#3

1765 Words
[Hai lagi semua. Mulai bab ini dan seterusnya penggunaan bahasa dalam percakapan akan sebagian besar berubah menjadi baku karena percakapan sebenarnya dalam Bahasa Inggris. Oke? Sementara percakapan yang informal dan dicetak miring adalah dalam bahasa Indonesia. Aku harap kalian semua tidak menjadi bingung dan tetap menikmati cerita ini.]   - ADOMF -   Tes standarisasi dan urusan administrasi pendaftaran sekolahku serta Bill sudah beres. Ini saatnya kami harus pindah sekali lagi. Karena Papa dan Mama berangkat lebih dulu ke Pittsburgh untuk urusan pekerjaan yang mendadak, maka Pablo dan istrinyalah yang mengurus kami sampai waktu keberangkatan. Kami terbang selama kurang lebih empat jam untuk sampai di Bandara Internasional Pittsburgh. Sesuai dengan pesan Papa, Mike dan Brigida menjemput kami berdua. Setelah mengambil barang bawaan kami, baik aku dan Bill mendapati dua orang yang membawa kertas bertuliskan ‘McCartneys’. Yang wanita berwajah Latin dan berkulit agak gelap seperti Mama, dan yang pria berkulit putih. Mereka menyambut kami dengan hangat dan memperkenalkan diri. “Apakah perjalanan kalian baik?” tanya Brigida. Ia mengambil koperku dan menariknya untukku. Begitu pula dengan Mike yang membantu Bill dengan kopernya. “Ya, semua baik,” jawabku singkat. “Ayo kita ke mobil. Tidak terlalu jauh dari sini,” Mike menuntun jalan dengan posisi sedikit di depan kami. Cuaca sore hari terasa cukup teduh di musim panas seperti ini. Matahari masih bersinar terang tetapi angin berhembus dengan lembut. Kuamati sekelilingku dengan mata sayu sembari berusaha menerima fakta bahwa aku tidak lagi ada di Bali. “Berapa lama dari sini untuk sampai ke rumah kami?” Bill bertanya ketika koper-koper kami dimasukkan oleh Mike ke dalam bagasi sebuah mobil sedan Ford hitam. “Kira-kira dua puluh menit,” jawab Brigida. “Ayo masuk.” Ia mengarahkan kami untuk duduk di jok belakang. Bersamaan dengan selesainya Mike membereskan barang bawaan kami, aku Bill dan Briggida sudah duduk dengan sabuk pengaman terpasang. Mike masuk ke sisi setir dan menancap gas meninggalkan area bandara. Kupandangi setiap daerah yang kulewati di sepanjang perjalanan. Pittsburgh adalah kota yang indah. Namun, keindahan itu tidak berarti apa-apa lagi jika tidak ada kebahagiaan bukan begitu? Ironis, tetapi nyata. Aku menoleh pada Bill yang tampak senang, benar-benar bertolak belakang denganku saat ini. DUG! Bunyi yang cukup keras diiringi guncangan di mobil membuat kami berempat terkejut. Awalnya kami tetap melanjutkan perjalanan, tapi perlahan-lahan mobil berhenti. Mike keluar dari mobil untuk memeriksa apa sudah terjadi. Setelah berkeliling, ia berhenti di belakang mobil dengan berjongkok. Sedikit melupakan kesedihanku untuk sementara waktu, aku turut keluar dari dalam mobil untuk mengetahui apa yang terjadi. "Ada apa, Mike?" tanyaku. "Sepertinya mobil menghantam sesuatu di tanjakan kecil tadi. Mesin berhenti karena tangki bensin bocor," Mike menjelaskan dengan singkat lalu berdiri. Ia mengambil telepon genggamnya dan menelepon seseorang. "Hei, John. Kau bisa bantu aku? Mobil yang kubawa menabrak sesuatu. Kini mesinnya mati dan tangkinya bocor. Ya. Aku akan mengirimkan alamat dimana aku berada sekarang. Oke. Terima kasih." "Bagaimana?" tanya Brigida yang rupanya juga keluar dari mobil. "Kita harus menunggu untuk beberapa lama sampai temanku datang untuk menolong kita," Mike menjawab. Ia melihat ke sekeliling lalu menunjuk ke suatu tempat. "Disitu ada kafe. Kita bisa menunggu disana." Sesuai dengan arahan Mike, kami semua bergegas ke kafe setelah mengambil tas dan barang lainnya yang perlu dibawa dari dalam mobil. Kami masuk ke dalam kafe dan duduk di sebuah sudut yang dekat dengan jendela agar dapat memantau jika teman Mike tiba. Kami memesan minuman dan beberapa makanan kecil sembari menunggu. "Berapa lama lagi seharusnya kita bisa sampai ke rumah?" Bill terhubung kembali ke dunia nyata setelah fokus pada ponselnya terus menerus sedari tadi. Mike menilik jam tangannya lalu menjawab, "Sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi." "Lalu, apakah kau tahu dimana aku akan bersekolah? Apakah Papa dan Mamaku menceritakan sesuatu tentang itu? Di tempat yang sama dengan Joana atau tidak?" giliran Brigida yang ditanyai Bill. "Yang aku dengar, Bu McCartney bilang bahwa kalian disekolahkan di tempat yang berbeda," Brigida menjawab dengan tersenyum. “Katanya, kau ingin bersekolah di tempat yang berbeda dari Joana ya?” Bill mengangkat kedua bahunya diiringi sebuah seringai cemas saat melirikku. Aku mengerutkan dahiku terheran mendengar hal itu. “Oke. Tapi, kenapa begitu, Bill?” "Hmm, karena aku sudah besar. Aku tidak ingin terlalu bergantung padamu seperti dulu. Kurasa sudah saatnya kau juga perlu privasi untuk mendapatkan sahabat-sahabat baru, bukan?" Bill menjawab dengan santai dan entah kenapa itu menyinggung perasaanku. Suasana hatiku yang sudah jemu agaknya bertambah buruk sekarang, tetapi aku tidak ingin membiarkan emosiku meledak. Aku beranjak dari tempatku duduk dan permisi untuk membeli beberapa barang di minimarket yang aku lihat di dekat kafe. Brigida pun mempersilakan, melihat ekspresi berbeda di wajahku. Dengan tas slempang yang berisi dompet dan ponsel di dalamnya aku keluar dari kafe. Jarak kafe dan minimarket hanya dipisahkan oleh tiga bangunan. Sementara aku berjalan, aku mengingat para sahabatku kembali. Aku merasa perlu memberitahu mereka mengenai kepindahan ini. Beberapa hari ini mereka kurang bisa dihubungi karena harus belajar untuk ujian akhir semester. Kuambil ponsel dari dalam tas lalu mengaktifkannya kembali. Aku lupa sudah mematikannya sejak di bandara Mississippi. Notifikasi yang sangat banyak muncul di perpesanan f******k. Semua dari Bryan, Maggie, Lisa dan Doni yang isinya meminta maaf karena hanya sedikit mengobrol terakhir kami bicara. Air mataku tak sengaja kembali mengalir ketika membaca pesan mereka. Aku berhenti berjalan untuk mengirimkan sebuah pesan suara yang berisi ucapan semangat menjalani ujian semester. Gawat. Aku sudah tidak tahan ingin menangis dengan keras. Alhasil aku hanya menundukkan kepala sejenak dan membiarkan air mataku mengalir. Untungnya jalanan cukup sepi sehingga tak seorang pun perlu berhenti untuk memeriksa keadaanku. "Maaf, apakah ini dompetmu?" suara seseorang mengejutkanku sehingga aku cepat-cepat menghapus air mata dan memasang kacamata hitam yang untungnya masih tersimpan di dalam tas. Aku berpaling pada seseorang yang sedang menyodorkan dompet biru dengan garis hitam dan putih serta inisial 'JMM' yang jelas sekali menandakan bahwa dompet itu milikku. "Oh, terima kasih," kuterima dompet itu dari tangan seorang pemuda yang tampak seusia denganku. Pemuda itu tersenyum padaku dan berkata, "Sama-sama. Tapi lain kali kau perlu hati-hati." Aku mengangguk. “Baiklah, aku harus pergi sekarang. Kau mau kemana?" tanya pemuda itu. "Ah, maaf. Aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusanmu." “Tidak. Tidak masalah," sahutku cepat. "Aku akan pergi ke minimarket." “Oh ya? Aku juga. Ayo kesana bersama." “Ah, baiklah." Seperti disihir, aku mau begitu saja untuk ikut dengannya. Aku berjalan di sampingnya dan kami masuk ke dalam minimarket. Kami berpisah di dalam minimarket untuk memilih apa yang akan kami beli. Aku menuju ke bagian perlengkapan mandi dimana ada tisu basah yang kuperlukan karena stok yang kumiliki sebelumnya sudah habis. Karena melewati rak permen, kuambil juga satu kotak permen praktis yang bisa kumasukkan ke dalam tas nantinya. Setelah mengambil apa yang kuperlu, aku segera pergi ke kasir dan membayar semua. “Maaf, apa kau punya sepuluh sen?" tanya penjaga kasir. "Maafkan aku, aku kehabisan uang pecahan." “Aku tidak tahu apakah aku punya sepuluh sen," ucapku sambil membuka dompetku dan mencari sepuluh sen di dalamnya. “Ini." Sepuluh sen disodorkan kepada penjaga kasir, bukan dari tanganku tetapi dari tangan pemuda yang kutemui tadi. “Ah, kau tidak perlu melakukannya," ucapku sungkan. Pemuda itu tertawa kecil. "Itu hanya sepuluh sen. Tidak masalah." Ia meletakkan belanjaannya di atas meja kasir untuk segera dihitung setelah kuambil milikku. Mungkin aku ini bodoh atau bagaimana, tapi aku tidak tahu kenapa aku masih berdiri di dekat pemuda itu dengan belanjaanku seolah menunggunya, bukannya segera pamit dan pergi keluar dengan segera. “Apakah kau memerlukan bantuanku?" Tepat sekali. Tentu saja dia menanyakan hal itu karena aku masih ada di dekatnya. Aku menggeleng. "Uh, tidak." Aneh sekali aku hari ini. Mungkin aku terlalu lelah. Pemuda itu akhirnya selesai dengan belanjaannya. Ia mengangkat kantong belanjanya dari meja kasir dan keluar bersamaku dari minimarket. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih." Untung saja sekarang aku mendapatkan alasan yang masuk akal kenapa aku masih ada di dekat pemuda itu. "Kau sudah menemukan dompetku dan mengembalikannya, bukannya mengambilnya. Lalu kau membantuku kembali di minimarket tadi. Ternyata masih ada orang sebaik dirimu disini. Jadi, ini permen sebagai tanda terima kasihku." Sedetik kemudian aku menyesal karena sudah memperlakukannya seperti anak kecil. Pemuda itu tertawa. "Sebenarnya ada banyak di dunia ini. Hanya saja keberadaan kami tidak disebarluaskan seperti kehidupan selebritis," ucapnya bercanda. “Dan jangan kuatir. Aku suka permen, jadi terima kasih juga.” Kuanggukan kepala dan diam-diam menghela nafas lega. “Kau tinggal di dekat sini?" tanya pemuda itu. Aku menggeleng. "Aku baru saja pindah kesini hari ini. Belum sempat tahu dimana tempat tinggalku," jawabku. “Oh, jadi kau belum mengenal tempat ini?" Aku menggeleng lagi. Pada saat yang sama, aku melihat Mike sudah berada di dekat mobil dengan seorang pria yang kurasa adalah temannya. Pemuda itu memandang ke arah yang sama denganku lalu bertanya, "Itu mobilmu?" Aku mengangguk. “Apa yang terjadi?" “Entahlah. Mesinnya mati dan tangki bensin bocor setelah menabrak sesuatu di tanjakan dekat sini. Teman Mike, supirku sedang membantunya sekarang. Mungkin akan diderek jika tidak bisa diperbaiki dengan cepat," aku memberikan penjelasan yang cukup mendetail padanya. Ini juga yang membuatku kembali bingung kenapa aku harus begitu pada orang yang benar-benar asing. “Lalu dimana kau menunggu?" Kutunjuk kafe tadi. “Kebetulan sekali kakakku juga menunggu disana. Ayo." Berdampingan kami berjalan menuju kafe dan masuk ke dalamnya. Kutunjukkan padanya dimana aku duduk, yaitu bersama dengan Brigida dan Bill. Ekspresi penasaran tampak di wajah mereka ketika melihatku berjalan mendekat bersama dengan seseorang tak dikenal. Sementara Bill masih tetap duduk dan berkutat pada ponselnya, Brigida berdiri menyambut. "Halo," sapanya lalu menjabat tangan pemuda itu. "Ini Brigida," aku memperkenalkannya. "Dan itu adikku, Bill. Oh ya, aku lupa belum memperkenalkan diri. Aku Joana McCartney." Pemuda itu menjabat tanganku juga. "Aku Benjamin O'Donnell. Panggil saja Ben," sahutnya. “Duduklah bersama kami,” Brigida mempersilakan Ben untuk bergabung. “Ah, sebenarnya aku bersama kakakku disini dan dia sudah menunggu,” Ben memberitahu. "Sebenarnya kami bisa membantu jika memang diperlukan. Joana berkata bahwa ada masalah dengan mobil kalian. Jadi, daripada menunggu lama, kami bisa mengantar kalian ke rumah. Dimana lokasinya?" “Di Bailey Avenue nomor 207," Brigida yang menjawab. Tentu saja karena dia jauh lebih tahu dariku. Kedua mata Ben langsung berbinar. "Itu adalah rumah yang ada di sebelah rumahku! Kebetulan sekali.  Kalau begitu bergabunglah dengan kami," ajaknya antusias. “Mobil kami cukup besar untuk empat orang lagi.” “Ah, terima kasih banyak. Kurasa suamiku akan tinggal untuk mengurus mobil kami disini. Biarkan aku memberitahunya lebih dulu,” Brigida beranjak dari kursinya lalu keluar dari kafe. Mengherankan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi saat ini. Apa yang sedang terjadi? Kenapa semuanya terasa sungguh aneh? Apakah benar ini sebuah kebetulan? ~ ADOMF
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD