#2

1837 Words
Semua barang yang perlu dibawa sudah siap dalam beberapa koper sejak beberapa hari lalu. Pagi ini setelah berbenah sedikit lagi, aku mengajak keempat sahabatku untuk sarapan bersama. Papa dan mama tidak berkomentar apapun ketika kami berlima bangun lebih siang karena mereka membiarkan aku memiliki banyak waktu bersama sahabat-sahabatku di hari terakhir. Akibat semalam begadang dan banyak bercerita demi memuaskan sisa waktu bersama, kini wajah kami berlima tampak tidak segar. Yah, itu karena kami sebenarnya dirundung kesedihan. Meskipun kami hampir kehabisan tenaga untuk mengobrol, masing-masing kami berusaha menjaga obrolan agar tetap berjalan. Betapa palsunya senyuman yang tergores di wajah kami demi menutupi rasa kehilangan ini. Indah dan ironis pada waktu yang sama.  Sepanjang hari Sabtu ini yang kami lakukan hanyalah mengobrol dan bermain-main. Baik di dalam rumah bernyanyi karaoke bersama dengan home theater di ruang keluarga, atau berlari-larian di pinggir pantai. Kami mengambil banyak foto dengan ponsel maupun kamera milik Maggie untuk mengabadikan momen-momen berharga ini. Lisa yang sangat aktif di f******k juga langsung mengunggah semua foto yang ada lalu menandai nama kami berlima. Sayang sekali, sore hari tiba terlalu cepat dan kini saatnya untuk pergi ke bandara. Dengan mobil yang Doni bawa semalam untuk ke rumahku, kami berlima berada dalam satu mobil untuk menuju ke bandara sementara orang tua dan adikku diantar oleh tetangga dekat kami. Karena Doni adalah satu-satunya yang sudah memiliki SIM A, maka ia juga yang menyetir. Bryan duduk di jok penumpang depan, sementara aku, Maggie dan Lisa di jok tengah. Perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit itu terasa sangat singkat. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk memperlambat waktu, pasti sudah kulakukan demi menghabiskan lebih banyak waktu bersama mereka. Sialnya, jalanan juga tidak macet sama sekali sehingga tidak ada halangan yang bisa memperlambat kedatangan kami di bandara. Kenapa rasanya semesta mendukung kepergianku dari sini? Setelah memarkirkan mobil, kami semua turun dan menarik koper-koper kami menuju ke lobi kedatangan. Aku bersyukur papa dan mama sekali lagi membiarkanku bersama dengan para sahabatku sementara mereka mengurus check-in. Sebelum masuk lebih dulu, mereka memberikan boarding pass kepadaku agar dapat menyusul nanti. “Yah, kita sampai disini akhirnya,” aku angkat bicara dengan air mata yang sudah tergenang. “Tolong jangan lupain aku ya. Sering-sering ngobrol. Masih ada f******k yang bisa jadi penghubung. Aku bakalan sering update disana lebih daripada biasanya, dan kalian juga harus. Oke?” Maggie dan Lisa bergantian memelukku tanpa kata terucap. Doni yang biasanya selalu tegar pun melakukan hal yang sama. Situasi ini benar-benar sudah menghancurkan hati kami semua. “Hey, I’m gonna miss you so badly,” giliran Bryan yang bicara. (*Hei, aku bakalan kangen banget sama kamu.) Aku menggangguk-angguk dan air mata yang sudah kuseka jatuh kembali. Tanpa ragu aku langsung masuk ke dalam dekapannya dan mengikat tubuhnya dengan kedua lenganku. Ini adalah kali pertama dan terakhir aku memeluknya. Benar-benar menyedihkan. Seharusnya ini sudah kulakukan lebih awal. Rasanya nyaman sekali dalam posisi seperti ini dan aku tidak mau melepaskannya lagi. Bryan yang tidak bisa menahan kepedihannya itu juga memelukku erat. “Mungkin aku bakalan sulit tidur di waktu-waktu ke depan. Kamu harus kirimin aku uang kalau aku jadi sakit ya. Tanggung jawab,” ia masih sempat-sempatnya bercanda, tetapi itu cukup menggelitikku meskipun pada saat yang sama juga menorehkan luka di hati. “Iya. Nggak cuma kirim uang. Aku usahain untuk tengok kamu nanti,” sahutku. Setelah beberapa lama berada dalam posisi ini akhirnya ketiga temanku juga turut memeluk. Begitu sedihnya hingga kami tidak akan melepas pelukan jika bukan karena nada dering ponselku berbunyi. Dengan berat hati kami melepas pelukan karena rupanya mama menghubungi agar aku segera menyusul. “Sampai ketemu lagi ya, guys,” aku melangkah mundur perlahan dan melambai pada mereka. Ketika sudah cukup jauh, aku berbalik untuk berjalan ke arah depan. Ya Tuhan, apakah aku harus benar-benar meninggalkan mereka? Tidak adakah cara lain agar aku tidak pergi? “Joana!” suara Bryan terdengar memanggil, dan aku berpaling segera padanya sebelum melewati pemindai. Kutatap wajah Bryan dari kejauhan yang tampak seperti ingin mengatakan sesuatu. Entah kenapa aku berharap ia mengatakan kalimat berisi tiga kata itu sekarang. Jika ia mengatakannya, aku berjanji pada diriku bahwa aku akan berjuang dengan sangat keras untuk segera kembali ke Indonesia lagi. Mungkin aku bisa membujuk Papa dan Mama untuk membiarkanku tinggal bersama salah seorang dari sahabat-sahabatku, atau setelah selesai sekolah aku akan kembali lagi untuk kuliah disini. Namun bukannya mengatakan sesuatu, Bryan hanya melambai sekali lagi. Apakah memang kepergianku memang merupakan sesuatu yang harus dilakukan? Apakah aku memang tidak ditakdirkan untuk berada disini bersama dengan mereka? Aku benar-benar kecewa. Setelah melambai untuk yang terakhir kalinya pada mereka, aku berbalik dan masuk melewati pemindai. Dengan langkah gontai aku berjalan terus menuju ke ruang tunggu dekat gerbang keberangkatan, dimana keluargaku sudah menunggu. Sisa satu jam lagi sebelum waktu keberangkatan malam kami dan kuhabiskan sepenuhnya untuk melihat-lihat semua foto kebersamaan kami sejak awal sampai yang terakhir di f******k.   Perjalanan jauh selama hampir tiga puluh lima jam dan tiga kali transit akhirnya menghantarkan aku dan keluargaku di Bandara Gulfport, Mississippi. Disana kedua teman kuliah papa yang kulihat di panggilan video MSN muncul untuk menjemput. Papa memperkenalkan kami sekeluarga kepada mereka yang menyambut dengan hangat. Rick dan Pablo -- begitulah mereka ingin dipanggil -- membantu Mama, aku dan Bill sepenuhnya untuk mendapatkan tempat tinggal dan dalam proses mendapatkan Kartu Hijau agar bisa tinggal secara permanen dan legal di Amerika. Mereka yakin proses akan lebih mudah dan cepat untuk kami karena Papa berstatus warga negara dan kami anak-anaknya masih di bawah dua puluh satu tahun. Sementara untuk pendidikanku dan Bill, Rick berkata bahwa kami harus mengikuti tes standarisasi sebelum masuk kembali ke sekolah. Jika tidak ingin mengulang tingkat yang sama, kami harus menjalani program khusus untuk menyesuaikan dengan kurikulum di Amerika. Tiga bulan ke depan saat tahun ajaran baru dimulai, kami akan mulai sekolah di tingkat yang selanjutnya. Saat itu pula Kartu Hijau sudah ada di tangan kami. Hari-hari awal tinggal di Mississippi sungguh terasa sepi. Tidak kusangka aku akan kembali lagi pada situasi yang sama seperti tahun-tahun yang lalu. Tidak banyak yang bisa kulakukan di luar rumah, karena di lingkungan tempat tinggal kami setiap rumah memiliki jarak yang tidak dekat. Alhasil yang kulakukan hanyalah berkomunikasi dengan keempat sahabatku beberapa jam di pagi hari demi menyesuaikan waktu di Indonesia dan belajar sepanjang hari. Kegiatan ini sudah kulakukan segera setelah mendapatkan kartu SIM telepon setibanya di bandara kala itu. Lain halnya dengan Bill yang sudah melalang buana ke lingkungan sekitar selama dua setengah bulan ini. Kerjaannya setiap hari adalah berjalan ke taman, mencari banyak teman dan bermain-main dengan mereka. Mungkin karena dia sangat bersemangat untuk tinggal disini dan usianya masih tergolong terlalu muda untuk bersedih hati. Entahlah. “Joana, kamu lagi ngapain?” suara Mama terdengar dari arah pintu kamarku. Dari meja belajarku, aku menoleh kepada Mama. “Biasa, Ma. Lagi belajar untuk minggu depan tes standarisasi,” jawabku. “Makan malam yuk. Papa sama Bill udah nungguin tuh di meja makan,” katanya. Aku mengangguk dan meninggalkan kamar tidurku bersama mama ke ruang makan. Di meja makan sudah tersedia beberapa menu makanan. Setelah memanjatkan doa bersama, kami mulai menikmati hidangan itu. “Joana,” panggil Papa. Aku mendongak. “Ya?” “Kamu terlalu banyak belajar ya? Seharusnya kamu bisa nikmatin sedikit daerah sekitar sini. Bagus loh,” kata Papa. “Exactly,” sahut Bill dengan mulut masih penuh dengan makanan. (*Tepat banget) Senyuman simpul kuperlihatkan. “Aku masih fokus aja sama belajar, Pa. Soalnya kan tes standarisasi udah hampir deket,” aku berkilah. Alasan yang sebenarnya jelas bukan itu. “You know what? Kamu bakalan nemuin banyak hal hebat disini, Jo. Coba deh kamu buka diri sedikit lagi supaya nggak terus-terusan sedih. Life must go on, right?” Kali ini Bill memberikan sebuah wejangan yang terdengar seperti orang dewasa. (*Kamu tahu? Hidup harus terus jalan, kan?) Ucapan Bill ada benarnya, tapi sayangnya itu tidak mudah dilakukan. Karena itulah aku hanya menanggapi dengan helaan nafas. “Ngomong-ngomong, Papa udah dapat kerjaan tetap,” Papa mengalihkan topik dengan sebuah berita yang baik. Kami bertiga yang mendengarnya langsung merasa senang. “Oh ya? Dimana, Pa?” tanya Mama antusias. “Masih sama di bidang konstruksi, tapi bukan disini,” jawab Papa. “Terus di?” Bill ganti bertanya. Papa menyatukan kedua telapak tangannya dan meletakkannya di atas meja makan. “Jadi gini, Mama dan anak-anak. Pekerjaan ini ada di Pittsburgh, Pennsylvania. Rekan kerja Papa yang dulu itu CEO dari perusahaan ini dan sebentar lagi pensiun. Setelah denger Papa ada disini, dia minta Papa aja yang gantikan karena dia percaya penuh sama Papa. So, Mama juga akan jadi sekretaris Papa lagi supaya kerjanya jadi lebih lancar,” panjang lebar Papa menjelaskan perihal pekerjaan baru ini. “Papa yakin nggak masalah?” tanya Mama. “Ini perusahaan bukan punya kita loh, Pa.” Papa pun mengangguk. “Iya, Papa punya hak untuk pilih sekretaris sendiri kok sebagai CEO. Lagipula kalau Mama yang jadi sekretaris, kita bisa kembangin perusahaan yang masih kecil ini supaya berkembang lebih lagi. Ya, nggak?” Mama mengangguk. “Iya sih. Mama juga siap aja. Tapi gimana sama anak-anak? Ini kan bukan Bali atau perusahaan kita yang lama, tapi bener-bener baru,” Mama memberikan pertanyaan lainnya. Selama ini meskipun Mama menjadi sekretaris Papa, masih selalu ada banyak waktu untuk bersama dengan kami anak-anaknya. “Nggak ada bedanya lah dari waktu kita di Bali. Tenang aja. Kita akan tetep bisa makan bareng, liburan bareng, pokoknya kita bakalan lebih bahagia deh disini,” sahut Papa dengan penuh keyakinan. “Anak-anak juga pasti nyaman dan bisa sekolah tinggi dengan baik. Suka, kan?”  Betapa aku ingin bersorak atas berita baik ini seperti yang Bill lakukan sekarang. Sayangnya hatiku yang berduka ini masih belum bisa sepenuhnya mendukung. Aku jadi merasa cukup bersalah. “Oh ya. Joana dan Bill, kalian ingat nggak sama Brigida dan Mike?” tanya Papa. Bill menggeleng tidak tahu, tetapi aku yang saat itu berumur tujuh tahun masih cukup mengingat wanita pengasuh kami berdua dan pria yang sempat menjadi supir kami saat berlibur di Amerika bertahun-tahun lalu lamanya. “Aku inget sih,” ucapku. “Nah, beberapa waktu lalu Papa sempat ketemu lagi sama mereka di supermarket. Ceritanya lagi jalan-jalan di kota ini. Eh, ternyata akhirnya mereka udah menikah tapi nggak punya anak. Dan rumah kita nanti di Pennsylvania nggak jauh dari tempat mereka,” Papa lanjut bercerita dengan riang. “Mereka yang sebenarnya bantu untuk cari tahu informasi tentang rumah ini.” “Syukurlah, Pa. Kita ketemu sama banyak orang yang bantuin kita ya,” Mama mengutarakan rasa syukurnya. “Kayanya kepindahan kita kesini emang udah rencana Tuhan.” Demi mendengar perkataan itu, aku tertunduk. Bahkan Mama memiliki pemikiran demikian, dan pada faktanya memang semua berjalan dengan lancar disini. Artinya memang benar bahwa aku tidak ditakdirkan untuk tinggal bersama Bryan, Maggie, Lisa dan Doni. Sekali lagi dilema melandaku. Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sedih jika sudah begini. “Joana, semua akan baik-baik aja,” Papa rupanya tahu gelagatku. Seperti biasanya, ia menyampaikan ucapan yang menenangkan. Dengan helaan nafas panjang dan sebuah anggukan aku mempercayai ucapannya. ~ ADOMF
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD