#1

1877 Words
Tenggorokanku rasanya kering sekali. Kulirik jam dinding kamarku yang menunjukkan pukul empat pagi. Aku bergegas bangun dari tidurku dan beranjak keluar dari kamar. Kuambil sebuah teko dari dalam lemari es dan kutuangkan air ke dalam gelas sampai penuh. Kuteguk dua porsi sekaligus demi meredakan dahaga yang terlalu menyiksaku ini. Saat hendak melangkah kembali ke kamarku, kulihat ruang kerja papa masih terang. Kupikir papa lupa mematikan lampu saat meninggalkan ruangan. Maka, aku berjalan kesana untuk mematikan lampu. Namun kakiku berhenti melangkah di depan pintu saat mendengar suara papa. Aku mengintip dari celah pintu dan melihatnya sedang mengobrol dengan dua orang melalui MSN. Obrolan mereka dalam bahasa Inggris dan topiknya mengenai pekerjaan. ‘Itu membosankan,’ pikirku. ‘Papa seharusnya tidak mengobrol tentang pekerjaan pada dini hari.’ Aku berbalik hendak meninggalkan tempat tetapi mengurungkan niatku saat kudengar mengenai berpindah rumah dari Indonesia ke Amerika. Penasaran akan obrolan itu, aku menguping lebih lama. “Ya, aku akan bicara dengan istri dan anak-anakku pagi ini. Kupikir itu adalah kesempatan yang baik untuk kami. Kondisi keuangan keluarga kami hampir sekarat setelah aku ditipu oleh rekan kerja s****n itu. Padahal biaya pendidikan kedua anakku cukup tinggi. Aku tidak ingin mereka berhenti sekolah, karena masa depan mereka sangat penting bagiku. Terima kasih sudah menawarkan pekerjaan ini, Rick, Pablo,” begitulah ucapan papa kepada kedua temannya. “Tentu saja, Carl. Kami adalah sahabat-sahabatmu sejak kuliah. Mana mungkin kami tinggal diam melihatmu dalam kondisi terpuruk seperti itu?” salah satu dari teman papa menyahut. “Tolong kabari segera dan kami akan membantu biaya pesawat untuk seluruh keluargamu,” teman papa yang lainnya menimpali. “Baik. Terima kasih sekali lagi, kawan,” itulah kalimat terakhir papa sebelum panggilan diakhiri. Seluruh percakapan itu membuatku terenyuh. Aku tidak mengetahui sama sekali kondisi keuangan keluarga kami jika bukan karena ketidaksengajaan ini. Selama ini pasti Papa berjuang sangat keras untuk mama, aku dan Bill. Tidak tega melihat Papa yang sedang menopang kepalanya di atas kedua tangan, aku pun masuk ke dalam ruang kerjanya. “Papa,” kutepuk bahunya dan ia menoleh padaku. “Sayang? Kenapa kamu nggak tidur?” Papa membelai rambutku. “Loh? Kamu nangis?” Kupeluk papa lalu berkata, “Maaf ya, Pa. Selama ini aku nggak tahu kalau ada masalah di kerjaan Papa. Kalau memang sulit, aku sama Bill bisa berhenti sekolah dan bantu kerja.” Papa mendorongku dari pelukannya lalu menutup mulutku dengan telapak tangan kanannya. “Jangan pernah bilang begitu ya. Sampai kapanpun kamu nggak boleh berhenti sekolah karena masalah sebesar apapun. Kamu harus punya pendidikan yang baik supaya kamu bisa dapat pekerjaan baik juga,” Papa menurunkan tangannya. Aku hanya bisa mengangguk. “Tapi kita bisa tetap disini kan, Pa? Setahun lagi aku selesai SMA, dan habis itu aku bisa kuliah sambil kerja,” aku berusaha membujuk Papa. Papa tidak segera menjawab. Ia menghela nafas dan membelai lengan kananku. “Pekerjaan disini nggak terlalu bagus, Joana. Papa nggak bisa dapat uang banyak dengan cepat kalau ada disini. Karena itu, temen-temen papa tadi tawarin pekerjaan di Amerika. So, kita harus pindah. Maaf ya,” ucapannya menciptakan sebuah dilema. Di satu sisi aku tidak mau keluargaku mengalami masa-masa yang buruk, namun di sisi lain aku juga tidak ingin meninggalkan keempat sahabatku. Aku sudah menyusun banyak rencana masa depan bersama dengan mereka. “Untuk urusan pindah sekolah, nanti kamu sama Bill ambil ujian penyetaraan ya, karena standar di Indonesia dan Amerika beda,” kata Papa. “Maaf karena kamu harus pisah sama temen-temen kamu. Papa nggak punya pilihan selain bawa kalian bertiga. Kamu tahu Mama nggak punya keluarga dan Papa nggak mungkin titipin kamu atau Bill ke orang lain.” Aku tidak tahu harus berkata apa. Kepalaku tertunduk saat mengangguk setuju. “Dalam waktu satu minggu, kita urus semuanya disini terus kita berangkat ke Amerika ya,” Papa kembali membelai kepalaku. “Papa juga harus jual mobil kita untuk tambahan biaya hidup awal disana. Doakan semoga cepat laku ya.” Aku mengangguk lemah. “Ya udah. Kamu sekarang tidur lagi aja. Masih ada beberapa jam lagi sebelum berangkat sekolah,” dengan ucapan Papa itu aku berbalik dan berjalan kembali ke kamarku dengan langkah gontai. Hatiku terpukul dan sangat tidak mungkin aku kembali tidur. Aku terjaga sampai waktunya bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sarapan bersama, Papa menyampaikan berita ini kepada mama dan Bill. Yang mengejutkan, mereka tidak banyak berkomentar dan setuju begitu saja; mungkin karena Mama tahu benar mengenai masalah keuangan keluarga dan Bill selalu berkata ingin tinggal di Amerika. Pikiranku tidak tenang memikirkan perpisahan dengan sahabat-sahabatku. Akibatnya aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali pada pelajaran apapun di sekolah sampai-sampai ada saat dimana Lisa harus menyenggolku dulu sebelum sadar bahwa namaku dipanggil oleh wali kelas kami. Itulah saat aku dibawa untuk bertemu dengan bagian kesiswaan demi mengurus beberapa hal yang berkaitan dengan kepindahanku. Ketika waktunya tiba untuk berkumpul dengan keempat sahabatku seperti biasanya pada jam istirahat di kantin, kupandangi mereka satu per satu seakan memuaskan diri melihat mereka sebelum berpisah. Ingin rasanya aku memberitahukan berita ini pada mereka, tetapi aku belum siap. “Nanti sore kalian nggak ada acara kan? Mau nonton bareng nggak?" Sedetik kemudian aku menyesali ajakan ini karena teringat tentang kondisi keuangan keluargaku. "Eh, jangan. Kita sepedaan keliling kota yuk. Besok kan hari Sabtu." "Yah, aku sama Maggie ada acara keluarga," Lisa memberitahu. "Aku sih mau-mau aja. Tapi nggak seru dong kalau nggak ada kalian. Kan kalian sumber kebisingan sejati," ledek Doni yang kemudian mendapatkan tinju ringan dari kedua saudara kembar itu. "Tapi aku juga harus skip deh, Jo kali ini. Hari ini ulang tahun dadong*. Semua anggota keluarga harus dateng." (*nenek) Kuhela nafas kecewa yang kututupi dengan senyuman. "Sama Bryan aja. Pasti dia siap sedia," tukas Maggie. "Ya nggak, Bry?" Ia menyikut pemuda itu. Bryan mengangkat bahu. "Yah, aku sih nggak ada acara. Jadi bisa kok," ucapnya. "Tuh kan. Untuk Joana, Bryan pasti selalu available," tambah Maggie bangga karena ucapannya terbukti benar. (*ada) Dalam hati aku senang karena masih ada Bryan yang bisa menemaniku. Tetapi bukan itu alasan aku mengajak mereka bersepeda. Aku mau lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka selama seminggu ini. "Ya udah, lain kali aja pas kita semua bisa," aku membuat keputusan. Bryan mengangguk setuju. "Namanya sahabatan kan harus bareng-bareng," ia mendukung pernyataanku. "Apaan sih? Wuuu. Nggak seru. Kalian berdua doang kan nggak masalah," Doni menyeruput teh botolnya sampai habis dengan sedotan hingga menimbulkan suara berisik. "Ada kesempatan berduaan kok nggak diambil." Bryan langsung menoyor pipi Doni. "Berisik banget," ujarnya. "Yee, kan lagi usaha nyomblangin kalian," sahut Doni dengan telunjuk terarah padaku dan Bryan bergantian. "Saling suka kok dipendam aja. Dinyatain dong." Kuletakkan telunjuk di depan bibir. "Ssh. Semua indah pada waktunya," kulontarkan kalimat andalanku. "Ngomong-ngomong tadi kenapa dipanggil ke bagian kesiswaan? Masalah olimpiade lagi?" Lisa mengganti topik. Ketiga sahabatku yang lain menoleh padaku.  Pikiranku bergejolak antara mengungkapkan yang sebenarnya atau menundanya sedikit lagi. "Yah gitu deh," jadi itu sajalah yang terucap. "Jangan sampai sekolah bikin kamu stres, Jo. Memang kamu pinter dan berprestasi, tapi kamu juga harus nikmatin hidup," Bryan menasihati.  "Ciye, ciye yang peduli sama tambatan hati," Doni memang tak pernah puas menggoda aku dan Bryan. Aku jadi heran padanya, tapi itu juga yang pasti akan membuatku rindu. "Makasih, Bry. Aku udah belajar untuk nolak kalau aku terlalu banyak urusan sama sekolah. Berkat belajar dari kamu juga," komentarku terhadap perkataan Bryan yang disela oleh Doni. "Aw, so sweet sih kalian," ekspresi Doni tampak menggelikan sehingga kami berempat yang mendengarnya dibuat tertawa. (*manis banget) Bel masuk pelajaran berbunyi. Kami berlima beranjak dari bangku kantin dan berpisah menuju kelas masing-masing. Sembari berjalan aku memikirkan rencana lain untuk esok hari dan beberapa hari tersisa lainnya.   Rencana demi rencana yang kubuat selalu saja gagal karena berbenturan dengan aktivitas ekstrakurikuler sekolah. Bryan yang biasanya selalu ada pun terhalang dengan latihan untuk kompetisi berenang yang diajukan jadwalnya. Aku hampir putus asa karena di hari-hari terakhirku waktu kebersamaan kami justru menipis. Namun akhirnya kuberanikan diriku sendiri untuk mengatakan pada mereka bahwa aku memiliki berita serius yang harus mereka dengar. Atas seijin Papa dan Mama, aku mengundang keempat sahabatku untuk menginap di rumah Jumat malam ini. Kami menggunakan ruang keluarga yang cukup besar, lengkap dengan selimut, bantal dan guling untuk tidur nanti. Saat ini kami berbaring dengan posisi kepala yang menyatu membentuk lingkaran seperti jam dinding dengan lima jarum. "Udah setahun lebih ya sejak terakhir kita nginep disini, Jo," Maggie mengingatkan momen dimana kami menginap bersama di malam tahun baru saat masih kelas sepuluh. "Dan waktu itu kita masih malu-malu," timpal Lisa lalu kami tertawa bersama mengenang masa itu. Kenangan demi kenangan yang sudah kami lewati memang sangat berharga. Tidak mungkin aku melupakannya sama sekali. Lebih tepatnya, aku tidak ingin kebersamaan ini menjadi kenangan semata. Aku ingin tinggal disini bersama mereka, tapi sayangnya aku tidak punya daya. "Katanya mau ngomong sesuatu yang serius. Apa tadi, Jo?" Bryan mengingatkan kembali alasan kenapa aku mengajak mereka menginap. "Hm, aku sayaaaang banget sama kalian," kataku. Lisa tertawa. "Kamu nih, Jo. Kaya mau pergi aja," celetuknya. Tidak bisa menahan emosi kesedihan ini, air mataku tercurah dan aku diam seribu bahasa. Maggie yang ada di sebelahku menoleh dan mendapati aku menangis. Seketika itu juga ia bangun dari posisi berbaring dan bertanya, "Eh? Kamu kenapa? Kok nangis?" Ketiga sahabatku yang lain turut bangun dan menatapku dengan terkejut. Maka dengan gerakan lemah aku bangun dan duduk menghadap mereka. Kucoba menghapus air mataku yang kian deras ini, tapi tidak berhasil. "Joana, ayo bilang. Ada apa?" Bryan berpindah ke sebelahku dan menyentuh lenganku. Dalam isakan tangis aku mulai berbicara terbata-bata, "Besok aku harus pergi dari sini. Sekeluarga pindah ke Amerika dan hidup disana." "Tapi kenapa?" tanya Lisa. Pertanyaan itu tidak lantas bisa aku jawab. Ini adalah masalah pribadi keluarga yang tidak mungkin kubeberkan begitu saja. "Kamu nggak mau kan? Bukannya keluargamu itu demokratis? Bilang aja kalau kamu keberatan," Bryan memberikan wejangan yang lebih terdengar seperti instruksi. "Bisa, tapi ini satu-satunya pilihan untuk kondisi keluargaku saat ini," balasku masih dalam isakan. "Aku masih di bawah umur dan aku nggak mungkin tinggal tanpa keluarga." Mereka berempat tampaknya tidak bisa menangggapi lagi. Malam itu menjadi suram dan menyedihkan karena berita ini. Lisa dan Maggie memelukku erat-erat sementara Doni ikut mengeluarkan air mata sedih. Lain halnya dengan Bryan yang justru tampak marah dan kecewa. "Kenapa kamu baru bilang sekarang? Kenapa nggak kemarin-kemarin supaya kita bisa habisin waktu sama-sama lebih banyak?" dilemparkannya pertanyaan demi pertanyaan yang menyudutkanku. "Aku udah coba ajak kalian kumpul terus tapi waktunya yang selalu nggak pas, Bry," aku membela diri. "Tapi kalau kamu bilang sejak awal, pasti kita semua bakalan luangin waktu khusus untuk kamu," Bryan membungkamku dengan perkataan itu. Ia memang benar. "Aku juga bisa temenin kamu walaupun Maggie, Lisa sama Doni nggak bisa. Kenapa sih justru ngomong sehari sebelum pergi?" Aku terhenyak dengan ucapan Bryan. Tenggorokanku tercekat hingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. "Udah, Bry. Situasinya nggak tepat dan tambah buruk kalau kamu marah-marah gini," Maggie berusaha meredam kemarahan Bryan. "Lagian pasti ada alasan kenapa baru hari ini Joana kasih tahu kita." Tidak kusangka situasi ini akan terjadi. Aku menyesal baru memberitahu mereka sekarang. Andai aku dapat memutar kembali waktu, aku pasti akan lebih banyak menikmati kebersamaan dengan mereka. "Ya. Sekarang mendingan kita pakai waktu-waktu sebaik-baiknya," Lisa menimpali. Lisa mendekat dan menarikku ke dalam pelukannya. Ketiga sahabatku lainnya turut memelukku juga kemudian, menyelimutiku dengan kehangatan yang mulai besok tidak akan kudapatkan lagi. ~ TDOMF
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD