Pria Tanpa Nama

1436 Words
Dia tersenyum. Kini senyum itu berubah menjadi kekehan. “Kamu kelihatan tidak memiliki tempat tinggal pada pukul ....” Dia memeriksa pergelangan tangan. “Dua belas lebih.” Lalu kembali tersenyum padaku. Seolah aku tidak sadar telah berkeliaran di luar rumah pada jam segitu. “Temanku tinggal di sini.” Aku memandang salah satu tower. Berharap Kiara tiba-tiba muncul dan menyelamatkanku dari situasi ini. Walaupun Kia pastinya akan bertanya-tanya, siapa dia? Kapan kami berkenalan? Apakah selama ini aku ada main dengan cowok lain saat bersama Ronald? Pertanyaan semacam itu akan Kia kejar sampai aku mengatakan yang sebenarnya. Padahal aku tidak ingin orang lain tahu apa yang aku alami malam itu. Dia menoleh ke belakang. Kedua tangannya tersimpan di saku celana. Matanya menyipit. “Yang kulihat, kamu duduk di trotoar sejak tadi.” Aku menghela napas. Dia memang lebih tua dariku. Namun, menyebut diri aku dan kamu itu seolah kita cukup akrab untuk melakukannya. “Dia tidak bisa dihubungi.” Kenapa aku harus menjelaskan ini padanya? Please, Kia, buka ponselmu dan telepon aku sekarang. Meskipun aku sadar betul, Kia takkan melakukan itu, berharap keajaiban tidak ada salahnya, bukan? “Kamu mau pulang?” Aku menoleh ke belakang. Mataku lurus pada deretan warung tenda yang akan bubar sebelum subuh. Aku dan Kiara biasa makan di sana saat aku menginap. Perutku yang beberapa waktu lalu baik-baik saja kini berontak, menimbulkan bunyi nyaring yang membuat seseorang di depanku sekali lagi terkekeh. “Mau makan? Aku juga belum makan.” Aku mendengkus. Tidak mungkin juga aku berkata tidak. Memangnya aku ingin membohongi siapa? Tubuhku tidak butuh itu untuk bertahan hidup. Otakku terlalu lelah untuk menomorsatukan harga diri. Harga diri apa? Aku sudah pernah telanjang bulat di depannya. Dia sudah menjamah setiap jengkal tubuhku. Pantaskah aku memikirkan itu sekarang? “Oke.” Aku mengangguk. Percuma juga bertingkah sebagai perempuan terhormat. Aku yakin sudah tak ada harganya di depan laki-laki ini. Mau menghindar bagaimana? Kami sudah telanjur bertemu. “Di ... sana?” tanyanya ragu. Jari telunjuknya mengarah pada deretan warung tenda yang terlihat semarak dengan lampu warna-warni. Beberapa motor terparkir di atas trotoar. Ada beberapa mobil juga yang berhenti di tepi jalan. Seorang juru parkir tampak mondar-mandir membawa stik lampu berwarna merah. Sesekali kendaraan lewat dengan kecepatan penuh. Area ini memang bukan di tepi jalan utama yang dilewati bus atau angkutan umum. Untuk mencapai tempat ini harus menggunakan taksi atau ojek. Tepat di belakang apartemen ini kampus kami berada. Kia biasanya jalan kaki lewat taman belakang untuk sampai di sisi jalan yang berbeda. Hal itu akan dia lakukan saat malas mengendarai mobil untuk sampai ke tempat belajar kami. “Nggak bisa makan di pinggir jalan?” Melihat penampilannya yang seperti memiliki jabatan tinggi di sebuah perusahaan, hal itu pasti mustahil. Walau bajunya tidak rapi lagi, aku tahu, semua yang menempel pada tubuhnya adalah barang mewah. Beberapa baju Kak Saga juga demikian. Hal semacam itu yang sering memicu pertengkaran Kak Saga dan Kak Sarah. Membeli barang dengan harga tidak masuk akal. Apakah dia tidak punya istri sehingga bebas mengatur keuangannya sendiri? “Bisa.” Suaranya terdengar ragu. “Aku makan sendiri.” Aku mulai berjalan. Perutku sudah melilit. Tidak mungkin menunggunya yang masih berpikir ribuan kali untuk duduk di sana. Apa yang dia pikirkan memangnya? “Aku bilang bisa.” Dia menjajari langkahku. Dengan begini aku bisa mengira-ngira seberapa tinggi dia. Yang jelas dia lebih tinggi dari Ronald. Dari dekat aku bisa melihat warna rambutnya yang kecokelatan. Pun garis kebiruan di sepanjang dagu dan atas bibir. Dia rajin bercukur. Kurasa akan tumbuh kumis dan cambang yang lebat jika dia membiarkannya. “Kenapa?” Dia menoleh. “Apa terlihat seperti orang asing?” Satu alisnya terangkat. Kali ini tanpa senyum apalagi kekehan. “Aku mudah melupakan orang,” jawabku sekenanya. Hal mustahil yang tidak mungkin terjadi. Dengan kata lain aku sedang berbohong sekarang. Mana mungkin aku lupa padanya? Jangan bercanda Samara. Ini sama sekali tidak lucu. Kini dia terkekeh. “Apa perlu diingatkan supaya tidak mudah lupa?” Mataku menyipit. Dia segera memegang lenganku yang hampir saja menyeberangi jalan tanpa memeriksa apakah ruas jalan tersebut benaran kosong apa tidak. Dia tetap memegang tanganku sampai kami tiba di seberang. Kami memasuki tenda kedua yang berisi hidangan laut. Dia memesan dua porsi udang bakar beserta nasi plus dua gelas es teh manis. Sepertinya dia biasa makan di tempat ini. Aku salah menilainya. Kami duduk berhadapan. Masih banyak pengunjung lain yang sempat menoleh pada kami. Entah apa yang mereka pikirkan? Yang jelas aku tidak mau membuang waktu dengan menerka-nerka apa yang sedang mereka lakukan sekarang selain makan. “Tempatku ada kamar yang bisa digunakan untuk berbaring.” Dia berkata dengan raut serius. Apa dia berpikir aku akan bersedia tinggal dengannya? Halo, gue nggak sebodoh itu untuk melakukan kesalahan yang sama, ya? Dia terkekeh. “Sorry. Aku hanya menawarkan bantuan. Jika kamu berpikir macam-macam, aku tidak bisa mencegahnya.” Dia mengelap meja dengan tisu setelah dua gelas es teh manis diletakkan di sana. “Aku akan tidur di hotel.” Kenapa juga aku harus memberitahunya? Dia tersenyum. “Kamu lebih suka kamar hotel ternyata.” Aku melotot. Mau tak mau apa yang terjadi malam itu melintas di kepala. Sialan. Kini dia tertawa. “Aku punya tiga kamar lain yang tidak dipakai. Tenang saja.” “Istrimu?” Dia yang baru saja menyeruput teh langsung terbatuk. Memangnya aku salah bertanya demikian? Sudah sepantasnya dia beristri, bukan? Dilihat dari penampilan, dia cukup mapan. Dia juga tampan. Selain itu, dia seperti memiliki kedudukan dalam sebuah perusahaan. Bisa jadi seorang manager seperti Kak Saga. Tidak mungkin pegawai rendahan mengenakan baju seperti ini. Memangnya dia tidak butuh makan sehingga menggunakan semua gajinya untuk dandan? Belum lagi mobil yang dia kendarai, lebih bagus dari milik kakakku. Apa dia tidak suka perempuan? Tidak mungkin. Malam itu buktinya. Dia teramat normal untuk disebut sebagai laki-laki yang memiliki kelainan seksua*. Apa dia bisa melakukannya dengan cewek dan cowok sekaligus? Ah, Samara ... bukan hanya perut, otakmu juga perlu diberi makanan. Kamu terlalu banyak berpikir. “Dia tidak tinggal di sini.” Dia berbisik. Oh. Tentu saja dia punya. Apa dia sedang berantem dengan istrinya? Lalu, kabur ke apartemen seperti Kak Saga? Sayangnya Kak Saga tidak memiliki unit apartemen sehingga dia hanya akan menyembunyikan dirinya di sebuah kamar hotel. “Lalu, kamu butuh perempuan lain, begitu?” Aku bersedekap. Tidak peduli aroma seafood yang sedang dibakar, ditumis, atau digoreng cukup menguras energiku untuk berdebat, karena aku semakin lapar sekarang, aku tetap marah jika dia berpikir bisa memakaiku karena kami pernah melakukan itu. “Wohooo, santai. Aku belum punya istri, itu yang pertama. Yang kedua, aku memang punya lebih dari satu kamar yang bisa digunakan. Ketiga, kita saling kenal, aku tidak mungkin mengabaikan fakta itu. Melihatmu berkeliaran tengah malam, apa kamu kira itu tidak berbahaya. Tinggalah di sana sampai temanmu membalas pesanmu. Kamu tinggal turun ke kamarnya. Selesai, kan? Bisa jadi dia ketiduran.” Masuk akal. Aku akan mudah sampai ke tempat tinggal Kiara jika dia membuka ponsel dan menemukan sederet pesanku yang sampai detik ini masih berupa centang satu. Dia benar-benar mematikan ponselnya. Ada di mana dia sekarang? Dua piring udang bakar madu tersedia di meja. Ditemani dua piring nasi dan tiga jenis sambal. Ada sepiring lalapan berupa timun dan kemangi. Keduanya tidak kami sentuh sampai suapan terakhir. Kami tidak berbicara lagi. Seolah mengisi perut perlu kekhidmatan semacam upacara di depan leluhur. “Kamu bekerja?” tanyanya saat kami keluar dari tenda. Jalanan mulai sepi. Motor-motor yang terparkir rapi saat kami datang tadi sudah berkurang setengahnya. Pun beberapa mobil juga tinggal satu saja. Juru parkir tersenyum pada kami saat kami melewatinya. Dia duduk di sebuah kursi plastik sambil memegang es teh dalam sekantung plastik. Beginilah hidup, ada peran yang harus dilakukan tengah malam buta supaya bisa makan, atau memberi makan keluarga. Tidak semua orang memiliki keberuntungan bekerja di siang hari dan istirahat pada malam harinya. “Belum. Semoga segera dapat pekerjaan, biar bisa segera keluar dari rumah.” Aku mendesah. Hal pertama yang ingin aku lakukan adalah segera angkat kaki dari rumah Kak Saga. Ayah takkan melarangku jika aku sudah bekerja. “Terdengar seperti tinggal di neraka.” Dia terkekeh. Langkah kami sudah sampai di trotoar menuju apartemen. “Seburuk itu memang kalau menumpang di rumah orang yang tidak menyukai kita.” Aku terkekeh. Untuk pertama kalinya malam ini. Selama ini aku sadar, kakak iparku tidak pernah menyukaiku. Hebatnya aku mampu bertahan hingga empat tahun lamanya. Dia berhenti. Keningnya berkerut. Sepertinya dia butuh penjelasan lebih. Untuk apa? Kemungkinan besar kami takkan bertemu lagi begitu Kiara bangun dan aku tinggal di tempatnya. “Siapa namamu?” Akhirnya aku ingat tidak pernah tahu siapa nama laki-laki ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD