Sidang Skripsi

1872 Words
Aku keluar dari ruangan sidang dengan menahan napas. Begitu pintu ruangan tersebut tertutup rapat, aku segera membuka mulut. Seolah menarik oksigen dengan rongga hidung saja takkan cukup. Aku butuh lebih. Aku butuh banyak untuk mengisi paru-paru yang mengempis. Kiara, Ronald, Davi, Eka, dan Budi berjalan cepat mendekat padaku. Hanya Ronald yang mengenakan baju bebas. Sedangkan kami berlima mengenakan kemeja putih dengan bawahan hitam. Mereka tidak bersuara sambil menuntunku untuk menjauh. Wajah-wajah cemas itu membuatku ingin tertawa. Pasti mereka mengira aku gagal. Begitu sampai di lapangan parkir, Ronald langsung memelukku. Kiara turut memelukku dari belakang. Davi dan Eka mengusap lenganku dari kiri dan kanan. Sedangkan Budi mematung. Dari kami berlima, aku memang mendapatkan waktu terakhir untuk maju. Keempat temanku ini telah dinyatakan lulus. Kami menjadi sarjana ekonomi sekarang. “Tidak apa-apa.” Ronald mencium puncak kepalaku. Aku terkikik setelahnya. Setelah yakin sudah memenuhi kebutuhan akan paru-paruku. Sidang skripsi memang menakutkan. Aku sering menahan napas saat penguji mengajukan pertanyaan. Rasanya aku ingin seperti kucing yang memiliki stok nyawa hingga sembilan. Aku rasa organ dalamku dipaksa untuk bekerja keras. Ronald meregangkan pelukannya. Aku mengusap pipi yang basah. Merasa terharu akan perhatian yang aku dapatkan. Teman-temanku tak akan berpikir panjang untuk ikut menangis jika aku menangis seperti sekarang. “Aku lulus.” Mereka bersorak. Ronald memelukku lagi. Kali ini lebih erat. “Kita pesta.” Kiara langsung mengangkat lengannya tinggi-tinggi. Semua menggeleng. Pesta yang Kiara maksud dengan yang kami bayangkan merupakan dua hal yang berbeda. Pesta versi Kia adalah clubbing. Aku pernah diajaknya sekali. Untung saja saat itu Ronald ikut. Sehingga belum sampai teler aku sudah dibawa pulang. Kami tidak bisa mengikuti jam pesta Kia yang sampai pagi. Cewek itu akan pulang saat tubuhnya minta tidur. Sedangkan pesta versi kami berlima adalah pesan banyak camilan dan makan hingga muntah. Kami akan memenuhi meja apartemen Ronald dengan makanan. Pacarku itu juga tinggal sendiri dalam satu unit apartemen. “Ayolah. Kita rayakan.” Kia merengek. “Gue bisa digantung emak kalau berani-berani menginjakkan kaki ke sana.” Eka terkikik. Dia satu-satunya teman yang tinggal dengan orang tua di antara kami berenam. Davi, dan Budi kos. Tempat kos mereka juga tidak terlalu jauh dari kampus. Bisa dibilang tetangga kos. Hanya saja kami tidak bisa berkumpul di tempat mereka berdua kalau mau buat acara. Bisa bayangkan bagaimana muka ibu kos yang cemberut dan mengomel serta mondar-mandir di depan kamar. Berkumpul itu identik dengan ribut soalnya. “Tempat lo bisa, kan, Nal? Apa kalian mau ....” Davi menutup mulutnya dengan tangan. Aku segera menoyor kepala gadis itu. Rencananya dia akan pulang ke Riau dan kembali saat wisuda. Praktis, pesta ini sekaligus merayakan perpisahan kami. Kami akan berkumpul lagi saat wisuda. Budi juga akan pulang ke Tegal. Aku? Sepertinya aku akan langsung mencari pekerjaan. Pulang ke rumah Ayah tidak pernah masuk dalam agendaku sejak meninggalkan Kalimantan. Aku tidak berencana tinggal di sana. “Jadi?” Kia menatap kami satu per satu. “Gue ada yang mau dibicarain sama Mara.” Ronald merangkulku dan segera membuka pintu mobilnya. “Yah, payah.” Davi mendesah. “Nanti gue kabarin.” Aku melambai sambil menutup pintu mobil. Ronald sudah berjalan memutari moncong mobilnya. Keempat orang tersebut hanya melambai begitu mobil yang kami tumpangi meluncur keluar dari parkiran. Ronald membawa mobilnya menuju apartemen. Berbeda dengan apartemen Kia yang dekat dengan kampus, tempat tinggal Ronald sedikit lebih jauh. Setidaknya butuh waktu dua puluh menit hingga mobilnya terparkir di basement. Kami keluar dari mobil dan langsung mendekati pintu lift. Seminggu ini kami memang tidak bertemu karena aku sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang. Kabar bahwa Ronald lulus lebih dulu membuatku tenang. Dia memang berbeda jurusan dengan kami. “Mau pesan sesuatu?” Tangan kenannya terus menggenggam jemariku. Kami bergandengan semenjak di dalam mobil. Seminggu sudah sangat cukup untuk memasukkan buncahan rindu dalam sekotak penuh. “Belum lapar.” Yang aku rasakan lebih pada tertekan daripada kelaparan saat di dalam ruangan tadi. Benaran, aku sama sekali tidak merasakan lapar. Aku takut tidak lulus. Sangat takut. Aku tidak mau mengulang sendirian. Itu melelahkan. Kami telah sampai di lantai tempat kamar Ronald berada. Dia menyeretku setengah berlari. Kami memasuki ruang studionya yang biasa rapi. Aroma terapi dari bunga lavender menyeruak masuk memenuhi rongga hidung saat aku berjalan semakin dalam. Ronald langsung memelukku. Dia menghujaniku dengan ciuman panas. Tas, sepatu, bahkan kemeja kami lemparkan begitu saja sambil menuju ranjang. “Aku kangen sekali sama kamu.” Ronald melepaskan ciumannya. Kami tersengal-sengal. Dia berada di atasku dengan mata lurus kepadaku. Aku bahkan menemukan wajahku di manik matanya yang jernih. Aku menyukai kedalaman mata Ronald. Aku serasa tenggelam di sana. “Sama.” Aku menarik tengkuknya hingga mendekat kembali. Kami melanjutkan apa yang sudah kami mulai. Bergelung, berguling, bergantian posisi hingga kehabisan tenaga. Lalu, terkapar dengan memandang langit-langit kamar. Ronald menutup tubuh telanjangku dengan selimut. “Apa rencanamu setelah ini?” Suara Ronald terdengar lirih. Dia terpejam. Napasnya teratur. Bulir-bulir keringat yang membasahi kami berangsur hilang karena udara dingin dari pengatur suhu. “Masih sama seperti sebelumnya. Akan mencari kerja. Sepertinya akan melamar ke tempat Kak Saga.” Aku memang tidak memiliki rencana cadangan. “Tidak ingin melanjutkan sekolah?” Aku menoleh. Ronald masih pada posisi yang sama. Telentang dengan mata terpejam. Tubuhnya polos. Dia memang tidak suka menutup tubuhnya dengan selimut setelah kami melakukan itu. Dia menikmati terpaan air conditioner ke kulit tubuhnya yang terbuka. Karena kadang, kami belum selesai dan akan memulainya kembali. “Kamu akan kuliah kembali?” Ronald membuka matanya. Dia menoleh padaku. Aku mengenal tatapan ini. Sorot menyesal dan meminta maaf. Dadaku terasa ngilu. Firasatku mengatakan, hal buruk akan terjadi. Mau mengelak bagaimanapun, berita itu akan aku terima. Entah apa, yang jelas bukan kabar baik. Lulus akan menjadi kabar baik satu-satunya hari ini. Rasanya aku ingin menangis. “Papa memintaku melanjutkan S2.” Suara Ronald terdengar jauh. Gaungnya seperti dari belahan dunia lain. Berdenging dan terasa sakit di telinga. Akhirnya satu tetes air mataku jatuh. Aku segera menoleh ke arah lain dan mengusap pipi. “Kamu bisa ikut denganku, kan?” Suara Ronald masih terasa asing. Satu-satunya hal yang membuat kami bisa nyambung selama tiga tahun terakhir adalah kebencian kami pada satu makhluk bernama Ayah. Kesamaan yang tidak aku sangka melahirkan hubungan langgeng bernama pacaran. Ronald bukan cowok yang neko-neko. Dia juga bukan cowok kaku. Dia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan teman-temanku salah satunya. Dia tidak pernah melirik cewek lain selama kami pacaran. Kiara menyebut aku beruntung. Cukup beruntung bisa memacari manusia setengah bule yang bucinnya luar biasa. Bagi Ronald, selingkuh adalah hal paling hina bagi manusia. Itu mengapa dia sangat membenci papanya selama ini. “Sayang.” Ronald memelukku. Aku meringkuk dalam dekapannya. Aku benci ini. Aku tahu, kami akan berpisah sekarang. Benar-benar berpisah. Ronald bukan orang yang percaya hubungan jarak jauh, begitu pun denganku. Pengalaman orang-orang di sekitar kami telah mengajarkan itu. LDR takkan pernah berhasil. Orang tua kami adalah contoh paling nyata. Sedangkan aku takkan mungkin turut dia ke luar negeri. Jika papanya yang meminta hal itu, sudah dapat dipastikan Ronald akan meninggalkan Indonesia. “Ke mana?” “Jerman.” Aku menghela napas. Sama sekali tidak paham kenapa dia akan ke Jerman? Papanya selama ini tinggal di Swedia. Apa benar demikian? Ronald jarang membahas laki-laki itu. Dia enggan. Bisa jadi mereka sudah pindah. “Mama?” Sekali aku bertemu ibu Ronald saat wanita itu datang ke Jakarta. Selama ini ibu Ronald tinggal di Lombok. Mereka memiliki resort. Itu yang Ronald katakan. Aku tidak bertanya lebih jauh. Sama sepertiku, dia juga enggan membahas tentang keluarganya. Satu hal yang pasti, dia adalah anak tunggal dari pasangan itu. Papanya memiliki anak lain. Seorang adik perempuan yang belum pernah dia temui. Intinya orang tuanya berpisah tanpa bercerai. Aku mencium keduanya rujuk sehingga Ronald bersedia mengikuti permintaan papanya. “Mama sudah berangkat lebih dulu ke Berlin.” Aku memeluk Ronald lebih erat. Air mataku tidak berhenti mengalir. Aku benci kondisi ini. Aku belum pernah mempersiapkan diri untuk berpisah dengannya. Belum sekalipun terbesit di benakku kami akan putus akhirnya. Kebersamaan kami yang indah harus berakhir. Aku melepaskan pelukan, segera duduk dan mengusap pipi. Tidak ada gunanya menangis. Semua sudah diputuskan. Ibunya sudah berada di Jerman sekarang. Tidak ada alasan baginya untuk tetap di sini. Aku? Aku bukan siapa-siapa baginya dibandingkan dengan seorang ibu. Aku bukan apa-apa. Aku juga tidak bermaksud mempermalukan diri dengan meminta dia memilih. Jelas, dia takkan memilihku. “Honey.” Ronald ikut duduk, saat aku beringsut bangun dan meninggalkan ranjang. Aku berjalan ke kamar mandi dengan telanjang bulat. Mandi super kilat yang pernah aku lakukan setelah bergulat. Setidaknya tidak ada bau keringat atau bau habis bercinta lagi. Aku memakai kembali baju yang berserakan di lantai. Aku memungutinya satu per satu dan mengumpulkan barang-barangku yang tertinggal di tempat ini. Itu cukup mudah. Ronald menyatukan semua barangku dalam satu kotak dan dia simpan dalam almari. Cowok ini memang sangat rapi dan detail. Termasuk dalam mengambil keputusan. Itu kenapa aku sadar diri, keputusan yang sudah dia ambil tidak dapat diganggu gugat. Semua sudah dia pikirkan dengan matang. “Ra.” Dia pasti sudah sangat putus asa sehingga bersedia menyebut namaku. Aku menarik napas dalam dan tersenyum. Ronald masih duduk di atas ranjang dengan mata lurus padaku. Dia mengawasi setiap gerak-gerikku sejak tadi. “Sepertinya kita harus putus.” Aku menggigit bibir bawah. Berusaha kuat untuk tidak menangis lagi. Aku tidak mau dikenang sebaga gadis cengeng olehnya. Seseorang yang akan menghalangi kesuksesannya. Bukan. Aku akan menjadi sesuatu yang manis untuk dikenang. “Ra, kita masih punya waktu hingga wisuda.” Suaranya terdengar serak. Aku suka mendengar nada suara seperti itu. Terdengar seksi dan menggemaskan. Biasanya tanpa pikir panjang aku akan melompat ke pelukannya dan menuntut ciuman panjang. Tapi, tidak untuk sekarang. Aku baru saja berkata, kami harus putus sekarang. “Untuk apa? Untuk mengulur waktu? Pada akhirnya kita akan berpisah juga, kan?” Sialan, satu tetes air mataku jatuh. Aku segera mengusapnya dengan punggung tangan. Aku menoleh pada jendela balkon yang terbuka kordennya. Aku berdiri seperti orang bodoh memegang kotak biru muda yang pas di pelukan. Ternyata cukup berat. Ronald menunduk, dia menyugar rambut coklatnya yang halus. Aku suka saat jemariku tersesat di sana. Rambut Ronald lebat dan sedikit ikal. Terlihat pas di wajahnya yang memiliki rahang cukup tinggi dengan alis mata tebal dan sorot mata tajam. Dia tidak pernah membiarkan cambang dan kumisnya tumbuh. Setiap pagi dia akan rajin bercukur. Padahal aku sering membayangkan wajahnya dengan tambahan tersebut. Tipis dan maskulin. “Kita akan benar-benar putus?” Aku mengangguk. “Ya.” Ronald mendongak. “Benaran putus?” Dia mengonfirmasi pertanyaannya tadi. Aku mengangguk lagi. Putus sekarang atau putus nanti, sakitnya akan sama. Kenapa harus nanti? Recoveriku bisa dimulai dari sekarang. Pada saat wisuda nanti, aku pasti sudah benar-benar sembuh dan siap untuk bekerja. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan dan pindah dari rumah Kak Saga. “Goodbye, Ronald.” Aku berjalan keluar dan menangis di pojokan lift hingga lantai dasar. Orang-orang yang bertemu denganku memberikan tatap bertanya dan heran. Aku tidak peduli. Taksi pertama yang lewat di depanku langsung aku berhentikan dan melaju ke apartemen Kiara. Mereka masih makan-makan di sana. Tak seorang pun bertanya padaku saat aku mengunci diri di kamar. Mereka pamit satu per satu saat hari beranjak malam. Kia mengajakku pesta untuk melepaskan sesak di d**a. Malam itulah aku bertemu laki-laki ini sebulan lalu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD