsung menikah dengan pangeran kaya. Untungnya, keluargaku juga berpikiran sama. Aku memalingkan wajah dan kembali fokus ke papan tulis. Baru beberapa menit berlalu, aku merasa Al menatapku. “Hey, kamu kan gadis cantik yang tadi menabrakku!!” aku mendengus kesal dan melotot padanya mendengar ucapannya. Berani sekali dia bilang aku yang menabraknya. “Oh ya kita belum kenalan, namaku Al,” lanjutnya dengan suara ceria sambil mengulurkan tangan. Aku mengabaikan uluran tangannya. “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau memperkenalkan diri. Lagi pula aku sudah tahu siapa gadis cantik yang duduk di sampingku ini.” dia berhenti sebentar seperti sedang menunggu reaksiku, tapi aku tetap mengabaikannya. “Ananda Dhea Saksono.” Ucapnya lambat–lambat menekankan setiap kata. “Siswi SMK 1 yang paling cantik, paling kaya, dan.....” aku tahu Al memancing reaksiku dengan kalimatnya yang menggantung. Tapi di saat seperti ini aku sangat mensyukuri kemampuanku mengabaikan sekelilingku. “Paling bodoh.” Lanjutnya membuatku tertegun selama sedetik lalu tanpa sadar menggebrak meja. Aku memandang sekeliling dengan malu karena seluruh kelas sedang menatap akibat ulahku tadi. “Hm, saya mau ke belakang,” kataku sambil berdiri dan langsung keluar kelas tanpa menunggu jawaban. Aku berjalan cepat menuju halaman belakang sekolah. Aku kan memang izin ke belakang. Aku menyibak rimbunan semak yang jaraknya kira – kira 2 meter dari tembok pembatas halaman belakang. Di balik rimbunan semak itu ada ruang kosong yang cukup untuk tiga orang. Bagian atasnya tertutup dedaunan pohon flamboyan yang ditanam berjajar di halaman belakang ini. Cahaya yang sampai ke tempat ini hanya berupa garis–garis sinar yang berhasil menerobos masuk di antara dedaunan. Aku menemukan tempat ini ketika masih duduk di kelas X. Saat itu aku masih berharap bisa beradaptasi di sekolah ini. Tapi ternyata aku tetap kesulitan. Akhirnya aku yakin tidak bisa mendapatkan teman di sini. Tentunya aku sedih dan tanpa sadar aku menuju halaman belakang untuk mencari tempat menyendiri. Saat itulah aku berhasil menemukan tempat ini dan di sinilah aku jika ingin bersembunyi. Bahkan aku menyebutnya Goa Padang Rumput Seperti hari ini aku langsung datang ke tempat ini. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri tanpa gangguan siapa pun. Sejak pertama bertemu dengan si anak baru itu, aku sudah merasakan perasaan aneh ini. Awalnya berupa perasaan kesal yang amat sangat hanya karena hal sepele, lalu perasaan marah yang luar biasa yang juga karena hal sepele. Bukannya aku tidak sadar kalau aku bodoh, tapi aku benci dengan cara Al mengucapkan kata itu. Padahal selama ini aku sudah sering mendengar ada yang mengatakan hal itu padaku baik langsung maupun tidak langsung, tapi aku biasa saja. Kadang kala aku juga ingin bisa menguasai materi. Setidaknya untuk membuktikan bahwa aku juga punya otak. Tapi aku gampang menyerah jika mulai mengalami kesulitan. Mungkin karena tidak ada satu hal pun yang mengharuskanku menjadi pintar. Aku merebahkan tubuhku di atas rumput sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Tentunya hari ini aku akan menjadi topik utama. Seorang Dhea yang terkenal dingin dan tanpa emosi bisa menggebrak meja dengan marah hanya gara–gara anak baru yang baru ditemuinya kurang dari satu jam. Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali seperti itu! Aku khawatir dengan  kenyataan Al bisa membangkitkan berbagai emosi dalam diriku hanya dalam sekejap. *** Aku berjalan perlahan menuju kelas. Suasana mulai sepi karena sudah setengah jam berlalu sejak bel pulang berbunyi. Tadi aku sempat tertidur di Gua Padang Rumput selama dua jam mata pelajaran. Aku yakin tidak akan ada yang mencariku karena aku sudah terbiasa bolos. Aku merasa malas untuk kembali ke kelas. Aku menuju perpustakaan dan memilih bacaan favoritku, sebuah novel romantis. Aku biasanya sanggup membaca novel selama berjam–jam hingga lupa waktu. Jadi kupikir novel adalah solusiku untuk menghabiskan waktu hingga bel pulang berbunyi. Sekarang aku kembali ke kelas untuk mengambil tasku. Aku berharap tidak akan bertemu siapa pun di kelas terutama si anak baru. Di pintu kelas aku tertegun, ternyata Al belum pulang. Aku menghembuskan nafas dengan kesal sebelum melangkah menuju tempat dudukku. Aku berdiri diam menunggu Al menyingkir dan memberi jalan. Seingatku tadi kursi kami tidak menempel ke dinding belakang kelas sehingga aku masih bisa lewat melalui belakang kursi Al. Tapi sekarang aku harus melewati tempat duduk Al untuk bisa mengambil tasku yang tergeletak di kursi. Beberapa menit berlalu tapi Al masih sibuk dengan bukunya. Tampaknya menunggu orang lain melakukan sesuatu lebih dulu sudah menjadi kebiasaan Al. Terpaksa aku membuka mulut karena tidak ingin berdiri di sini sampai sore nanti. “Bisa tolong minggir?” tanyaku dengan nada sinis. “Aku mau mengambil tasku.” Al menutup buku yang sejak tadi dibacanya dengan kasar hingga menimbulkan suara keras. Perlahan dia berdiri menjulang di hadapanku, aku baru sadar tinggiku hanya sampai sebahunya. Aku tersentak mundur selangkah melihat sorot matanya tajam membara. Dia marah, pikirku cemas. Aku heran apa yang membuatnya marah, lalu pikiran–pikiran buruk berkelebat dalam kepalaku. Untuk apa orang kota yang bersekolah di SMK swasta favorit pindah ke sekolah negeri di desa? Kenapa ada sekolah yang mengizinkan muridnya pindah padahal sudah semester 2 di kelas tiga? Setahuku siswa kelas tiga dari awal semester seharusnya sudah terdaftar sebagai calon peserta UN sehingga tidak mungkin bisa pindah. Dan tentu saja, Al tampak terlalu tua menjadi murid SMK. Perawakannya terlalu dewasa, auranya terlalu penuh wibawa walau dia sering menampilkan wajah kekanakan. Bisa saja dia adalah psikopat yang menyamar menjadi siswa. Mungkin dia adalah pembunuh berantai yang sedang mencari korban. Atau dia adalah maniak s*ks yang suka memperkosa gadis–gadis remaja. Tanpa sadar keringat dingin mengalir di punggungku. Aku melirik cemas ke pintu keluar. Astaga, jauh sekali. Aku tidak mungkin bisa mencapainya tanpa tertangkap. Teriak pun percuma karena suasana sudah amat sepi. Jadi pilihan satu–satunya aku akan melawannya. Kubalas tatapan matanya yang menusuk berusaha seberani mungkin walau aku harus mengangkat dagu tinggi untuk bisa menatap wajahnya. “Dari mana saja kau?” suaranya hanya berupa bisikan tapi jelas terdengar penuh amarah. “Bukan urusanmu aku dari mana.” Aku sedikit kaget dengan pertanyaannya, “Bisakah kau minggir supaya aku bisa mengambil tasku dan pulang?” tanyaku sambil mengangkat alis. Aku sering melatih mengangkat satu alis karena jika menonton film, orang yang bisa melakukannya terlihat lebih dingin dan angkuh. Tapi aku selalu gagal dan biasanya kedua alis ikut terangkat. “Bisa – bisanya kamu membolos seharian padahal UN tinggal sebentar lagi.” Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya. “Memangnya kamu tidak ingin lulus?” suaranya mulai meninggi. Aku menelan ludah merasa seperti anak nakal yang diomeli Ayahnya, “Sekali lagi kubilang bukan urusanmu.” Dengan angkuh aku membalas tatapan mata cokelatnya. Beberapa detik yang terasa berjam-jam kami saling menatap. Akhirnya aku yang lebih dulu memalingkan wajah karena tidak sanggup dengan tatapannya yang makin menusuk. Tanpa pikir panjang lagi, aku menubruk tubuh Al untuk meraih tasku. Sejenak aku tercekat. Tadinya aku berharap Al langsung mundur, tapi dia tetap diam sehingga tubuh bagian depan kami saling menempel. Sepertinya aku mendengar Al menggertakkan gigi, mungkin dia makin murka karena keberanianku. Secepat mungkin aku berbalik untuk kabur setelah mendapatkan tasku, tapi tangan Al meraih lenganku menarikku kembali dan tubuh kami kembali menempel. Satu lengannya melingkari tubuhku, menahan kedua tanganku di antara tubuh kami. Tangan satunya menahan belakang kepalaku. Sedetik aku terkejut dengan apa yang terjadi, detik berikutnya kesadaran menyentakku lalu aku mencoba berteriak. Tapi suaraku tidak bisa keluar karena Al membungkam mulutku dengan bibirnya. Dengan marah Al melumat bibirku membuat bibirku terasa sedikit ngilu. Ciumannya kasar tapi membuatku diam dan sedikit penasaran karena ini ciuman pertamaku. Astaga, ciuman pertamaku! Aku memberontak berusaha melepaskan diri. Tubuh kokoh Al seolah terbuat dari tembok dan tidak bisa digeser, dan dia masih terus melumat bibirku. Aku membayangkan wajah Raymond dan rasa dingin di jari manisku tempat cincin pemberiannya berada. Aku merasa mendapat kekuatan dan dengan keras kudorong tubuh Al. Dia mundur selangkah lalu melepaskan rangkulannya di tubuhku. Bibirnya memerah karena aksinya tadi. Mata cokelatnya seolah membara, oleh amarah ataukah.....gairah? Secepat mungkin aku meraih tasku yang sudah tergeletak di lantai lalu aku setengah berlari menuju pintu gerbang. Pak Dirman, supirku, tampak heran melihat keadaanku yang kuyakin tampak kacau. Tapi seperti biasa, dia tidak bertanya. Aku langsung masuk dan duduk di kursi belakang. Selama perjalanan, aku hanya memandang keluar. Pikiranku melayang kembali ke kejadian tadi. K*rang ajar sekali si anak baru itu! Belum kenal satu hari saja dia sudah berani menciumku. Ciuman yang seharusnya untuk suamiku direnggut dengan k*jam oleh b*jingan itu. Dan yang lebih parah lagi, bisa–bisanya aku terbuai oleh ciumannya walau cuma sekejap. Padahal ciumannya kasar dan tidak tahu aturan. Jauh sekali perbedaannya dengan ciuman pertama yang selama ini kubayangkan. Yang seharusnya penuh kelembutan bersama lelaki yang kucintai dan yang kuyakini mencintaiku juga. “Hhhmmm,” suara Pak Dirman membuatku mengalihkan pandangan dari jalan dan dari pikiranku. “Neng Dhea masih mau di antar ke Pondok Jus?” tanya Pak Dirman. Jelas sekali tampak sungkan karena mengganggu lamunanku. “Buat apa?” aku mengerutkan kening mencoba mengingat. Biasanya aku tidak suka ke Pondok Jus seorang diri, “Oh Astaga!” geramku dengan frustrasi. Pak Dirman tampak mengawasiku dari spion dalam, menunggu jawabanku. “Ya, tolong antarkan Dhea ke Pondok Jus.” Jawabku letih. Kembali aku memandang keluar jendela. Yang aku butuhkan sekarang adalah pulang dan tidur sampai pikiran tentang ciuman kasar itu terhapus dari benakku. Tapi aku masih punya janji makan siang. Bukannya aku tidak suka dengan orang yang akan menemaniku. Tapi setelah semua yang terjadi hari ini, dia dan keluarganya adalah orang terakhir yang ingin kutemui untuk jangka waktu beberapa hari ke depan. Tapi aku sudah terlanjur janji, dan lagi aku sudah sangat merindukannya. *** Aku berjalan melewati barisan pohon kelapa yang di tanam berjejer di jalan masuk menuju Pondok Jus. Rumah makan yang namanya sering disingkat PJ ini hanya dikelilingi dinding dari anyaman bambu setinggi satu meter. Bagian atasnya ditutupi atap jerami. Ruangannya yang terbuka membuat angin segar berhembus bebas serta menyajikan pemandangan sawah hijau dan aliran sungai. Dari tempatnya saja wajar kalau PJ cukup ramai pengunjung, terutama dari kalangan pelajar karena tempat ini sering dijadikan tempat nongkrong. Hidangan yang disajikan di sini juga patut di acungi 10 jempol. Sesuai namanya, PJ menyajikan berbagai minuman jus serta makanan khas pedesaan. Aku tersenyum sendiri ketika mulai memasuki Pondok Jus dan melihat Regita Revaldo duduk sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya dengan takjub. Aku sudah sering melihat wanita–wanita yang mencoba berpenampilan modis dan modern tapi malah tampak norak. Herannya, Regita bisa terlihat modis, elegan dan anggun hanya dengan memakai sweter rajutan longgar warna Pink pudar dan jeans selutut serta sepatu kets. Beberapa pasang mata tampak memperhatikannya. Jelas sekali mereka juga menyadari kalau Regita tidak cocok berada di tempat yang bernuansa pedesaan ini. Bukan dalam arti buruk, malah dia tampak seperti wisatawan yang sedang menikmati liburan. “Maaf, aku datang terlambat. Tadi masih ada tugas tambahan di sekolah.” Pipiku memerah mengingat ‘tugas tambahan’ yang tadi kukerjakan. Aku berusaha mencari topik lain sambil duduk, “Kenapa kamu hanya pesan minuman?” Aku mengerutkan kening melihat Regita sejak tadi hanya bertopang dagu sambil tersenyum kekanak– kanakan. “Terima kasih karena sudah mengajakku ke tempat ini.” Regita duduk bersandar sambil menghirup nafas dalam–dalam, “Tempat ini sungguh luar biasa. Aku jadi tidak menyesal mengajukan KKN ke daerah ini.” ucapannya membuatku teringat alasan Regita berada di sini. Dia akan menjalani KKN selama satu bulan kuliahnya. Aku dan Regita berbeda usia 4 tahun. Sekarang Regita adalah mahasiswi semester 7. Sejak pertunangan dua bulan lalu, kami jadi akrab. Setelah bertukar nomor Hp, nyaris tiap hari kami saling menghubungi.    “Sama – sama, Regi.” Ucapku tulus. Senyum Regita makin lebar, “Selama ini cuma Kak Ray yang memanggilku ‘Regi’.” Ucapnya sambil tersenyum menggoda. “Wah, kalian benar–benar cocok.” Aku menundukkan wajah dengan malu. Regita tergelak melihatku tersipu malu. Ini pertama kalinya nama Raymond muncul dalam pembicaraan kami. Selama ini kami tidak pernah sedikit pun mengungkit tentang Raymond. Padahal setiap ada kesempatan Regita selalu membicarakan tentang kekasihnya yang sering gonta–ganti. Aku sadar seharusnya aku mengorek informasi tentang tunanganku itu. Tapi aku tidak mau tampak terlalu antusias sementara Raymond bersikap santai bahkan terkesan mengabaikan pertunangan kami. Buktinya dia tidak pernah berusaha menemuiku meski kami sudah saling terikat. Dan aku bersyukur karena Regita tidak terlalu suka membahas tentang kakaknya. Mungkin itu salah satu penyebab aku amat menyukai Regita karena dia tidak seperti sebagian besar orang yang akrab denganku. Selama dua bulan ini, orang yang berbincang denganku pasti mengungkit masalah pertunangan yang mulai tampak aneh karena sang pria seolah menghindari sang wanita. Mengingat hubunganku dengan Raymond yang makin terasa hambar, serta kejadian tadi siang yang membuatku merasa seperti pengkhianat, aku jadi tidak ingin membicarakan tentang Raymond saat ini, sekecil apapun. “Regi, kenapa kamu belum pesan makanan?” aku berusaha mengganti topik pembicaraan. “Aku sungguh minta maaf karena sudah membuat kamu menunggu dan kelaparan,” tanpa menunggu jawaban aku melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. “Jadi, kamu mau pesan apa?” “Hmmm, sebenarnya...........” aku memandang Regita dengan penasaran mendengar nadanya yang tampak ragu dan malu – malu. “Aku tidak tahu harus pesan apa. Ini pertama kalinya aku makan di rumah makan tradisional.” Aku tidak bisa menahan tawaku mendengar ucapannya. Regita membelalakkan mata memperingatkan bahwa orang – orang di sekitar kami memperhatikan. Tapi semu kemerahan makin melebar di pipinya karena malu. Aku masih berusaha meredakan tawa ketika pelayan telah sampai di samping kami. Sekilas aku membolak – balik buku menu, mencari menu yang kuharap belum pernah dimakan bahkan dilihat Regita sambil tersenyum. “Entah kenapa aku merasa kau punya rencana untuk hidangannya.” Regita bergumam pelan, terdengar pasrah. Senyumku makin lebar dan aku mengedipkan sebelah mata sebagai jawaban. “Kami mau pesan nasi urap pakai sambal bajak, ikannya daging sapi bumbu rendang.” Aku menyamarkan tawaku yang hampir lepas dengan batuk ketika melihat wajah ngeri Regita mendengar pesananku. “Dan satu gelas jus melon.” Aku melirik gelas minuman Regita yang tampaknya sudah menemaninya sejak ia tiba. “Kamu mau tambah minuman?” Regita hanya menggeleng. “Gimana hari pertama kamu KKN?” aku memulai percakapan ketika pelayan beranjak pergi. “Lumayan menyenangkan,” ucapnya tanpa semangat. “Regi, kamu yakin tidak mau menginap di rumahku?” aku mengerutkan kening melihat Regita yang tampak murung. Biasanya dia selalu ceria. Apa dia sebegitu takutnya dengan makanan pesananku? Regita tersenyum tipis, “Ya.” Jawabnya mantap. “Aku terbiasa pulang hingga larut malam. Aku pasti merasa tidak nyaman pada keluargamu mengingat kebiasaanku itu.” “Memangnya kamu mau ke mana harus pulang larut malam? Di sini tidak ada hiburan malam seperti di kota. Kecuali warung remang – remang, tentunya.” “Mungkin jalan – jalan. Menikmati keindahan alam pedesaan ketika sudah mulai terlelap. Lagi pula siapa tahu aku ingin mengunjungi warung remang – remang itu.” “Regi, jangan coba – coba!” aku membelalakkan mata memperingatkan. Aku ngeri membayangkan Regita berada di tempat seperti itu. Regita terkekeh geli, “Aku bercanda, Kakak ipar!” wajahku memerah mendengar panggilan itu. Tapi wajah Regita kembali murung. Aku memegang jari – jari lentiknya yang terkulai di meja. “Ada masalah?” Regita yang kukenal selama ini sangat ceria seolah dalam hidupnya tidak pernah ada beban. “Sepertinya aku jatuh cinta.” Ucapannya hanya berupa bisikan. “Hmmm?” aku menggumam meminta penjelasan. Seingatku hampir setiap minggu dia selalu berkata dirinya sedang jatuh cinta pada orang yang berbeda. Apa Regita sedang bercanda lagi? Regita menatap mataku lekat. Sorot matanya tampak putus asa. “Aku tidak bercanda Dhea.” Ucapnya seolah membaca pikiranku. “Kali ini aku serius.” “Siapa dia? Pria yang beruntung itu?” “Orang sini. Aku bertemu dengannya 2 bulan lalu dalam perjalanan pulang setelah menghadiri acara pertunanganmu.” Aku ingat waktu itu Regita memilih pulang lebih dulu tanpa orang tuanya. Katanya masih ada tugas yang harus dia selesaikan secepatnya sementara orang tuanya masih menginap selama 2 hari. Tapi Regita tidak pernah bercerita tentang pria yang ditemuinya di sini. “Kenapa kau tidak menceritakannya padaku?” Dia mendesah, “Awalnya aku tidak yakin, mungkin hanya perasaan sekilas. Tapi aku tidak bisa melupakannya. Itu salah satu alasan kenapa aku memilih KKN di sini.” Terjawab sudah. Sejak Regita mengatakan memilih tempat KKN di daerah ini, aku amat penasaran dengan alasannya. Ketika ditanya, dia hanya menjawab ingin perubahan suasana. “Lalu apa masalahnya? Kau tidak bisa menemukan pria itu?” “Dia sudah punya calon istri.” Jawabnya tanpa semangat. Aku tidak tega menatap wajah lesunya. Tapi aku juga tidak tahu harus memberi saran apa, toh hubungan cintaku juga tidak jelas. “Wah, pesanan kita sudah datang!” aku terkekeh geli melihat wajahnya yang tampak ngeri menatap hidangan yang disajikan. Aku senang dengan adanya interupsi ini, dan mungkin Regita juga. Tidak ada saran yang lebih baik selain jalani saja jika menyangkut masalah hati dan perasaan. “Kenapa cuma dilihat? Ayo, cicipi!” Regita mengerutkan kening dengan ragu. “Kamu yakin kita harus memakan ini?” tangannya melambai menunjuk semua makanan yang tersaji. “Yap.” Kataku mantap sambil menahan tawa. Aku mencuci tanganku di mangkuk kecil. Regita mengikuti perbuatanku seperti anak kecil yang meniru perbuatan orang tuanya. Aku terkekeh geli. Regita cemberut tapi lalu tersenyum menyadari tingkah konyolnya. Aku mengaduk potongan sayuran yang terdiri dari kecambah, daun singkong dan kubis dengan parutan kelapa yang sudah dikukus dengan bumbu. Lalu menikmatinya dengan nasi hangat sambil melirik Regita yang sudah mulai menikmati juga. “Bagaimana?” aku penasaran dengan pendapatnya. “Hmmm,” Regita mendesah sambil m*njilat bibirnya, “Luar biasa.” Dia tersenyum lebar. Aku lega karena suasana hatinya sudah kembali normal. “Yang ini apa?” dia menunjuk sambal bajak warna cokelat kemerahan. “Itu sambal terasi dengan campuran tomat dan cabai. Coba makan dengan dagingnya, pasti nikmat.” Jelasku sambil memberi contoh. Kali ini Regita tidak ragu – ragu lagi mencoba. Dia mulai rileks dan menikmati hidangan dengan ceria. Sesekali dia berkomentar lucu tentang hidangannya. Selesai makan, kami langsung beranjak pergi. Aku menawarkan untuk mengantar Regita, tetapi dia menolak. “Regi, maaf karena aku tidak bisa memberi saran.” Regita mengangguk sambil tersenyum. “Aku memang tidak mengharapkan saran. Aku hanya ingin berbagi cerita.” Ya, benar. Masalah apapun lebih baik diceritakan daripada dipendam sendiri. Aku ikut tersenyum dan mengangguk setuju. Aku memeluknya sejenak lalu melambai dan berbalik menuju mobil yang sudah menunggu. “Dhea,” aku berhenti lalu berbalik mendengar panggilan Regita. Aku menatapnya heran ketika ia tidak berkata apapun, hanya tersenyum sambil menggenggam Hpnya. Lalu Hpku bergetar menandakan ada pesan masuk. Ternyata Regita mengirim nomor seseorang. Aku menatap gadis itu sambil bertanya. “Raymond,” ucap Regita. Lalu gadis itu berbalik dan berjalan menjauh. Sekali lagi aku menatap nomor di layar Hpku. Senyumku merekah dan buru-buru aku menyimpan nomor itu.    ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD