03 [When Your Shadow Answer]

1077 Words
“Jarum dan benang merah jatuh dari langit, pertanda tidak ada yang menginginkannya untuk hidup” Lautan merah di atas langit, jarum dan benang berwarna sama jatuh tanpa kuasa ditahan. Seorang gadis berambut cokelat panjang terdiam. Tidak lama dia menengadah ke atas langit. Sesak di dadanya. Dia sangat sedih, kecewa dan marah. Semua perasaan yang begitu tinggi itu membuatnya tidak dapat menangis.  Warna merah, benar-benar menghiasi tempat ini. Bahkan dia merasa tidak ada lagi yang tersisa dari sisa-sisa pertempuran. Yang Maha Berkehendak pasti telah murka dan menjatuhkan hujan dengan darah milik semua makhluk dan ras yang telah berperang. Gadis itu menunduk. Dia melihat baju bajanya sangat kotor, dipenuhi darah milik pasukannya sendiri. Tiba-tiba lengannya ditarik oleh seseorang, entah siapa, dia juga tidak mengenalinya. Mungkin terlalu malas untuk mencari tahu siapa yang sedang berada di sisinya saat ini. “Putri Hana, sadarlah! Anda tidak mungkin bisa menyelamatkan kami, biarlah kami yang berkorban untuk Anda.” Gadis itu melihat ke arah makhluk dengan wajah hijau dengan lengan dipenuhi oleh dedaunan. Ini pasukannya. Pasukan Daun dari Istana Bunga. Mereka adalah rakyat yang setia dan mengabdi hanya padanya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan kalian mati. Maafkan aku yang egois ini,” bisiknya pelan. Dengan sebuah kepalan, gadis itu segera menggunakan kekuatannya untuk mengubah bentuk mereka menjadi cahaya, tanpa ragu dia menyebarkan cahaya itu ke segala penjuru Twins. Hana, putri dari Istana Bunga sekaligus orang yang akan dinobatkan sebagai Ratu Alam di Twins pun berjalan tanpa arah. Di tangan kanan, dia sudah siap dengan caladbolg, pedang air miliknya. Para goblin sebentar lagi menghampiri dirinya. Tanpa pasukan, dia mencari kematian dengan melawan 3000 goblin. Masih bagus jika mereka semua campuran antara pemanah dan penyerang. Tidak akan ada yang membantunya. Hana tahu, tetapi dia tetap yakin untuk melangkah. Untuk apa dia hidup sekarang? Semua yang dia miliki sudah direnggut secara paksa. Menjadi putri bukanlah takdir yang dia inginkan! Hana hanya ingin hidup dengan damai, merawat bunga ataupun membantu orang-orang. Bukan berperang ataupun mengerjakan urusan politik. Dia tidak ingin melibatkan kematian siapa-siapa lagi. Sekarang biarlah dirinya sendiri yang mengabdi pada negaranya sendiri.  “GRAAR!” Suara para goblin itu membuat Hana mengeratkan pegangan pedangnya. Tidak sesuai dengan harapan. 2000 pasukan goblin merupakan penyerang. Makhluk seukuran anak beruntun sembilan tahun dengan wajah hijau pekat dan mata kuning itu terlihat lemah, nyatanya tidak. Namun, bagi seorang Hana, itu tidak ada apa-apanya. Hana mengepalkan tangan, lalu membuka. Agak mendorong sesuatu yang ada di dalam telapak tangannya. Kerlap-kerlip itu muncul dan tersebar di segala arah. Tanpa berlama-lama, muncul es yang menjulang tinggi. Tanpa segan es tersebut menusuk, membelah dua para goblin. Bahkan membuat es yang bening kini dialiri oleh  rona merah. Bukankah sangat serasi dengan hujan darah yang sedang terjadi saat ini? Es itu hanya bisa membunuh seperempat dari pasukan goblin. Hana mengembuskan napas. Dia menggunakan tangan kirinya untuk menarik sesuatu. Dia membuat sebuah perangkap dari akar-akar pohon. Mereka menembus dari bawah tanah, lalu mengikat kuat para goblin. Lagi, tersisa setengah dan seolah tidak takut, mereka justru semakin mendekat. Hana membiarkan mereka mendekat. Hanya sekitar satu meter jarak mereka. Seperti dia memang sedang menunggu. Dia pun meninggikan pedang dengan mata yang melotot, segera dia arahkan tetesan air hujan itu menembus tubuh goblin dengan mengubah bentuk padat dari air. Hanya setetes air hujan memang tidak akan melukai mereka. Namun, minimal air hujan yang dikeluarkan itu ribuan. Tentu saja mereka akan terluka parah bahkan lebih menyiksa dibandingkan sebelumnya. Hana tidak memedulikan hal tersebut. Jika kekuatan ini yang membunuh pasukannya, maka kini dia menggunakan kekuatan serupa pada musuh. Hana sengaja melindungi salah satu goblin agar tidak terkena tetesan hujan, tetapi makhluk satu itu terperangkap dalam es. Dia pun mendekat. Langkahnya semakin lama, semakin tegap. Pedangnya tetap berada di sampingnya, lalu dia menodongkan benda panjang nan tajam itu ke arah leher goblin yang dia lindungi sebelumnya. Mata tanpa ampun dia lontarkan. “Katakan siapa yang menyuruh kamu menyerang istanaku?” ucap gadis tegas. “Ka ... kami tidak tahu apa-apa. Bukankah selama ini Anda lemah?” balas goblin itu agak ketakutan. Hana membelalak ketika dia mendengar kata sakral dari goblin tersebut. Tanpa sadar dia menjatuhkan caladbolg. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya begitu sakit. Namun itu tidak berlangsung lama. Dirinya kembali melihat ke arah goblin, kali ini dia gunakan tanaman rambat untuk mencekik makhluk kecil tersebut. “Jangan berbohong. Katakan siapa yang menyuruhmu?!” ucap Hana dengan tegas. Goblin tersebut menggeleng, bersamaan dengan itu tanaman rambat pun semakin memutari tubuhnya. Hana tidak peduli. Dia hanya membutuhkan informasi saja. Siapa yang dengan tega menyerang istana ini. Seingatnya tempat ini sangat aman dan jarang didatangi oleh musuh. Bahkan dia sudah meminta para sang Raja Alam agar tempat ini dilindungi. Kenapa bisa-bisanya ada orang yang ingin menghancurkan tempat ini? Satu sosok yang berada di balik pohon membuat dia penasaran. Dia tidak lagi mengacuhkan goblin. Kali ini targetnya adalah orang yang tengah bersembunyi. Segera saja dia berlari mengejar. Sosok itu tidak beranjak pergi darinya, justru dengan berani menyentuh salah satu pohon. Tidak lama pohon itu menjadi kering dan Hana sulit bernapas. “Apa yang ... sedang kamu ... lakukan?” ucap Hana terbata-bata. Sosok itu segera meninggalkannya, tanpa mengucapkan apa-apa. Hana mencoba menjangkau, tetapi sulit. Daun-daun dari setiap pohon yang ada di sekitarnya menjadi gugur. Napasnya mulai tidak beraturan. Tiap detik kehidupan tempat ini dia rasakan. Racun mengaliri para pohon. Hana harus segera menyembuhkan mereka. Dia bersusah payah mengulurkan tangan dan mengobati para pohon. Namun, terlalu banyak pohon yang mulai berguguran. Semakin lama dia bertahan, dia semakin pusing. Sampai dia menyadari jika ini semua tidak ada gunanya. Dia pun mencari sosok yang melakukan ini. Berharap bisa mengejar sosok tersebut. Tidak ... rakyatnya, rumahnya jangan ... jangan .... Sayangnya dia terlambat. Pohon-pohon di sekitarnya berubah menjadi layu dan bertransformasi menjadi warna hitam pekat. Bersamaan dengan itu, dia merasakan otaknya semakin pusing dan sulit berjalan. Tidak. Dia bahkan kesulitan untuk menopang tubuhnya sendiri. “... a ... to ....” Ucapannya yang tidak jelas pun terhenti, dengan apa yang dia lihat menjadi buram dan semakin lama menjadi hitam. ----------- “Hah ... hah ... mimpi apa itu?” ucapku sambil terengah-engah. Aku segera meraba wajah, lalu melihat ke arah tangan sendiri. Tidak ada darah. Ini memang hanya mimpi, tetapi kenapa aku merasa begitu nyata? “Nadira, maukah kamu mendengarkanku?”  ------------------------------------------ Halo, Namaku NamikazeHana, semoga kalian suka dengan cerita yang kubuat ini. Ngomong-ngomong meskipun cerita ini bisa dibaca tanpa mengetahui series sebelumnya, aku tetap akan merekomendasikan kalian untuk membaca cerita sebelumnya. Kalian bisa cek Miracle of Wish. Cari di Google ya. Oh ya, jangan lupa tap love untuk cerita ini sebagai dukungan untuk author. Enggak berbayar ini kok. Terima kasih sudah membaca cerita ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD