Suara azan Subuh membangunkan tidurku, Aku masih terduduk di lantai di bibir kasur. Dengan mata sembab, kepala sedikit berdenyut. Karena semalam aku kurang tidur. Perlahan aku berdiri membuka tirai jendela lebar-lebar membiarkan udara segar dan cahaya sang surya masuk menyinari kamarku. Pemandangan hijau di luar sana berhasil menyegarkan mataku yang masih terasa lelah karena semalam bergadang berusaha menyelesaikan novelku yang ternyata tak mengalami kemajuan apa-apa. Masih di bab lima.
Aku duduk bersila beberapa menit, lalu menghirup udara yang masih berembun itu dalam-dalam. Salah satu rutinitas di pagi hariku agar mendapatkan ketenangan dengan belajar mengolah napas. Aku kembali menarik napas sedalam-dalamnya, lalu mengeluarkannya, berulang kali, teratur dalam beberapa saat. Hanya beberapa menit setelah itu, aku bergegas masak dan siap berangkat kerja.
Motor matic ungu kesayangan telah terparkir di teras, yang sebenarnya jarang aku pakai. Karena Agus yang rumahnya searah dengan kontrakanku sering memberikan tumpangan, tetapi hari ini Agus bilang ada sedikit keperluan dan sedikit telat datang ke puskesmas. Jadilah si ungu cantik pagi ini mengantarku kerja.
Setelah merasa semuanya beres, motorku yang kukendarai melaju pelan, puskesmas sudah terlihat. Sepertinya aku sedikit pagi. Belum terlihat sepeda motor milik pekerja dan pasien di parkiran, hanya terlihat Pak Timo yang sedang membersihkan halaman.
"Ayok, semuanya sudah siap kan?" tanya Kak Mita sebagai ketua tim penyuluhan.
Setelah mengisi absensi kehadiran, dan memastikan semuanya siap baik anggota yang ikut maupun perlengkapan medis yang dibawa, aku dan tim penyuluhan segera berangkat ke dua lokasi. sebagian ada di balai desa bersama Kader TBC, sementara aku dan Agus mendatangi rumah warga yang positif TBC.
Dari atas motor yang dikendarai Agus, aku bisa melihat kiri-kanan deretan rumah warga yang kebanyakan berjarak beberapa meter, ada penyekat tanaman antara setiap rumah.
"Gus, nanti kita beli singkong, ya?" usulku tiba-tiba, melihat segarnya daun singkong aku jadi membayangkan empuknya singkong yang baru panen langsung diolah jadi kudapan.
"Ngidam ya, Lis?"
"Iya, nih, udah tiga bulan," jawabku asal, lantas segera memajukan sedikit kepala mempertajam pendengaranku. Karena aku yakin Agus akan membalasnya lebih gila lagi.
"Syukurlah, akhirnya ada yang mau," celetuk Agus tanpa dosa.
"Awas kau ya." Spontan saja aku menarik tas punggungnya Agus.
"Aduh, jangan ditarik-tarik nanti jatoh," katanya.
"Tunggu in ya, aku bikin singkong Thailand, dan kau cuma dapat aromanya aja," kataku bernada mengancam.
"Ih, pantasen enggak laku-laku, udah galak medit lagi." Agus terkekeh tanpa merasa bersalah, tanpa berpikir apakah aku tersinggung dengan ucapannya. Sepertinya, cowok di hadapanku saat ini punya kelainan. Dia merasa senang bila puas mengejekku habis-habisan.
Laju motor melambat, akhirnya kami tiba di depan halaman rumah yang dituju. Lalu Agus memarkirkan motornya di samping pohon rambutan yang sedang berbuah. Sedangkan aku melihat-lihat halaman rumah yang tampak segar dan asri, berderet-deret bunga krisan, dan kenikir yang sedang mekar dengan indahnya, ada juga pohon mangga di depan rumah, makin menambah sejuk udara pagi ini.
"Assalamuaikum."
Agus mengucapkan salam, sedangkan aku duduk di salah satu kursi teras menunggu si empunya rumah membukakan pintu.
"Assalamuaikum. Ibu." Agus mengetok-ngetok pintu rumah.
"Assalamuaikum, Ibu! Pak, Mbak," ucapku yang kini berdiri mengintip jendela kaca. Namun, setelah sepuluh menit aku dan Agus mengucap salam tak ada juga sahutan dari dalam. Aku yang mulai tak sabar berjalan ke rumah tetangga yang jaraknya sekitar dua puluh meter. Tak perlu menunggu lama, setelah kuucapkan salam seorang ibu tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Assalamuaikum. Ibu lagi beres-beres ya," ucapku berbasa-basi, meskipun aku tahu si ibu lagi mencuci pakaian, karena terdengar suara sikat baju yang beradu seirama, terlihat juga pakaiannya setengah basah. Aku juga melihat dia baru saja keluar kamar mandi yang letaknya tak jauh dari tempat aku berdiri.
"Maaf Bu, mau tanya Mbah Sumi ada di rumah? saya panggil-panggil kok, enggak ada, ya?"
Tanpa balasan basa-basi serupa, si Ibu langsung bergegas menuju rumah Mbah Sumi. Aku yang mengekori manut saja sambil menikmati segarnya udara pagi hari di desa ini, kuambil nafas dalam hitungan 10 detik lalu mengembuskannya dengan perlahan. Uuh segarnya.
***
"Terima kasih Nak Agus, Bu Bidan. Maaf Mbah kira tadi mau dibawa ke rumah sakit." Kata Mbah Sumi dengan lemah. Dari gelegatanya perempuan yang sudah memiliki delapan cucu itu, seperti tak enak hati karena sudah membiarkan kami menunggunya membukakan pintu.
Padahal kami hanya memberikan informasi dan edukasi etika batuk, cuci tangan, serta menggunakan masker secara benar. Sehingga Mbah Sumi dan keluarganya bisa meningkatkan pengetahuan dalam pencegahan TBC sejak dini. Dan juga mampu menjaga kesehatan sendiri serta keluarga yang lain.
"Iya, enggak apa-apa Mbah, yang penting Mbah sehat. Njih," ucap Agus.
Lalu, aku dan Agus saling melempar senyum, sebelum pamit. Pantas saja kami tak dibukakan pintu, rupanya Mbah Sumi takut dengan kedatangan kami. Sebelum pulang kami pun menyerahkan beberapa kebutuhan pokok dan obat-obatan secara gratis untuk Mbah Sumi.
Dalam perjalanan pulang kembali ke puskesmas, aku terus mengagumi kepedulian dan keeratan antar sesama warga. Sungguh jauh berbeda bila dibandingkan dengan pemukimanku di sana. Benarlah kata orang hidup di desa itu lebih terasa kebersamaannya.
Puskesmas sudah terlihat sepi saat kami tiba. Sepertinya pegawai yang lain sudah banyak yang pulang, sementara aku dan Agus masih merapikan laporan.
"Eh, besok mau ikut penyuluhan KB enggak? Ada anak motivator KB. Siapa tahu kan?"
"Apa?" Aku melototi Agus.
"Hah?!"
"Apa?!"
"Sensi amat lagi dapet, ya?" tanya Agus.
“Dasar lemos."
"Eh, aku ke belakang ya, titip map ini. Kasih ke Abi." Agus buru-buru berlalu ke belakang.
"Heem," jawabku tanpa melihat mapnya.
Aku yang masih main game di laptop Agus tak begitu memperhatikan di mana cowok cerewet itu menaruh mapnya. Mataku fokus menatap bola mungil berwarna-warni yang menjadi game favoritku. Aku terus melihat deretan bola kecil itu, bila muncul minimal tiga bola kecil dalam satu warna aku lekas mengarahkan ke sana, lalu menembaknya agar dapat menambah poin. Permainan yang sederhana pengisi waktu sebelum pulang. Lumayanlah.
Suara khas Afgan mengalun merdu memenuhi ruangan ini, sesekali aku ikut bernyanyi. Bila siang hari ketika puskesmas sudah mulai sepi pengunjung maka ruangan apotek menjadi tempat favoritku sambil menunggu waktu pulang dan sembari mengerjakan tugas. Selain sepi dan tidak berisik tempat ini juga di fasilitasi pendingin ruangan. Mendengar ada yang mengetuk pintu, aku menunda dulu berduet dengan Afgan.
"Iya, masuk." Responku yang masih melihat permainan ketika seseorang itu membuka pintu. Aku tahu, yang datang adalah orang yang mau ambil titipan dari Agus.
"Siang, Kak," sapanya.
"Iya. Ambil yang map kuning, Kak," perintahku yang masih tanpa melihatnya. Tidak beretika memang caraku, untung saja dia bukan Kak Rukiah. Bisa-bisa aku diomeli kalau beliau yang aku cuekin.
"Ada banyak map kuningnya, enggak apa-apa nih, aku cari sendiri."
Jariku tiba-tiba berhenti menggeserkan permainan, bukan karena harus ikut mencari mapnya. Namun, suara itu yang membuatku terhenti. Suara berat dari seseorang itu langsung masuk ke hati dan menempel cepat di otakku, yang membuat otakku ikut berpikir bahwa cowok ini cool. Aku suka mendengarkan suaranya. Siapa dia?